Pages

Saturday 28 March 2015

4 Cara Sahabat berkomunikasi dengan Rasulullah Saw

4 Cara Sahabat berkomunikasi dengan Rasulullah Saw

Para Sahabat radhiyallahu 'anhum adalah orang yang hidup semasa dengan Rasulullah Saw, berjumpa beliau dan mati dalam keadaan beriman kepada beliau dan risalah yang beliau bawa. Kehadiran Rasulullah Saw di tengah-tengah mereka ibarat pelita yang menerangi kegelapan. Memberi mereka kedamaian atas carut marut kehidupan. Menyuguhkaan solusi bahwa kehidupan tidak melulu tengan peperangan, kebencian, dan hasrat balas dendam. Saat nafas kehidupan dijalani tanpa aturan, tanpa membedakan antara halal dan haram, beliau datang membawa titah Tuhan dari langit agar mereka bisa duduk bersama saling mengasihi. Menjunjung tinggi satu kalimat "Dialah Allah, Tuhan yang Maha Esa". 

Kecintaan para sahabat terhadap beliau sangatlah besar. Karena beliau adalah figur ayah, teman, dan saudara bagi mereka. Sejatinya, ketika cinta tersemat di dalam dada, seorang anak manusia akan rela melakukan apapun untuk yang ia cintai. Pun para sahabat, yang sangat menghormati dan mengasihi suri tauladan umat sepanjang masa, Mereka tidak serta merta menyamakan komunikasi mereka dengan kekasih Allah Swt itu. Diantara cara para sahabat dalam membangun komunikasi kepada Rasulullah Saw adalah : 

1. Tidak mendahului beliau dalam berbicara.

Salah satu adab para sahabat ketika berbicara dengan Rasulullah Saw adalah tidak mendahului beliau ketika berbicara. Allah Saw menyebutkan dalam firman-Nya al-Hujurat ayat 1 yang berbunyi : 


يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تُقَدِّمُواْ بَيۡنَ يَدَيِ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦۖ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۚ إِنَّ ٱللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٞ ١

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui"

2. Ketika beliau berbicara, maka mereka diam dan mendengarkan. 

Para sahabat tidak pernah mendahului perkataan mereka sebelum Rasulullah Saw mengangkat suara beliau, pun tidak pernah mendahulukan pendapat mereka daripada pendapat beliau. Begitupula saat Rasulullah Saw menyampai wahyu Allah Swt, tidak ada satupun dari mereka membantah atau menyela perkataan beliau. Banyak kita jumpai ketika Rasulullah Saw menanyakan sesuatu kepada sebagian sahabat, dan mereka menjawa "Allahu wa rasuuluhu a'lam" artinya Allah dan Rasul-Nya lebih tahu atas segala perkara. Sebagai bentuk rasa cinta dan hormat mereka kepada qudwah hasanah sepanjang masa. 

3. Tidak meninggikan suara melebihi suara Rasulullah Saw. 

Allah Swt berfirman surat al - Hujurat ayat : 2 : 

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَرۡفَعُوٓاْ أَصۡوَٰتَكُمۡ فَوۡقَ صَوۡتِ ٱلنَّبِيِّ وَلَا تَجۡهَرُواْ لَهُۥ بِٱلۡقَوۡلِ كَجَهۡرِ بَعۡضِكُمۡ لِبَعۡضٍ أَن تَحۡبَطَ أَعۡمَٰلُكُمۡ وَأَنتُمۡ لَا تَشۡعُرُونَ ٢

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara yang keras, sebagaimana kerasnya suara sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu, sedangkan kamu tidak menyadari"

Para sahabat sangat menjaga perasaan Nabi Saw. Mereka tidak ingin melukai hati kekasih Allah Swt itu dengan kata-kata mereka yang kasar dan bernada tinggi. Oleh karenanya Allah Swt  melarang kita meninggikan suara melebihi suara Nabi Saw. Supaya tidak dihapus segala amal perbuatan baik hanya karena kesalahan yang terkadang tidak disadari. 

4. Tidak memanggil Rasulullah Saw dengan sebutan nama. 

Allah Sawt menyinggung dalam surat an-Nur ayat 63 : 

لَّا تَجۡعَلُواْ دُعَآءَ ٱلرَّسُولِ بَيۡنَكُمۡ كَدُعَآءِ بَعۡضِكُم بَعۡضٗاۚ

Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul diantara  kamu seperti panggilan sebagian kalian kepada sebagian yang lain

Ayat ini turun kepada utusan Bani Tamim (ada yang berpendapat kepada selain mereka). Ketika mereka datang kepada Rasulullah Saw dan menyeru beliau dengan panggilan Yaa Muhammad! Wahai Muhammad! Lalu Allah Swt mencela mereka dengan kebodohan dan tidak berfikir. 

Demikian, sikap para sahabat dalam menyenangkan hati orang yang mereka kasihi. Sehingga Allah Swt memuji mereka dalam firman-Nya al - Hujurat ayat : 3: 

إِنَّ ٱلَّذِينَ يَغُضُّونَ أَصۡوَٰتَهُمۡ عِندَ رَسُولِ ٱللَّهِ أُوْلَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ ٱمۡتَحَنَ ٱللَّهُ قُلُوبَهُمۡ لِلتَّقۡوَىٰۚ لَهُم مَّغۡفِرَةٞ وَأَجۡرٌ عَظِيمٌ ٣

"Sesungguhnya orang yang merendahkan suaranya di sisi Rasulullah mereka itulah orang-orang yang telah diuji hati mereka oleh Allah untuk bertakwa. Bagi mereka ampunan dan pahala yang besar"

Wallahu a'lam bish-shawaab. 


Tuesday 24 March 2015

Ujian dua jam? Mahasiswi al-Azhar Kairo Gigit Jari!


Ujian dua jam? Mahasiswi gigit jari!

