Pages

Monday 14 May 2018

Mungkin Aku Kurang Bersyukur #Part2

Menghargai hidup itu gak mudah, loh!
Pernah suatu malam, aku sedang makan di salah satu warung di pinggir jalan kota Jakarta. Lalu datang satu keluarga kecil. Ada Bapak, Ibu, anak perempuan berumur sekitar 7 tahun dan adik kecil laki-lakinya berumur 5 tahun an. Ohya, si Ibu juga sedang menggendong seorang bayi, tidur pulas. 

Mereka datang sambil nyanyi. Entah itu lagu apa, yang aku tangkap, mereka kompak sekali. Seperti sudah terbiasa bernyanyi bersama. Aku sempat bersitatap dengan anak perempuannya. Suaranya nyaring dan tegas. Rambutnya sebahu, wajahnya lelah dan matanya seolah mau bilang 'Maaf, Kak! saya gak punya pilihan lain."

Jujur, malam itu aku miris sekali. Masa kecil kita, itu masa-masa emas untuk memberi doktrin kehidupan. Misalnya, jika masa kecil kita sering melihat orang tua kita berdagang, semakin dewasa kita akan semakin condong dan dengan sendirinya akan memilih dunia perdagangan, begitupula jika masa kecil dihabiskan dengan seorang petani, profesor, pembisnis dan lain sebagainya. 

Masa kecil mereka bagaimana? Melihat kondisi mereka sekeluarga harus mencari nafkah dengan bernyanyi bersama di jalanan  kota Jakarta, apakah terbesit di benak mereka untuk keluar dari zona itu dan mencoba sekolah tinggi misalnya? Atau sekolah ke luar negeri? Yang aku rasakan, jangankan untuk menjadi seorang dokter seperti kebanyakan cita-cita anak kecil lainnya, untuk sekolah saja mereka pesimis. 

Rabbi, sungguh saat itu aku malu sekali. Dengan nikmat yang sudah Engkau beri hingga sejauh ini,  sama sekali aku tidak menghargai hidup aku. Jelas sekali, aku jauh dari kata syukur. Nastaghfirullah wa natuubu ilaiH

Sunday 13 May 2018

Mungkin Aku Kurang Bersyukur


Fase kehidupan itu naik turun. Kadang kalau udah bahagia, bahagia banget. Tapi kalau sudah sedih, ya sedih banget. Sadar gak sadar, kita suka berlarut dalam dua perasaan itu, ya gak sih?

Dari dulu , aku emang susah membahasakan isi hati. Kaya sekarang misalnya. Pengen banget sebenarnya menumpahkan semuanya di sini, katanya biar agak lega. Tapi tetap aja, buntu.

Umurku emang sudah gak muda lagi, rasanya makin ke sini makin berat saja rintangan hidup. Sejak awal aku gak pernah membayangkan fase hidup akan gitu-gitu saja. Aku selalu mencoba mempersiapkan kemungkinan terburuk, atau membayangkan hidup aku kedepannya akan sangat susah. Lalu kemudian, mencoba berpikir kemungkinan solusi yang ada. 

Tapi kontemplasi mencari solusi saat kondisi sedang tenang akan berbeda hasilnya dengan saat kita sedang terdesak, katakanlah sedang terpojokkan takdir. Kondisi seperti ini benar-benar rapuh. lemah. 

Aku kadang suka ngerasa, apa di dunia ini, setiap orang yang sedang 'terjatuh' akan merasa sendiri dalam hidupnya? atau itu aku saja? apa aku wajar bersedih se dalam ini? atau aku terlalu berlebihan? aku rasa kondisi ini sangat berbahaya, benar-benar gak bisa dibahasakan. Tapi yang aku sadari, yang merasakan ini gak hanya aku, di luar sana jutaan orang pun merasakan keluh kesah mereka masing-masing. Kadang kalau sudah di part ini,mungkin aku merasa aku kurang bersyukur. 

