Pages

Sunday 2 July 2017

Trus Kenapa Kalau Gue Perempuan?

Trus kenapa kalau gue perempuan?

Sebenarnya dari dulu gue udah agak gimana gitu soal gender. Gue pernah nulis cerpen. Judulnya Kutukan Perempuan. Gue ga bermaksud cerita seorang wanita yang sedang dikutuk, ya! Malah sebaliknya, di cerpen itu gue ngutuk laki-laki. 

Emang sih, emansipasi wanita belakangan ini marak diperjuangkan. Isu kesetaraan gender ramai diperbincangkan di seluruh dunia. Udah ga jamannya lagi perempuan ngendep di rumah yang katanya perempuan terlahir untuk dapur, kasur dan sumur. Perempuan juga dapet hak pendidikan, bekerja sampe berkarir, semua sama. Selain biologis, yang membedakan antara lelaki dan perempuan hanya beberapa dari hak kewajiban sesuai ajaran Islam misalnya, meskipun pendidikan seorang istri melebihi suaminya, maka ia tetap harus taat selama tidak untuk maksiat kepada Allah. Allah malah tegaskan
"Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kalian di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa."
 Look, Allah tidak membedakan lelaki dan perempuan. Semua orang bisa ikut kompetisi untuk meraih kemuliaan Allah. Kalau Allah saja tidak membedakan, kenapa kita malah terlalu membandingkan?

Barusan temen gue ngintip gue nulis ini. Tiba-tiba dia cerita. Dia baru nonton The Lost City of Z. Di film itu diceritakan seorang suami yang ingin berpetualang kembali ke hutan Amazon. Singkat cerita, sang istri ingin ikut serta. Dengan sangat percaya diri Si Suami menjelaskan bahwa istrinya tidak akan sanggup untuk ikut. Dalam petualangan ini butuh fisik yang kuat, tahan banting dan bla bla. Sekilas gue denger cerita ini, gue ngebatin ah, lagu lama!

Ceritanya belum selesai. Kemudian sang istri menjawab dengan tenang. "Menurut kamu , perempuan itu lemah? Perempuan itu ditakdirkan untuk melahirkan seorang anak. Perjuangan melahirkan juga butuh kekuatan fisik. Tidak hanya raga yang kami pertaruhkan, tapi juga nyawa!" 
Masih mau meragukan kekuatan perempuan?

Gue sepakat, perempuan ga sekuat laki-laki. Dalam beberapa hal, perempuan juga lebih lemah misal soal ibadah. Perempuan punya libur bulanan, sedangkan laki-laki sampe hari kiamat pun bisa beribadah setiap harinya. Tapi bukan berarti , perempuan ga bisa sekuat laki-laki kan? Seenggaknya 1 : 100lah!

Di beberapa kesempatan, gue sedih kenapa keperempuanan gue seolah menjadi tebing pembatas gue untuk berbuat banyak hal. Misal, gue ga bisa S2 di luar Cairo karena gue perempuan. Gue gaa boleh terlalu tinggi bercita-cita, karena gue perempuan. Gue gaa leluasa ini dan itu karena gue perempuan. Ibarat di satu sisi gue didorong, di sisi lain gue ditahan. 

Berawal dari gejolak hati gue ini, gue pengen banget jadi Menteri Pemberdayaan Wanita. Gue pengen memberdayakan para perempuan yang punya cita-cita dan impian diluar angan perempuan biasa. Gue pengen bilang sama mereka agar gaa hilang harapan! Kalau ada 100 perempuan luar biasa, coba bayangkan berapa generasi luar biasa yang akan mereka lahirkan? Jika seorang perempuan adalah sekolah bagi keluarganya, maka jadilah sekolah bergengsi. Kelasnya standar internasional. Kurikulumnya bersandar pada Al Qur'an dan as Sunnah. MasyaAllah! Gue yakin yang lahir nantinya adalah jundi jundi kebanggaan Islam!

Kok gue jadi membara gini ya? haha
Intinya mah, gue tetap bersyukur gue terlahir sebagai perempuan. Kalau gue laki-laki, ga kebayang gue udah dimana dan jadi apa. XD

To Be An Activist Is A Fate

Gue agak sedih malam ini. Masih agak ya, karena atas segala karunia yang Allah beri ke gue sampe detik ini, gue gak punya alasan berlarut dalam kesedihan. Gue udah lama nyemplung di organisasi. Sibuk sana sini, rapat siang malam, sampe akhirnya gue jabat jadi ketua Wihdah, organisasi induk khusus menaungi mahasiswi Indonesia di Mesir. 