Qarar atau keputusan baru yang langsung ditanda tangani oleh Mudir 'Am Syu'un Ta'lim Far'u al-Banat Dr. Iman Abdul Lathif pada tanggal 16 Maret 2015 lalu benar-benar membuat mahasiswi gigit jari. Pasalnya, durasi ujian yang biasanya ditempuh selama 3 jam akan dikurangi menjadi 2 jam saja  pada setiap mata kuliah. Tentu saja hal ini menuai banyak  protes dari kalangan mahasiswi al-Azhar. 

Khususnya kami, mahasiswi tahun akhir fakultas ushuluddin jurusan hadits memiliki 11 mata kuliah untuk semester ini. Pagi tadi, terjadi perdebatan kecil antara kami dan dua dosen yang mengisi kelas hari ini. Termasuk ketika kami tanya perihal apakah akan ada pengurangan soal ketika ujian nanti, mengingat waktu yang disediakan juga berkurang. 

"Soal-soal akan sama seperti sebelumnya, Tidak akan ada pengurangan jumlah soal!" tegas Dr. Istitah Abdul Hamid, dosen mata kuliah Sirah tingkat 4 jurusan hadits. 
Dengan materi sebanyak itu, kami merasa sangat kesulitan. Teman-teman pribumi ( misriyyat ) saja merasa kurang mampu menjawab soal dalam durasi dua jam saja, bagaimana dengan kami para wafidaat ( utusan dari berbagai negara selain Mesir )?

Dr. Istitah juga menyarankan, agar kami sepakat menulis risalah atau surat permohonan untuk dekan kuliah Dirasat Islamiyah wal 'Arabiyah agar mau mengembalikan durasi ujian menjadi 3 jam. Menimbang banyaknya mahasiswi yang merasa keberatan atas keputusan tersebut. 

Berbeda dengan Dr. Istitah, Dr. Suhair dosen mata kuliah Hadits Maudhu'i tingkat 4 jurusan hadits menjelaskan bahwa soal yang akan keluar tidak akan berkurang, akan tetapi beliau akan memberikan soal yang tidak membutuhkan penjabaran yang panjang. 

Beliau mengatakan bahwa alasan durasi ujian menjadi 2 jam adalah karena pelaksanaan ujian yang bertepatan pada puasa ramadhan. Oleh karenanya, dijadikan 2 jam agar tidak menganggu ibadah puasa para mahasiswi. Selain itu, perubahan waktu siang yang semakin panjang ketika musim panas juga mempengaruhi keputusan tersebut. 

"Siapkan dan hafalkan materi kuliah kalian dari sekarang, agar nanti tidak kesulitan" jelas Dr. Suhair di akhir muhadharah. 

Ujian tulis semester ini diperkirakan akan dilaksanakan akhir bulan Mei, kisaran tanggal 25-30 Mei 2015. Untuk ujian lisan dan takhalluf belum ditetapkan kapan pelaksanaannya. 

'ala kulli haal, masih ada waktu mempersiapkan ujian akhir tahun. Semoga kita lulus dengan nilai yang memuaskan! :) Amin



Monday 23 March 2015

Ber-cerita-ku

Bercerita itu bukan hal yang mudah.
setidaknya bagiku.
Seperti bercerita tentang mauku, yang entah mengapa kini serasa itu hanya mimpi.
dari gadis yang berharap bisa lepas dari sangkar
berkelana, mencari hal baru.
tersesat, menertawakan wajah-wajah asing
menangis tak ingin kembali
biarlah begitu, tetap seperti mimpi.

yang pada akhirnya ku tangisi jua,
sama seperti terjebak dalam posisi ini
masih tak bisa aku ceritakan
mauku, maumu, mau kalian
lari saja kah aku?
atau ku tertawakan saja kita semua?

aku senang tadi malam kita bercerita,
sedikit saja. kesahku,
kau dengarkan,
kau timpali
dan kita tertawa bersama
menertawakan nasibmu, dan nasibku
yang pada akhirnya aku tahu

"kamu harus memilih, Mah! tidak harus 'siapa'. Menjauh dari semuapun adalah pilihanmu. Dan aku hargai itu"

Friday 20 March 2015

Bekerja dan kuliah di Mesir? Yuk, cari tahu!


Kuliah sambil kerja?

kalau di Indonesia, sudah banyak mahasiswa/i yang poligami status begitu. Di samping mereka kuliah, mereka juga kerja. Alasannya, untuk meringankan beban orang tua. Banyak juga yang berasalan untuk cari pengalaman. Yah, suka-suka mahasiswa lah!

terus, kalau di Luar Negeri gimana? 
Pertama yang harus diketahui, Luar Negeri tidak sama seperti Indonesia. Dari lingkungan, bahasa, budaya sampai lapangan kerja. Kalau mahasiswa Indonesia banyak yang kerja sampingan jadi kasir toko (misalnya), di Luar Negeri? belum tentu bisa. Mereka gak semudah itu percaya kepada warga negara asing untuk memegang kasir toko. Kalau saya jadi penduduk aslinya, secara naluri saya juga enggan memperkerjakan warga asing untuk pekerjaan yang langsung bergelut dengan uang seperti kasir. Bagaimana kalau pekerjaan lain?

Well, saya akan berbicara pada faktanya saja. Entah bagaimana kehidupan mahasiswa di belahan dunia yang lain, saya akan bercerita tentang kisah saya. Luar negeri bagian Timur Tengah. 
Saya adalah seorang mahasiswi di salah satu Perguruan Tinggi Islam tertua di dunia. Universitas Al-Azhar, Kairo-Mesir. Selama empat tahun menjadi mahasiswi di sini, sedikit banyak saya mengetahui kehidupan MASISIR -sebutan untuk Mahasiswa/i Indonesia di Mesir-. 

Masisir dikategorikan menjadi tiga golongan. Masing-masing golongan pengikutnya tidak sedikit. Setiap orang punya kecondongan masing-masing, termasuk kamu #eh.