Sunday 11 February 2018

Jelajah Kota, Jelajah Bahasa

Apa yang paling menarik dari kegiatan 'jalan-jalan?'
Liat pemandangan? Nikmati suasana baru? Merhatiin orang-orang baru? Jelajah tempat wisata? Atau cuma sekedar lari dari kenyataan? ish.. horor ya? hha


Belakangan ini aku emang lagi jelajah berapa kota di pulau Jawa. Dari Jawa Barat sampai ujung Jawa Timur. Bukan Surabaya ya, tapi Madura. Bahkan sampai kota paling timur di Madura, Sumenep. 
Sepanjang jelajah ini sih, alhamdulillah ndak ada kendala ya. Banyak yang ngira, agenda jelajah ini hanya sekedar untuk ngamburin uang. ck, ck , ck , hidup gak semenyenangkan itu buat aku, rek! hha. Maksudnya, gak lahya aku fokus buang uang hanya untuk jalan-jalan. Well, Emang jalan-jalan butuh duit, tapi selama punya teman insyaAllah agenda jelajah kita bisa lebih hemat. Makanya, kalau mau jelajah niatnya jangan jalan-jalan, tapi silaturahmi. Aku ulang lagi ya sekalian pake bold type deh, untuk silaturahmi. 

Kebanyakan orang pasti nyari 'kuliner' kalau lagi jelajah kota baru. Misalnya, apa makanan khas kota itu. Dari makanan berat sampe makanan ringan. Bahkan sampe yang ringan banget kaya kapas ( ada perumpamaan yang lebih ringan dari kapas ga? hha ). Terus nanti instastory nya penuh sama foto makanan. Benerkan? Kalian pasti juga gitu. Tapi iam not ya!

Setiap kali menjelajah, yang aku cari ada dua hal. Pertama adalah bahasa dan yang kedua budaya. Bahkan aku gak ngelirik kulinernya sama sekali loh, sungguh! Hha. Biar dikata perut lapar asal diajarin bahasa setempat hati aku berasa kenyang kok ! #ciee

Well, Aku suka banget merhatiin bahasa setiap kota yang aku kunjungi. Kosakata, intonasi, ciri khas, sampe mimik khas para penduduknya. Sebut saja misalnya Cirebon. Mereka punya kata khas 'jeh' di setiap kalimatnya. Misal bilang 'pada bae jeh!' 'segala gala jeh'! 'ajak ekoten jeh!'  dll. Intonasi ngomongnya juga cepet. Jelas lahya, pertama kali denger aku langsung tertarik.

Beda banget pas aku lagi di Jawa Tengah, kaya di Jogja. Kebetulan aku lagi belajar bahasa kromo juga sihya! Jadi kalau ketemu yang lebih tua, atau mau belanja paling gak aku coba-coba pake pengantar halusnya. Kaya 'niki pinten, Pak?' 'wonten sampo mboten , Bu?' atau sekedar bilang 'matur suwun njeh , Bu!' dengan nada halus dan senyum paling manis , ah rasanya meleleeeh.. aku yang ngomong aja berasa adem hati apalagi beliau-beliau udah pengen ngambil mantu kaliya! XD

Bahkan dengan bahasa, biasanya sambutan warga setempat juga berubah loh! Pernah suatu hari pas lagi di Kediri, aku beli sesuatu. Berbahasa kromo ala kadarnya banget, eh tiba-tiba si Bapaknya bilang 'ndalemipun sangking Jogja ya Mba?' . Aku ketawa aja sambil ngaminkan. Pengalaman lain pas lagi makan di warung Madura, aku bahasain pake Madura eh dikasih lebih murah. Apalagi makan di rumah makan Padang, aku ajak ngobrol bahasa Padang jugaa, tapi harganya tetap sih! hha

Tapi akhirnya aku sadar, bahasa itu penting banget! Aku jadi ngerasa kemanapun aku pergi, aku bisa diterima. At least , diterima sama budaya setempat. Mungkin karena aku suka banget sama Bahasa kaliya, jadi setiap nemu bahasa baru rasanya pengen tahu. Pengen belajar. Pengen bisa. Mungkin kapan-kapan aku cerita di halaman terpisah tiap kota yang aku kunjungi beserta kenangan di dalamnya. Untuk bagian ini, aku cuma mau ngucapin alhamdulillah. Alhamdulillah atas segala cerita ini. :)

Sunday 2 July 2017

Trus Kenapa Kalau Gue Perempuan?