Kompleksitas drama organisasi udah gue telen semua. Dari semua yang gue lalui, gue sih ngerasa sudah mulai terbiasa dihadapkan hantaman, ujian, bahkan klimaks dari sebuah organisasi di mana gue udah ngerasa mabok berat dan rasanya cuma pengen liat awan dan laut biar sekalian muntah!

Meski begitu, gue bahagia! Kayanya emang gue terlahir sebagai seorang aktivis. Penggerak. Ke mana arah dan bentuknya, gue yang nentuin. Bakatnya udah dari sono. Gue gaa pernah nyesal mempertanyakan kenapa gue jadi aktivis. Bagi gue, to be an activist is a fate! Kudu disyukuri biar memberi feedback positif. 

Back lagi ke topik pertama yang kita bahas, gue agak sedih malam ini. Gue lagi dihadapkan suatu permasalahan yang bagi gue itu baru. Pasalnya begini, biasanya gue berhadapan sama orang itu-itu aja. Lembaga itu-itu aja. Lingkarannya ya itu aja. Jadi muter kemana-mana yaa ketemunya orang yang sama. 

Ibarat sudah lama muter di lingkaran yang sama, gue harus pindah tempat. Entah itu ke lingkaran lebih luas, atau minimal ke lingkaran tetangga. Well , sekarang gue kejebak sebuah kompleksitas drama organisasi di lingkaran yang baru. Lebih luas, lebih besar, lebih menantang. 

One side , gue exicited banget! Pasti banyak pengalaman yang bisa diambil. But in another side, gue bingung bersikap. Sikap gue ini , benar atau salah ya? Bijak atau gaa? selfish atau malah terlalu merendahkan diri? 
Gue jadi bingung, dilematis memilih untuk mempertimbangkan profesionalitas atau fokus pada realitas sambil berharap, "Nanti juga akan membaik sendiri!" 

Berproses memang penting. Kita semua kudu menghargai proses kalau pengen sukses. Tapi juga memperhatikan hal lain. Misal strategi yang kuat dan terukur. Gue jadi ngeri sendiri ngebayangin, gimana kehidupan di Indonesia. Pantes aja ada slogan "lambat disikat". "Lo lambat, Lo tamat!" Kompetisinya main banget!

Dalam skala yang masih tergolong kecil ini aja, gue udah kelabakan. Gimana yang lebih besar? Semoga keputusan gue untuk meminta agar ditinjau kembali ini adalah benar. Gue kalau ngerasa ada yang ga beres dari cara main sebuah organisasi, gue akan blak blakan bilang! Dan gue ga suka kalau ketidakberesan ini dipelihara! Pilihannya sederhana, "Bereskan! atau Lo jaga tapi gue hengkang!"

Hati kecil gue sih ngerasa bersalah ngomong gitu. Tapi gue rasa, semakin luas Lo bersosialisasi, Lo kudu punya prinsip hidup yang kuat. Jangan mau terombang ambing. Selain itu, tetap memperhitungkan setiap chance ,  possibility, dan challenge nya. Objektif dan terukur!

Kehidupan di luar itu ganas, Gaes! Tapi lebih ganas lagi kalau Lo punya hati yang susah memaafkan orang lain. Intinya, no matter apa yang terjadi, tetap saling memaafkan! Sepakat? :) 

Gitu aja dari gue, sekali lagi, gue gaa pernah berhenti bersyukur. Bagi gue, to be an activist is a fate!  Selamat berkegiatan! :)

Doakan Saya Jadi Duta Bahasa!

Bahasa kedua yang saya pelajari selain bahasa orang tua ( Bahasa Banjar ) adalah bahasa Kutai. Kutai adalah kabupaten tempat saya tinggal. Tepatnya Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. 
Meski Banjar adalah pendatang dari Banjarmasin-Kalimantan Selatan, suku ini cukup mendominasi di kampung kami. Deretan kampung kami bersuku Banjar, deretan kampung seberang bersuku Kutai. Kampung ini dipisahkan oleh Sungai Mahakam. Karena pusat perbelanjaan berada di kampung Kutai, jadi mau tidak mau bahasa Kutai adalah bahasa yang wajib dipelajari agar memudahkan proses jual beli sehari-hari. 