Golongan Pertama : AKADEMISI ( anggota akademi )
Mereka ini orang-orang yang meletakkan pendidikan dalam urutan nomor wahid di kehidupannya. Semua hal yang tidak ada kaitannya dengan pendidikan, akan dijauhi. Biasanya mereka memiliki semangat kuliah yang tinggi. Meski di kampus yang memiliki ribuan mahasiswa dari berbagai penjuru negeri itu tidak menerapkan aturan absen ketika kelas berlangsung, tapi mereka-mereka ini akan selalu menjadi barisan pertama saat ngampus. Untuk kisi-kisi dan tugas kuliah, mereka jagonya. 
Termasuk dalam golongan ini, mereka yang hobi mengaji bersama para Syeikh di al-Azhar atau biasa disebut talaqqi. 

Golongan Kedua : ORGANISATORIS
Nah, kalau mereka ini para penggila aktifitas atau biasa kita sebut aktifis. Kegiatan mereka bejibun. Di setiap organisasi ada nama mereka. Ke sana jadi ketua, ke sini bendahara, ke situ panitia de el el deh! Terlebih lagi, organisasi di kalangan Masisir memang menjamur. Dari organisasi induk, afiliatif, kekeluargaan sampai senat. Bahkan ada yang sampai menjabat 5 jabatan sekaligus dalam satu tahun! Prestasi memang! lalu kuliah mereka?
Berbeda dengan pecinta akademis, mereka tidak menomor-wahidkan pendidikan. Yang penting siap ujian, bisa jawab soal dan lulus. Mungkin mereka memang lebih suka berinteraksi dengan banyak orang, mencari pengalaman di dunia organisasi atau mengumpulkan kartu pengenal panitia. Tapi tidak sedikit juga, para organisatoris ini yang tetap berusaha keras menyeimbangkan antara nutrisi belajar dan organisasi mereka. :)

Golongan Ketiga : Pembisnis / Pekerja
Well, golongan ini juga tidak kalah jumlah dengan para akademisi dan organisatoris. Mereka bukan para TKI atau TKW yang sengaja datang ke Luar Negeri untuk bekerja. Tapi mereka mahasiswa, mahasiswi, bahkan pelajar. Kalau ditelisik dari status mereka, tugas mereka bukanlah bekerja. Tapi apalah daya, terkadang takdir tidak semanis mimpi manusia. Meski kuliah di Luar Negeri sudah merupakan anugrah bagi remaja sekarang, tapi banyak juga mahasiswa yang memiliki latar belakang 'tidak berkecukupan' terpaksa menghidupi hidupnya sendiri dengan bekerja. Pun yang berkecukupan, karena berbisnis di luar negeri memang menggiurkan. Seperti membuka rumah makan, agen travel, pengiriman barang, jualan pakaian Indonesia dan lain-lain yang keuntungannya juga tidak sedikit!
Kalau sudah terjun dalam dunia bisnis, niscaya akan terlena. Hingga terkadang lupa akan tujuan awal merantau ke Luar Negeri. Banyak dari mereka yang berusaha menyeimbangkan dengan pendidikan, meski banyak yang tergelincir jua :)


Mari kita kembali ke pertanyaan awal, kuliah sambil kerja? di Mesir? apa bisa?
Jawabannya, bisa saja. Sangat bisa malah. Toh, kuliah tidak diabsen. Tugas kuliah juga jarang. Tapi kembali ke niat semula, ke luar negeri untuk apa? Bekerja di luar negeri tidak seperti di Indonesia yang ada pilihan part time nya. Kuliah pagi, bekerja sore. Di Mesir? Hemm... *geleng-geleng kepala*
Kita ambil contoh bekerja di rumah makan. Banyak Masisir yang menggeluti bisnis membuka rumah makan Indonesia di Mesir, otomatis membuka peluang juga untuk mahasiswa bekerja di sana. Kebanyakan rumah makan buka dari sekitar jam 10 pagi hingga jam 11 malam. Kapan belajarnya? Kapan kuliahnya? 
Belum lagi pekerjaan lain misalnya, agen travel, guide travel yang butuh hari bukan jam. Jadi?

Jadi, kuliah sambil kerja itu sangat sedikit terjadi di kalangan Masisir. Yang ada, kuliah dan kerja atau kerja dan kuliah. Artinya, hampir tidak bisa dikerjakan dalam satu hari secara bersamaan. Sedang yang kita pahami, kalimat 'kuliah sambil kerja' adalah suatu pekerjaan nyambi. Tapi bisa juga sih, bagi orang yang mengartikan dalam tahun itu dia kuliah sambil kerja. Hitungannya bukan hari, tapi tahun. :D


Tapi pada faktanya, para pekerja dan pembisnis itu sangat susah menyeimbangkan kuliah dengan pekerjaannya. 


Bukan saya tidak setuju dengan mereka yang lebih menggeluti bisnis dan bekerja, karena masing-masing memiliki alasan dan jalan hidup. Tapi hendaknya mengingat tujuan semula,  yaitu belajar. Pendidikan bukan urusan nomor dua bagi seorang mahasiswa, karena kalau  sudah jadi nomor dua, statusnya bukan mahasiswa lagi tapi mahakuli kaliya #eh hhehe


Saya seorang mahasiswi, organisatoris dan juga bekerja. Tapi prinsip saya, sekalipun saya bekerja, pendidikan saya tetap nomor satu. Alhamdulillah, jumpa pekerjaan yang cocok dengan saya. Tanpa menganggu kuliah dan waktu istirahat. 

Emang saya kerja apa? Emang ada kerjaan yang tidak menganggu pendidikan? :D
Well, Kapan-kapan saya bagi kisah saya dan pekerjaan saya di laman yang lain. :)

thankyou! ;)


Thursday 19 March 2015

Cerpen -UJANG- ditulis untuk mengisi Mading PII

Ujang

“Kau tidak ingin punya adik, Jang?” tanyaku di sela-sela perjalanan kita pulang sekolah. Kendaraan lalu lalang di sepanjang ruas jalan raya memaksaku harus menunggu sampai ia agak sepi. Aku memasukkan tanganku ke kantong celana sementara kamu sibuk menendang batu kerikil yang ada di depanmu.