Trus kenapa kalau gue perempuan?

Sebenarnya dari dulu gue udah agak gimana gitu soal gender. Gue pernah nulis cerpen. Judulnya Kutukan Perempuan. Gue ga bermaksud cerita seorang wanita yang sedang dikutuk, ya! Malah sebaliknya, di cerpen itu gue ngutuk laki-laki. 

Emang sih, emansipasi wanita belakangan ini marak diperjuangkan. Isu kesetaraan gender ramai diperbincangkan di seluruh dunia. Udah ga jamannya lagi perempuan ngendep di rumah yang katanya perempuan terlahir untuk dapur, kasur dan sumur. Perempuan juga dapet hak pendidikan, bekerja sampe berkarir, semua sama. Selain biologis, yang membedakan antara lelaki dan perempuan hanya beberapa dari hak kewajiban sesuai ajaran Islam misalnya, meskipun pendidikan seorang istri melebihi suaminya, maka ia tetap harus taat selama tidak untuk maksiat kepada Allah. Allah malah tegaskan
"Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kalian di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa."
 Look, Allah tidak membedakan lelaki dan perempuan. Semua orang bisa ikut kompetisi untuk meraih kemuliaan Allah. Kalau Allah saja tidak membedakan, kenapa kita malah terlalu membandingkan?

Barusan temen gue ngintip gue nulis ini. Tiba-tiba dia cerita. Dia baru nonton The Lost City of Z. Di film itu diceritakan seorang suami yang ingin berpetualang kembali ke hutan Amazon. Singkat cerita, sang istri ingin ikut serta. Dengan sangat percaya diri Si Suami menjelaskan bahwa istrinya tidak akan sanggup untuk ikut. Dalam petualangan ini butuh fisik yang kuat, tahan banting dan bla bla. Sekilas gue denger cerita ini, gue ngebatin ah, lagu lama!

Ceritanya belum selesai. Kemudian sang istri menjawab dengan tenang. "Menurut kamu , perempuan itu lemah? Perempuan itu ditakdirkan untuk melahirkan seorang anak. Perjuangan melahirkan juga butuh kekuatan fisik. Tidak hanya raga yang kami pertaruhkan, tapi juga nyawa!" 
Masih mau meragukan kekuatan perempuan?

Gue sepakat, perempuan ga sekuat laki-laki. Dalam beberapa hal, perempuan juga lebih lemah misal soal ibadah. Perempuan punya libur bulanan, sedangkan laki-laki sampe hari kiamat pun bisa beribadah setiap harinya. Tapi bukan berarti , perempuan ga bisa sekuat laki-laki kan? Seenggaknya 1 : 100lah!

Di beberapa kesempatan, gue sedih kenapa keperempuanan gue seolah menjadi tebing pembatas gue untuk berbuat banyak hal. Misal, gue ga bisa S2 di luar Cairo karena gue perempuan. Gue gaa boleh terlalu tinggi bercita-cita, karena gue perempuan. Gue gaa leluasa ini dan itu karena gue perempuan. Ibarat di satu sisi gue didorong, di sisi lain gue ditahan. 

Berawal dari gejolak hati gue ini, gue pengen banget jadi Menteri Pemberdayaan Wanita. Gue pengen memberdayakan para perempuan yang punya cita-cita dan impian diluar angan perempuan biasa. Gue pengen bilang sama mereka agar gaa hilang harapan! Kalau ada 100 perempuan luar biasa, coba bayangkan berapa generasi luar biasa yang akan mereka lahirkan? Jika seorang perempuan adalah sekolah bagi keluarganya, maka jadilah sekolah bergengsi. Kelasnya standar internasional. Kurikulumnya bersandar pada Al Qur'an dan as Sunnah. MasyaAllah! Gue yakin yang lahir nantinya adalah jundi jundi kebanggaan Islam!