Lulus sekolah dasar, saya mulai merantau ke pulau Madura. Saat itu saya baru memasuki umur 11 tahun. Yang menarik perhatian saya pertama kali jelas saja, bahasa! Gaa ada satu kosakata pun dari bahasa Madura yang agak mirip bahasa Banjar atau Kutai. Sangat sedikit sekali yang diambil dari serapan bahasa Indonesia malah! So, detik pertama dengar, melongo. Detik berikutnya mbyar! buyar!

Sejak saat itu saya jadi suka gondok dengar orang Madura ngobrol di samping saya. Tapi yang namanya gondok ya, kalau disikapi negatif misal benci yang ngomong, ya feedbacknya juga bad lahya.. 
Saya lebih memilih untuk menaklukkan bahasa itu. Saat itu saya mikir , "Saya harus bisa bahasa mereka biar ga dibegoin!" 
Di sisi lain saya juga mikir, bagaimana saya mau masuk dan mengenal lebih dalam budaya mereka kalau saya tidak berada di dalam barisan mereka. Dan untuk masuk barisan mereka, at least saya harus menguasai bahasa mereka. ( Btw, cool juga ya untuk pemikiran bocah umur 11 tahun! XD )

Jadilah saya diam diam belajar bahasa Madura ( kalau terang terangan dan ketahuan berbahasa daerah bisa dihukum wkwk ). Dari ngobrol sama bibi dapur, penjual di toko sampai Pak Slamet tukang bakso yang tiap hari jum'at nongkrong depan gerbang pondok. 

Akhirnya, pada bulan ketiga di Madura saya sudah bisa ngomong cas cus berbahasa Madura, gaes! :D
Awalnya sih emang ga dapat nada dan intonasinya. Kalau saya mah, don ker aja yah! toh saya bukan native speaker bahasa setempat. Menghadapi cemoohan teman teman, saya jadi bikin rule bahasa sendiri. Begini nih bunyinya ; 

Seorang pecinta bahasa tidak akan menghina atau menyalahkan ( dg maksud menjatuhkan ) orang yang ingin belajar bahasa

Meski dia salah intonasi atau salah pronunciation misalnya , tetap kasih respect! Karena setidaknya, dia mau belajar. Dalam belajar bahasa khususnya ilmu speaking, salah dikit ga masalah kok. Yang penting bisa dipahami. Kalau mau membenarkan, bukan dengan menyalahkan trus bilang 'Ih, Lo salah!' dan biasanya andalan mereka bilang 'Gaa usah ngomong bahasa kita deh kalau ga bisa!'  MasyaAllah, kejam banget yak! :v

Hari berganti bulan berganti tahun, bahasa Madura sudah mendarah daging di tubuh saya. Sampai-sampai, pasca kelulusan dan keluar dari pulau Madura, saya lebih biasa plus lancar berbahasa Madura dibanding Banjar. Bahkan seringkali kalau ditanya kosakata, lebih kenceng speed jawab bahasa Madura!. :D

Then, sampai detik ini, 6 tahun sudah saya di Mesir, saya banyak belajar bahasa Nusantara. Dari Banjar, Kutai, Jawa, Madura, Sunda, Minang sampai Betawi. Tapi yang paling aktif sih bahasa Banjar, Kutai, Jawa, Madura dan Minang. Nambah bahasa Arab, Ammiyah Mesir, Inggris dan Malaysia. Ohya satu lagi, bahasa yang paling susah saya pahami dari dulu, yaitu bahasa hati! wkwk

Well, saya suka banget belajar bahasa. Kemana saya pergi, berkawan dan berpetualang, yang selalu membuat saya takjub adalah bahasanya. Dulu saya punya cita cita pengen jadi praktisi linguistik bahasa. Meski nampaknya, saya lebih cepat nyerap bahasa nusantara daripada bahasa asing, yang penting bahasa deh!

Doa saya sih sederhana dan mohon kiranya pembaca setia Bocah Embara sekalian sudi turut mendoakan, semoga saya jadi duta bahasa Nusantara dan Dunia. Kalau ga bisa saya, mudah-mudahan anak cucu saya bisa! Amin :)

Salam hangat dari , Cairo :)