“tidak,” jawabmu sekenanya. Aku menghembuskan nafas pendek. Kita memang sama-sama anak tunggal, tapi kamu masih mempunyai kesempatan memiliki saudara lagi. Berbeda denganku, aku anak yang di asuh oleh wanita yang memutuskan akan tetap menjanda sampai akhir hayatnya. Ku tekan rasa gelisahku agar tidak muncul pertanyaan yang lain.

“Aku sudah cukup memiliki kamu, Man!” lanjutmu lagi. Aku tersenyum lebar. Selebar badan truk yang menyeretmu dariku.

***

Waktu itu kamu sering membelikanku permen karet. Katamu, kita akan terlihat keren ketika berjalan sambil mengunyah permen karet, menggulung lengan baju sampai terlihat ketiak dan berjalan angkuh sambil membusungkan dada. Aku menurut saja. Kata orang, anak bau kencur dengan penampilan seperti kita hanya akan menghancurkan nama sekolah, tapi kamu bilang kamu menikmatinya. Aku?

Aku menikmati apa yang kamu nikmati. Caramu berjalan, pakaianmu, bahkan sering aku meniru apa yang kamu beli. Meski aku harus merengek-rengek meminta kepada orang tuaku agar di belikan mainan Yoyo seperti punyamu dengan merk yang sama. Asal kita selalu punya barang yang sama. Batinku. Alhasil, orang-orang selalu memanggil kita ‘kembar tapi beda’. Tapi aku lebih suka dengan julukan kita, bersahabat. 

Diam-diam aku juga selalu mengikutimu ketika kamu diajak orang tuamu ke pasar untuk membeli baju. Rumah kita yang berdampingan memudahkanku mengetahui apa yang kamu kerjakan. Jarak antara rumahku dan kamu hanya dibatasi parit kecil yang bisa dilewati kucing usia balita. Atau mungkin orang tua kita sengaja membuat parit yang sangat sempit itu sebagai pembatas bahwa “kita tidak tinggal serumah” atau “rumah kita berbeda”. Di tambah lagi kamar kita yang berdampingan, makin sempurnalah misiku mengintip kegiatanmu setiap harinya.

Aku cuek saja ketika teman-teman menjulukiku Si Penguntit. Toh, memang aku sangat menikmati saat-saat aku mengekormu. Kamu juga tidak merasa terbebani kan? Lalu apa masalahnya? Aku menaikkan gulungan lengan bajuku keatas. Sekilas nampak jelas belang warna kulit tangan dan kulit lengan yang biasa tertutupi baju. Aku membuka kancing baju membiarkan angin masuk. Panas. Lamunanku buyar saat segerombolan anak ayam hampir terinjak sepatu lusuhku. Untung induknya tidak sedang berjaga-jaga di sekitar mereka, kalau ada mampus lah aku.

Langkah kakimu masih seperti biasa. Berat dan agak sedikit diseret sehingga menimbulkan bunyi decit di jalanan. Saat itu cuaca sangat panas, tapi jalan yang kita lalu basah karena genangan air hujan tadi malam. Bau khas tanah basah menyeruak masuk melalui lubang hidungku, mengirim sinyal ke otak, lalu otak memerintahkan tubuhku untuk menghindari tanah becek itu.

“Kita mau kemana, Jang?”

“Ke pantai. Sudah lama kita tidak bermain di sana.”

Aku mengekormu lagi seperti sebelumnya. Ikut kemanapun kamu pergi tanpa penolakan, tanpa pertanyaan dan tanpa elakan. Kita memang selalu bermain sepulang sekolah. Kadang di lapangan belakang rumah Pak Haji Edi, di sekitar rumah, dan di pantai. Kali ini kamu mengajakku ke pantai. hemm, aku manut saja.

15 menit berjalan denganmu tanpa suara membuatku sedikit gelisah. Aku lihat kamu sibuk sendiri dengan pikiranmu. Sementara di seberang sana nampak papan bertuliskan nama pantai yang akan kita kunjungi “Pemandian Camplong-Madura”. Tinggal menyeberangi satu jalan raya lagi kita akan sampai di pintu gerbang. Aku melirikmu, perasaanku gelisah melihat wajahmu yang entah kenapa sangat berbeda hari ini. Akhirnya aku menemukan topik obrolan bersamamu. Sayangnya, itu menjadi topik terakhir antara aku dan kamu. Sampai akhirnya semua benar-benar berakhir.

***

Aku benar-benar panik melihat kamu tergeletak bersimbah darah di depanku. Pikiranku buntu. Suaraku tercekat di tenggorokan. Persendianku seakan rontok begitu saja. Oh Ujang! Apa yang terjadi padamu? Apa yang harus aku lakukan? Kamu berdarah Jang! Itu apa Jang? Tulang tanganmu kah yang keluar dari tubuhmu? Sakitkah rasanya? Kamu baik-baik saja kan? Bukankah kita akan ke pantai? Bangunlah, Jang!

Suara-suara itu mulai memenuhi kepalaku. Tubuhku membeku. Ku lihat orang-orang mulai ramai mengelilingi tubuhmu. Aku menyeka dengan cepat genangan air di mata yang mulai mengaburkan pandanganku. Tak ingin rasanya melepaskan pandanganku dari tubuhmu, Jang.

Orang-orang semakin ramai datang menggerumunimu. Posisiku denganmu tanpa terasa semakin menjauh. Aku tak punya daya menahan tubuhku dari desakan tubuh yang lain. Atau mungkin mereka sengaja menjauhkanku darimu karena melihat aku yang tidak bisa berbuat apa-apa untukmu. Aku tidak tau harus berbuat apa, Jang. Ku paksa otakku bekerja ratusan kali lebih cepat dari biasanya. Mencari cara apa yang bisa aku lakukan sekarang untuk kamu. Biasanya apa? Aku harus bagaimana?