Kok gue jadi membara gini ya? haha
Intinya mah, gue tetap bersyukur gue terlahir sebagai perempuan. Kalau gue laki-laki, ga kebayang gue udah dimana dan jadi apa. XD

To Be An Activist Is A Fate

Gue agak sedih malam ini. Masih agak ya, karena atas segala karunia yang Allah beri ke gue sampe detik ini, gue gak punya alasan berlarut dalam kesedihan. Gue udah lama nyemplung di organisasi. Sibuk sana sini, rapat siang malam, sampe akhirnya gue jabat jadi ketua Wihdah, organisasi induk khusus menaungi mahasiswi Indonesia di Mesir. 

Kompleksitas drama organisasi udah gue telen semua. Dari semua yang gue lalui, gue sih ngerasa sudah mulai terbiasa dihadapkan hantaman, ujian, bahkan klimaks dari sebuah organisasi di mana gue udah ngerasa mabok berat dan rasanya cuma pengen liat awan dan laut biar sekalian muntah!

Meski begitu, gue bahagia! Kayanya emang gue terlahir sebagai seorang aktivis. Penggerak. Ke mana arah dan bentuknya, gue yang nentuin. Bakatnya udah dari sono. Gue gaa pernah nyesal mempertanyakan kenapa gue jadi aktivis. Bagi gue, to be an activist is a fate! Kudu disyukuri biar memberi feedback positif. 

Back lagi ke topik pertama yang kita bahas, gue agak sedih malam ini. Gue lagi dihadapkan suatu permasalahan yang bagi gue itu baru. Pasalnya begini, biasanya gue berhadapan sama orang itu-itu aja. Lembaga itu-itu aja. Lingkarannya ya itu aja. Jadi muter kemana-mana yaa ketemunya orang yang sama. 

Ibarat sudah lama muter di lingkaran yang sama, gue harus pindah tempat. Entah itu ke lingkaran lebih luas, atau minimal ke lingkaran tetangga. Well , sekarang gue kejebak sebuah kompleksitas drama organisasi di lingkaran yang baru. Lebih luas, lebih besar, lebih menantang. 

One side , gue exicited banget! Pasti banyak pengalaman yang bisa diambil. But in another side, gue bingung bersikap. Sikap gue ini , benar atau salah ya? Bijak atau gaa? selfish atau malah terlalu merendahkan diri? 
Gue jadi bingung, dilematis memilih untuk mempertimbangkan profesionalitas atau fokus pada realitas sambil berharap, "Nanti juga akan membaik sendiri!" 

Berproses memang penting. Kita semua kudu menghargai proses kalau pengen sukses. Tapi juga memperhatikan hal lain. Misal strategi yang kuat dan terukur. Gue jadi ngeri sendiri ngebayangin, gimana kehidupan di Indonesia. Pantes aja ada slogan "lambat disikat". "Lo lambat, Lo tamat!" Kompetisinya main banget!

Dalam skala yang masih tergolong kecil ini aja, gue udah kelabakan. Gimana yang lebih besar? Semoga keputusan gue untuk meminta agar ditinjau kembali ini adalah benar. Gue kalau ngerasa ada yang ga beres dari cara main sebuah organisasi, gue akan blak blakan bilang! Dan gue ga suka kalau ketidakberesan ini dipelihara! Pilihannya sederhana, "Bereskan! atau Lo jaga tapi gue hengkang!"

Hati kecil gue sih ngerasa bersalah ngomong gitu. Tapi gue rasa, semakin luas Lo bersosialisasi, Lo kudu punya prinsip hidup yang kuat. Jangan mau terombang ambing. Selain itu, tetap memperhitungkan setiap chance ,  possibility, dan challenge nya. Objektif dan terukur!

Kehidupan di luar itu ganas, Gaes! Tapi lebih ganas lagi kalau Lo punya hati yang susah memaafkan orang lain. Intinya, no matter apa yang terjadi, tetap saling memaafkan! Sepakat? :) 

Gitu aja dari gue, sekali lagi, gue gaa pernah berhenti bersyukur. Bagi gue, to be an activist is a fate!  Selamat berkegiatan! :)

Doakan Saya Jadi Duta Bahasa!

Bahasa kedua yang saya pelajari selain bahasa orang tua ( Bahasa Banjar ) adalah bahasa Kutai. Kutai adalah kabupaten tempat saya tinggal. Tepatnya Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. 
Meski Banjar adalah pendatang dari Banjarmasin-Kalimantan Selatan, suku ini cukup mendominasi di kampung kami. Deretan kampung kami bersuku Banjar, deretan kampung seberang bersuku Kutai. Kampung ini dipisahkan oleh Sungai Mahakam. Karena pusat perbelanjaan berada di kampung Kutai, jadi mau tidak mau bahasa Kutai adalah bahasa yang wajib dipelajari agar memudahkan proses jual beli sehari-hari. 

Lulus sekolah dasar, saya mulai merantau ke pulau Madura. Saat itu saya baru memasuki umur 11 tahun. Yang menarik perhatian saya pertama kali jelas saja, bahasa! Gaa ada satu kosakata pun dari bahasa Madura yang agak mirip bahasa Banjar atau Kutai. Sangat sedikit sekali yang diambil dari serapan bahasa Indonesia malah! So, detik pertama dengar, melongo. Detik berikutnya mbyar! buyar!

Sejak saat itu saya jadi suka gondok dengar orang Madura ngobrol di samping saya. Tapi yang namanya gondok ya, kalau disikapi negatif misal benci yang ngomong, ya feedbacknya juga bad lahya.. 
Saya lebih memilih untuk menaklukkan bahasa itu. Saat itu saya mikir , "Saya harus bisa bahasa mereka biar ga dibegoin!" 
Di sisi lain saya juga mikir, bagaimana saya mau masuk dan mengenal lebih dalam budaya mereka kalau saya tidak berada di dalam barisan mereka. Dan untuk masuk barisan mereka, at least saya harus menguasai bahasa mereka. ( Btw, cool juga ya untuk pemikiran bocah umur 11 tahun! XD )

Jadilah saya diam diam belajar bahasa Madura ( kalau terang terangan dan ketahuan berbahasa daerah bisa dihukum wkwk ). Dari ngobrol sama bibi dapur, penjual di toko sampai Pak Slamet tukang bakso yang tiap hari jum'at nongkrong depan gerbang pondok. 

Akhirnya, pada bulan ketiga di Madura saya sudah bisa ngomong cas cus berbahasa Madura, gaes! :D
Awalnya sih emang ga dapat nada dan intonasinya. Kalau saya mah, don ker aja yah! toh saya bukan native speaker bahasa setempat. Menghadapi cemoohan teman teman, saya jadi bikin rule bahasa sendiri. Begini nih bunyinya ; 

Seorang pecinta bahasa tidak akan menghina atau menyalahkan ( dg maksud menjatuhkan ) orang yang ingin belajar bahasa

Meski dia salah intonasi atau salah pronunciation misalnya , tetap kasih respect! Karena setidaknya, dia mau belajar. Dalam belajar bahasa khususnya ilmu speaking, salah dikit ga masalah kok. Yang penting bisa dipahami. Kalau mau membenarkan, bukan dengan menyalahkan trus bilang 'Ih, Lo salah!' dan biasanya andalan mereka bilang 'Gaa usah ngomong bahasa kita deh kalau ga bisa!'  MasyaAllah, kejam banget yak! :v

Hari berganti bulan berganti tahun, bahasa Madura sudah mendarah daging di tubuh saya. Sampai-sampai, pasca kelulusan dan keluar dari pulau Madura, saya lebih biasa plus lancar berbahasa Madura dibanding Banjar. Bahkan seringkali kalau ditanya kosakata, lebih kenceng speed jawab bahasa Madura!. :D