Ah iya, bukankah aku penguntitmu? Bukankah aku selalu mengekor apa saja yang kamu lakukan? Ku paksakan tubuhku berdiri mendekati tepi jalan raya. Orang-orang terlalu sibuk mengurusmu sehingga tidak memperhatikan aku di sini. Entah ilham darimana, aku menemukan sesuatu yang bisa aku lakukan untukmu. Cara yang memang biasa aku lakukan untukmu. Dari kejauhan aku lihat truk berukuran besar melaju kenjang.. 2 detik sebelum badan truk sampai di depanku, aku melangkah maju berdiri lebih dulu di hadapannya. Dan menyeret tubuhku padamu, Ujang. 

Monday 16 March 2015

Naskah - AMAT DAN RAKIT JULAK INOY - Juara II Pekan Menulis Informatika

Amat dan Rakit Julak Inoy
Oleh : Rahmah Rasyidah

“Mat! Bangun!” Tubuh Emon sedikit menggigil. Tampak kegelisahan yang teramat sangat dari wajahnya. Amat mengerjap-ngerjapkan matanya dan memperhatikan sekitar. Suasana benar-benar gelap. Tidak ada cahaya apapun selain sinar rembulan. Amat bergeming. Dia menarik sarung, menutupi kepalanya dan melanjutkan tidur. Sekilas dilihat tidurnya lebih mirip seperti tidur seekor kucing. Melingkar dan meringkuk di dalam sarung.

“Mat! Bangun! Kita tersesat!” kali ini Emon mengguncang tubuh Amat sedikit lebih keras. Amat terpaksa menarik sarung dari kepalanya. Dia mengucek mata sambil mendengus kesal.

“Maksud kau apa, Mon?” jawabnya kesal.

“Kau sebaiknya membuka matamu. Kita dalam masalah!” sahut Emon dengan mimik serius. Dahi Amat bertaut kebingungan. Beberapa detik kemudian dia baru menyadari keadaan sekitarnya sangat gelap. Tidak ada cahaya rumah penduduk. Tidak ada suara kehidupan. Terdengar suara monyet hutan saling bersahutan. Jangkrik malam bernyanyi bersama suara katak. Kemudian hening.

“Kau tau kita di mana, Mat?”

“Tidak.” 

“Apa yang harus kita lakukan?” tanya Emon lagi. Amat tidak menjawab. Lima menit berlalu mereka terdiam. Duduk memeluk lutut menikmati angin yang berhembus.

“Kita akan menunggu pagi,” jawab Amat kemudian.

*** 

Matahari senja menyapa desa Muara Muntai. Sebuah desa terpencil di pelosok Kalimantan Timur. Perkampungan yang sangat jauh dari hiruk pikuk kota besar. Tidak ada mobil, bus, truk, atau kendaraan beroda empat lainnya. Transportasi utama di sana adalah perahu yang dikendalikan oleh mesin. Selebihnya kendaraan beroda dua seperti sepeda motor dan sepeda ontel. Muara Muntai sangat cocok untuk dijadikan pelarian. Pelarian dari polusi misalnya.

Sore di Muara Muntai sangat indah. Semua orang sibuk dengan aktifitas mereka. Anak-anak kecil bermain petak umpet di teras sebuah musholla. Sebagian para istri sibuk membantu suami mereka mengeluarkan ikan dari pukat dan jala. Sebagian yang lain sibuk menertawakan kehidupan gosip murahan. Beberapa gadis manis dengan rambut terurai panjang membawa keranjang sampah untuk di buang ke sungai. Amat melirik salah satu dari mereka. Dahlia, gadis manis idamannya di kelas. Pandangan mereka bertemu.

“Mau kemana kau, Mat?” tanya Dahlia.

“Ke sana!” jawab Amat malu-malu. Dia kemudian melanjutkan perjalanannya tanpa menoleh lagi kearah Dahlia. Pipinya memerah. Selama perjalanan, bibirnya tak berhenti menyinggungkan senyum. 

Kali ini dia menuju hulu desa. Mencuri waktu berkisah tentangnya. Hulu desa memang tempat yang tepat untuk mengurai cerita. Karena jaraknya dengan senja seperti sirna. Hangat senja memeluk tubuh kurus dibalut kulit berwarna sawo matang milik Amat. Suara bising mesin perahu mengitari sungai,  ibarat lagu yang mendayu-dayu di telinganya.

 “Kau sedang apa, Mat?” tanya Emon menepuk bahu kawannya. Tangan kanan Emon membawa ember kecil berisi alat pancing. Segumpal cacing yang menggeliat di dalam gelas plastik kecil nampak mencolok dilihat dari atas. Emon menutup gelasnya dengan plastik dan mengikatnya menggunakan karet agar cacingnya tidak keluar.

Amat menjauhkan sentuhan pensil dari bukunya dan menoleh kearah Emon. “Duduk,” jawabnya singkat.

Pandangannya beralih lagi menatap ejaan huruf di bukunya. Lima menit yang lalu dia baru saja mengambil posisi duduk tepat di ujung jembatan yang menjadi jalan raya utama di desanya.

“Aku tahu itu, Mat! Mataku bisa melihat kau sedang duduk,” Emon terkekeh dan duduk di sampingnya. “Mat, aku akan memancing di sana,” lanjut Emon lagi. Dia menunjuk salah satu rakit[1] yang dikelilingi banyak perahu. Amat melirik sebentar, kemudian mengalihkan pandangannya.

Dia menatap jembatan yang terbuat dari kayu selebar empat meter di hadapannya. Air sungai di desanya meluap. Merendam tiang penyangga jembatan setinggi dua meter di atas permukaan tanah. Air merambat sampai pekarangan bawah rumah warga. Beruntung semua rumah di sana adalah rumah panggung. Dia memperhatikan lalu lalang kaki manusia, kucing, dan ayam yang berjalan di atasnya. Sebentar lagi, banjir akan bertamu ke rumah mereka. Sebentar lagi, tidak akan ada kaki-kaki bersemayam di sana. Dan sebentar lagi, entah di pohon mana ayam dan unggas lainnya berteduh. Entah di atap mana kucing berkeluh.