Then, sampai detik ini, 6 tahun sudah saya di Mesir, saya banyak belajar bahasa Nusantara. Dari Banjar, Kutai, Jawa, Madura, Sunda, Minang sampai Betawi. Tapi yang paling aktif sih bahasa Banjar, Kutai, Jawa, Madura dan Minang. Nambah bahasa Arab, Ammiyah Mesir, Inggris dan Malaysia. Ohya satu lagi, bahasa yang paling susah saya pahami dari dulu, yaitu bahasa hati! wkwk

Well, saya suka banget belajar bahasa. Kemana saya pergi, berkawan dan berpetualang, yang selalu membuat saya takjub adalah bahasanya. Dulu saya punya cita cita pengen jadi praktisi linguistik bahasa. Meski nampaknya, saya lebih cepat nyerap bahasa nusantara daripada bahasa asing, yang penting bahasa deh!

Doa saya sih sederhana dan mohon kiranya pembaca setia Bocah Embara sekalian sudi turut mendoakan, semoga saya jadi duta bahasa Nusantara dan Dunia. Kalau ga bisa saya, mudah-mudahan anak cucu saya bisa! Amin :)

Salam hangat dari , Cairo :) 

Tuesday 13 June 2017

Dilematis! Camaba, Masisir, KBRI dan Wajib Bayar Asrama 50USD

Selain jumlah Camaba tahun ini yang sangat fantastis (1468 orang camaba), perihal wajib asrama dengan membayar 50$ perbulan juga sedang hangat diperbincangkan belakangan ini. 

Angka 50$ untuk asrama memang tidak sedikit. Hitungannya, jika 50$ untuk biaya asrama, belum lagi kebutuhan pribadi, transportasi ngaji atau berorganisasi bagi yang masuk barisan para aktivis plus untuk membayar biaya Daurul Lughah, total minimal yang dibutuhkan kurang lebih sekitar 100$ perbulan. Untuk kalangan menengah,  biaya segitu sudah cukup nyekik pernafasan, apalagi untuk kalangan ke bawah. Nah, realita yang ada menunjukkan bahwa banyak Camaba dari tahun ke tahun (hingga tidak menutupi tahun ini) adalah dari kalangan menengah ke bawah. Apakah angka '50' ini memberatkan? Jelas saja, iya. 

Posisi ini sangat dilematis sebenarnya. Mengingat tujuan utama dibangun asrama ini adalah sebagai Hibah -bukan aset negara- kepada al Azhar atas jasanya selama ini terhadap Indonesia. Jika sudah dianggap Hibah, seyogyanya segala hal yang berkaitan dengan bangunan tersebut menjadi tanggungjawab pihak yang dihibahkan. Namun ternyata,  kondisi Mesir yg semakin rumit merubah keadaan hingga menuntut biaya operasional tetap dikembalikan kepada pemerintah kita. 

Sumber  Foto: Google

Terlepas dari itu semua, kebijakan ini diambil tentu saja atas pertimbangan yang sangat matang. Pemerintah kita -dalam hal ini KBRI Cairo- sudah mengerahkan negosiasi terbaik mereka dihadapan pihak Al Azhar. Disampaikan juga bahwa angka '50' ini sudah ditetapkan oleh pihak Al Azhar sejak lama. Melewati musyawarah yang sangat alot dan tawar menawar diplomatis dengan KBRI Cairo. Bahkan saat itu, nilai tukar dolar - pound Mesir masih stabil. Dilematis kan? Iya. Apakah KBRI Cairo sudah mengusahakan keringanan biaya dan meminimalisir beban biaya asrama Indonesia untuk Masisir? Tentu saja juga, iya.

Lalu muncul pertanyaan, "Mengapa harus Camaba?" 

Saya jadi teringat isu hangat yang diangkat sekelompok Masisir terkait asrama yang tak kunjung dihuni beberapa bulan silam. Sehari sebelum LPJ saya di Wihdah (sekitar tgl 5 Maret 2017)  saya menyempatkan bersilaturahmi dengan Pak Dubes dan Pak DCM KBRI Cairo. Disela silaturahmi, kami juga membahas berita 'Asrama Indonesia di Cairo jadi sarang Jin'  ( baca :  http://www.kompasiana.com/coffeeaceh/asrama-indonesia-di-komplek-univ-al-azhar-mesir-jadi-sarang-jin_58c3f7ed337b61cb04181e74 ) ini. Dengan sangat bijak saat itu Bapak Dubes meminta pendapat kami, para pemimpin organisasi besar Masisir -saat itu turut hadir Presiden, Wapres PPMI dan wakil Wihdah- terkait hal tersebut.

Berangkat dari sana, kami semua sepakat bahwa asrama harus segera difungsikan. Sebagai jalan tengah agar asrama tetap bisa dihuni dengan kebijakan tetap membayar adalah jika dihuni oleh Camaba. Karena akan banyak manfaat yang bisa diambil oleh mereka ( baca juga : http://www.ppmimesir.com/2017/06/polemik-sistem-wajib-asrama-maba-tahun.html?m=1 )  ( http://www.informatikamesir.com/2017/06/asrama-50-dollar.html?m=1 ). 

Di forum itu juga sempat saya sampaikan, bahwa kalaupun harus dihuni oleh Camaba dan berbayar, jika memungkinkan biayanya tidak sampai melebihi standar kehidupan Masisir diluar asrama, yaitu sebesar 300-500 le perbulan. Well, aspirasi-aspirasi sudah disampaikan. Saat itu kami tinggal menunggu hasil musyawarah final terkait nominal antara pihak Azhar dan KBRI. 

Lalu terkait peranan Diktis Kemenag yang pernah menyampaikan bahwa sudah mengalokasikan dana sejumlah 5 M utk penghuni asrama ini masih dipertanyakan. Mereka menyampaikan saat kunjungan saya dan Wapres PPMI, Sdr. Ikhwan Hakim, awal April lalu ke Diktis Kemenag bahwa akan ada dana beasiswa dari Kemenag untuk para penghuni asrama tersebut. Pada akhirnya, mereka yang bayar 50$ perbulan jika ditotal hanya akan membayar 25$ perbulan. Namun kabar ini ditepis kebenarannya oleh Atdikbud KBRI Cairo. Hemat saya, meski benar sudah dialokasikan, tapi akan susah cair tahun ini, kemungkinan baru cair tahun depan.

Jadi kondisinya bisa digambarkan seperti ini, Al Azhar mau ini, Masisir mau itu,  KBRI berusaha sekuat tenaga memeras otak agar kalimat 'ini' dan 'itu' bisa menjadi 'iti' atau 'inu'. Meski pada akhirnya nanti, tetap akan ada pihak yang dikorbankan. Dilematis kan?

Saya selaku bagian dari Masisir dan sempat menjabat ketua Wihdah tahun lalu berharap kita semua dapat menemukan solusi terbaik atas permasalahan ini. Syukur-syukur jika ternyata angka 50 masih bisa dinegosiasi kembali .

Namun, jika angka '50' ini sudah diketok palu dan final, ada baiknya jika KBRI Cairo dapat duduk 'lesehan' bersama seluruh elemen aktivis Masisir,  baik PPMI,  Wihdah, kekeluargaan dan sejumlah kru buletin Masisir untuk musyawarah dan menelusuri kembali kronologis penetapan kebijakan ini agar tidak terjadi salah paham,  saling menyalahkan dan cari aman. Nantinya para aktivis ini yang akan jadi perpanjangan lidah kepada para Camaba agar dapat dipahami bersama.

Terakhir, mari kita doakan agar Allah Swt melimpahkan rahmat dan perlindunganNya kepada al Azhar, para UlamaNya,  KBRI Cairo dan segenap Masisir serta melepaskan umat Islam di seluruh dunia dari cobaan duniawai yang sedang melanda, Amin ya rabbal alamin 

Wallahualam 
°Rahmah Rasyidah°⁠⁠⁠⁠