“Kau bisa memancing di rakit Julak[2] Inoy itu!” jawab Amat menunjuk sebuah rumah terapung tak jauh dari tempat mereka duduk. “Arus air di sana tidak terlalu kuat dan sangat cocok untuk jenis umpan yang kau bawa,” lanjutnya lagi.

Emon menatap wajah kurusnya. “Aku kira kau tidak tahu apa-apa tentang memancing, Mat!” sahutnya. Dia mengeluarkan bungkusan plastik putih kecil dari sakunya. “Aku juga bawa beberapa kue bakwan untuk memancing patin” lanjutnya sambil memperlihatkan deretan giginya yang rapi.

“Bagus. Aku dengar, Julak Inoy sedang pergi ke kota. Dan dia tidak akan kembali sampai lusa. Kau bisa memancing di sana semalaman,” sambung Amat tanpa menoleh kearah Emon. Wajahnya nampak berpikir serius sambil menggigit ujung pensilnya.

“Wow! Sempurna! Ini akan menjadi hari memancing yang menyenangkan, Mat!” sahut Emon sumringah. “Kau mau ikut?” ajaknya. Amat menggeleng.

“Aku akan menyusul ketika matahari terbenam,” jelas Amat. Emon menepuk bahu sahib karibnya itu dan beranjak pergi. Tidak dihiraukannya lambaian Emon yang semakin menjauh.

Adzan berkumandang. Amat menutup bukunya dan segera berlari ke musholla untuk menunaikan salat maghrib. Selepas isya, dia akan menyusul Emon. Menemaninya memancing.

*** 

“Mon, arus sungai malam ini semakin deras,” sapa Amat dari arah belakang. Dia berjalan mendekati Emon. Setengah ember yang dibawa Emon sudah terisi ikan. Tapi belum ada ikan patin di dalamnya.

“Tengah malam nanti aku akan memancing patin, Mat!” sahut Emon seakan mengerti isi kepala Amat. Dia menangkap ekor mata Amat yang heran melihat isi embernya.

“Hemm,” jawab Amat. Dia mengambil posisi duduk tak jauh dari tempat Emon memancing. Memandang ribuan bintang di langit. Desa ini selalu menyimpan jutaan keindahan. Para bintang ini salah satunya. Batinnya.

Angin malam berhembus. Mengirim rasa kantuk pada Amat. Remang-remang lampu petromak rakit Julak Inoy membuat mata Amat kian berat terbuka. Beberapa menit kemudian, dia tertidur pulas di dalam sarung bercorak kotak-kotak cap Gajah Duduk Samarinda miliknya.

*** 

“Sepertinya, malam belum mau pergi, Mat! Entah kapan pagi datang,” keluh Emon. Mereka tidak bisa memperkirakan waktu. Pintu rakit terkunci. Suasana gelap. Sinar rembulan sesekali hilang tertutup awan.

“Bukannya kau akan memancing? Kenapa rakit ini bisa hanyut terbawa arus sungai?”

“Maaf, Mat. Tiba-tiba aku mengantuk. Dan memutuskan tidur di sampingmu,” jawab Emon merasa bersalah. Amat hanya terdiam. Satu jam mereka termenung dalam diam. Sama-sama merasa takut bagaimana harus bertanggungjawab dengan rakit yang mereka tumpangi. Karena lelah, akhirnya mereka tertidur kembali.

*** 

Amat terbangun mendengar gemericik ombak di tepi rakit. Suasana rakit sedikit terombang ambing. Dia mengucek matanya. Pagi datang. Rupanya baru saja lewat kapal pengangkut batu bara di tengah sungai. Muatannya yang berat menimbulkan gelombang yang besar sehingga rakit tergoncang.

“Mon, bangun! Sepertinya arus sungai membawa kita tersesat terlalu jauh,” Amat membangunkan Emon. 

Mata Emon terbelalak melihat sekitarnya. “Mat! Bagaiamana bisa eceng gondok sebanyak ini ada di sekitar kita???” tanyanya kaget. Rakit tersangkut di tengah-tengah lautan tumbuhan eceng gondok. Sekitar puluhan meter eceng gondok mengitari rakit mereka. Amat tidak menjawab.

Untuk sekian menit, mereka tidak saling bicara. Tidak ada rumah penduduk di sekitar mereka. Hanya ada hutan di seberang sungai. Kapal pengangkut batu bara sangat jarang lewat di sana. Arus sungai malam itu benar-benar sangat kuat sehingga bisa menyeret rakit mereka sejauh itu. Amat segera berdiri mendekati pintu rakit. Dia berusaha mendobrak masuk ke dalam. Emon mengikutinya. 30 menit berlalu, mereka tidak menemukan apa-apa. Tidak banyak barang yang ada di rakit itu.

“Sepertinya kita akan terjebak di sini dalam waktu yang lama,” ucap Emon lesu.

Kening Amat berkerut. Dia berpikir keras mencari jalan keluar. Emon sendiri menyandarkan tubuhnya ke dinding rakit sambil menghembuskan nafas panjang.

Lima jam Amat mengitari seisi rakit, mencoba mencari sesuatu yang bisa dia gunakan untuk memperbaiki keadaan. Karena bosan melihat Amat mondar mandir di depannya, Emon memutuskan untuk memancing lagi. Dia masih menyisakan beberapa cacing yang sudah mati dan sepotong kecil bakwan.

“Mat! Kemari! Ada kapal!!” teriak Emon memanggil Amat di dalam rakit. Dari kejauhan nampak kapal penumpang perlahan mendekati mereka. Kali ini berbeda arah dari kapal batu bara yang mereka lihat tadi pagi. Arahnya menuju ke Muara Muntai, tempat tinggal mereka.

Amat berlari keluar rakit. Kapal yang mengangkut penumpang tujuan Melak dan Long Iram semakin tampak lekuk tubuhnya.  Dia memperkirakan sepuluh menit lagi kapal itu akan melewati depan rakit.  Dengan sigap, dia melepaskan kaosnya dan menggunakannya untuk melambai ke arah kapal. Tapi belum sempat ia melambaikan kaos kumalnya, Emon yang melihat kawannya, langsung melepas bajunya dan melambaikannya lebih cepat.

"Hoiii!!! di sini!!!" teriak Emon. Sialnya, kapal itu tidak mengurangi kecepatannya barang sedikitpun. Kedua bocah itu mulai gusar.

“Mat, sepertinya mereka tidak menyadari keberadaan kita,” wajah emon pucat pasi. Suaranya serak karena berteriak terlalu keras.
Para penumpang kapal itu mana peduli dengan dua anak laki-laki belasan tahun, terjebak dalam sebuah rakit yang tertutup hamparan eceng gondok. Saking banyaknya, hampir-hampir memenuhi sepanjang sungai sejauh mata memandang. Amat masih terdiam. Dua alisnya hampir menyatu karena ia berpikir terlalu keras, sama keras dengan teriakan Emon yang masih terdengar. Jarak kapal dengan rakit semakin dekat.

Tiba-tiba Amat berlari masuk ke dalam rakit. Dia mengbongkar isi dapur. Melakukan sesuatu yang tidak diketahui Emon, lalu keluar lagi. Emon memandang kawannya dengan heran.

“Mon, dalam hitungan ketiga, kita harus loncat ke dalam sungai!” ucap Amat cepat. Emon nampak bingung. Tapi dia menganggung cepat.

“Satu…dua…”

“Tapi apa yang kamu lakukan, Mat?” 

“Meledakkan tabung gas!”

Mata Emon terbelalak. Detik selanjutnya, Amat menarik tangan sahabatnya berlari menjauhi dapur dan melompat ke dalam air.

Darrrr!!
Rakit itu meledak begitu hebat. Suaranya menggelegar sangat keras. Burung-burung yang beristirahat di atas pepohonan sepanjang tepi sungai, langsung beterbangan kocar-kacir. Serentak seluruh penumpang kapal pun menoleh ke kobaran api yang menjilat sebuah rakit. Dengan susah-payah, dua bocah berenang melawan eceng gondok dan menjauh dari kobaran api. Mereka tersenyum sambil melambaikan tangan kearah kapal.

Kali ini, tidak mungkin para penumpang kapal itu tidak melihat mereka.

SEKIAN
 #GoreskanPenaTorehkanSejarah


[1] Rakit : rumah terapung di atas air
[2] Julak : adalah bahasa Banjar. Panggilan paman ( kakak dari orang tua ) yang umurnya sudah tua. 

Monday 9 March 2015

Untuk kamu, yang mungkin tidak menyangka ini untukmu.


saya bukan tipe orang yang sangat perhatian pada orang lain. tapi bukan juga orang yang tidak peduli sama sekali. saya selalu merasa, saya sangat peka terhadap segala kejadian yang ada di sekitar saya. tentang sikap, tentang masalah dan tentang suatu cita dan asa yang tersenyum di balik deretan gigi. 

Mungkin sebagian ada yang mengenal bagaimana saya. Saat terlalu banyak bicara karena bahagia, atau terlalu banyak bicara karena tertekan. atau saya sekarang yang lebih condong kepada melankolis level kronis saat mendapat masalah. ya itu saya.

Atau sebagian mengenal saya adalah pribadi yang acuh. tidak peduli sekitar. tidak peduli orang lain. ya, dan itu saya yang lain. 

Sejatinya saya sangat mengerti bagaimana menjadi sosok yang harus menyimpan masalah sendiri. menangisinya sendiri. menertawakanya sendiri. saya sangat memahami rasa itu. banyak hal dalam hidup saya berubah karenanya. ada yang ke positif dan banyak juga ke negatif. 
seperti saya yang tidak pernah kuat mendengar makian orang lain misalnya. tiba-tiba tubuh bergetar hebat. atau saya yang sangat takut mendengar kritikan, entah itu yang membangun atau menjatuhkan. dan banyak hal lagi. yang membuat saya sangat muak pada masa lalu saya. dan berterimakasih pada mereka yang membantu menorehkannya di hidup saya. 

ohya, balik lagi ke kamu. 
bukan saya tidak mau mendengar, hanya mungkin saya belum yakin bahwa saya adalah pendengar yang pas untukmu. 

Sunday 8 March 2015

Bukan, bukan aku dendam. Kawan?

Bukan mauku membenci kalian. Bukan inginku mendendam ini semua.
Hampir di setiap sujud aku selalu berdoa,
Memohon agar Allah menghilangkan semua penyakit hati
Benci, dendam, iri, dengki, marah, terhadap orang lain
Terhadap kalian, yang menyisakan luka terlalu dalam.

Terlalu dalam. Sangat dalam hingga terkadang ia menjelma menjadi sebuah mimpi buruk
Menyisakan rasa sakit yg amat nyata, kawan.
Bahkan aku mengira itu nyata.
Mimpi itu, selalu berhias tangis dari mataku.
Tangis yang... ah, hampir saja aku vonis itu bukan mimpi.
Tapi benar-benar tangisanku yang sudah tak sanggup ku bendung
Terlalu berat bagi umurku yang masih jauh lebih muda dari kalian memendam rasa itu
Rasa sakit, terasingkan, terpojokkan, disalahkan atas sesuatu yang aku pun tak tahu itu salah siapa
Di tinggal orang yang aku harapkan tetap berdiri di sampingku
Di acuhkan, di datangi hanya ketika kalian butuh
Satu tahun aku menjalani itu semua.
Itu tidaklah sebentar, kawan.

Tahukah kalian, kawan,
Biar ku ceritakan beberapa contoh dari sekian mimpi burukku selama aku di Mesir
Mimpi tentang kita, tentang aku dan kalian dulu
Berbeda-beda, berbagai latar belakang
Tapi rasanya sama, tertekan, sakit, sesak.
Rasanya seperti aku kembali ke masa kita sekolah dulu
Lalu semua memori itu di putar ulang.
Hanya saja, aku dalam kondisi berbeda
Tidak hanya diam mendengar caci maki kalian
Tidak hanya pasrah melihat tatap tajam kalian
Aku selalu saja dalam posisi menangis
Ada rasa marah dalam tangisku, marah yang dulunya terpendam
Aku luapkan saat itu. dalam mimpi.
Entah mengapa, mimpi itu seringkali hanya tentang luapan rasa marahku
Kecewaku,
Sedihku,
Tidak hanya terjadi sekali, kawan. Berkali-kali, setiap tahun.

Bukan, bukan aku dendam. Kawan?

Naskah -BUNGA TIDUR- Juara 1 Lomba Menulis Cerpen Senat FSI Kairo

 BUNGA TIDUR
oleh : Rahmah Rasyidah
Senin pagi yang indah. Udara musim dingin bertiup pelan. Menyapa sinar mentari yang malu-malu mengintip dari ufuk timur. Memberi kehangatan pada winter yang sebentar lagi beranjak pergi. Cici merentangkan tangan. Menghirup udara pagi yang masih sedikit berpolusi. Gedung-gedung berwarna cokelat berdiri kokoh di sepanjang jalan. Menjadi saksi banyaknya jenis kendaran yang sudah mulai memenuhi jalan raya. Ada mobil pribadi, ada juga transportasi umum seperti bus biru, bus merah, bus hijau hingga mikrolet. Uniknya, sepeda motor di sini adalah barang langka. Penggunanya bisa dihitung jari dan rata-rata para lelaki. Bukan karena peminatnya sedikit, tapi karena adat warga di sini yang menganggap aib bersepeda motor terlebih bagi wanita.
Kota ini bernama Kairo. Sebuah ibu kota dari negara yang menyimpan berjuta peradaban dunia. Kiblat ilmu untuk menggali wawasan agama. Tempat seorang wanita menghanyutkan buah hati tercinta agar bisa selamat dari kejaran rajanya yang kejam. Tak ayal sang anak tumbuh besar menjadi pemuka agama. Menaklukkan Fir’aun, sang raja yang mengaku tuhan di dunia. Sehingga Tuhan murka dan  menenggelamkan Fir’aun bersama pengikutnya di tengah samudera. Cici sudah menaruh hati terhadap kota seribu menara ini saat pertama kali dia mencuri udaranya. Saat itu hari Jum’at, 21 Oktober 2011. Dia mulai menulis sejarahnya di langit Kairo.
***
Cici mempercepat langkah kakinya. Hari ini ada banyak diktat kuliah yang harus dia lahap habis di kelas. Beruntung jarak rumah dan kampusnya tidak begitu jauh. Butuh waktu 15 menit jalan kaki untuk sampai ke mulut gerbang. Mahasiswi dari berbagai negara sudah memenuhi antrian masuk. Dengan beragam jenis kulit dan model baju sampai aroma yang membuat hidungnya serasa mati rasa. Tubuh mungil Cici berada di antara mereka. Kepalanya mendongak ke atas agar masih bisa bernafas.
Cici mencoba bersabar melewati kenyataan ini setiap pagi. Aturan masuk dengan mengantri ini memang baru saja diterapkan pada tahun ajaran 2014-2015. Untung saja, ini akhir tahun bagi Cici untuk menyelesaikan program sarjananya di Universitas Al-Azhar, Kairo. Mungkin sudah menjadi kebijakan pihak kampus untuk menghindari terjadi demonstrasi di dalam wilayah kampus. Atau? Entahlah!
“Hai Ci, nampaknya kamu butuh peninggi badan untuk bernafas,” Silvi, sahabat karib Cici berbisik di telinganya. Ia tergelak melihat respon Cici yang setengah terkejut dan kesal.
“Yee, kayak situ tinggi aja!” sahut Cici tanpa memalingkan wajah. Antrian masih sangat banyak. Melingkar menutupi seluruh sisi gerbang. Mungkin ini salah satu keunikan antrian kampusnya. Bentuk antriannya bukan memanjang, tapi melingkar. Cici bahkan tidak bisa sekedar menoleh ke arah Silvi. Benar-benar terjebak dalam arus deras lautan manusia.
“Pulang kuliah, kamu ada acara apa, Ci?” tanya Silvi. Dia tampak tidak terganggu dengan suasana berdesakan di pagi hari seperti ini.
“Hemm, ada kegiatan sih!” jawab Cici singkat.
“Kegiatan apa?” tanyanya lagi. Cici sudah mulai jenuh menghadapi nafsu knowing every particular object alias kepo sahabatnya yang satu itu. Mungkin itu tanda perhatiannya sebagai seorang sahabat. Tapi itu sudah menjadi makanan Cici setiap kali bertemu dengannya. Meski kesal juga, terkadang pertanyaannya lebih sulit ditemukan jawabannya daripada pertanyaan ujian di kampus. Akhirnya Cici tersenyum.
“Kepomu gak berkurang juga, yah!” jawab Cici terkekeh. “ Ada kajian ekonomi di Wisma Nusantara,” sahutnya lagi.
“Kamu kajian mulu kayaknya. Kajian ekonomi, kamu ikut. Kajian ushul fiqh juga. Belum lagi kursus-kursusmu itu. Gak pusing ya?” celotehnya.
Cici hanya tertawa. Cici yakin Silvi sudah tahu jawabannya. Dia memang suka mengisi waktu kosongnya untuk hal-hal berbau pendidikan. Seperti kajian-kajian atau kursus. Ditambah lagi, berbagai jenis kajian sudah menjamur di kalangan Masisir –sebutan untuk Mahasiswa Indonesia di Mesir-. Dari kajian umum, agama sampai seni seperti menulis. Waktunya juga hampir setiap hari ada. Kadang malah di jam yang sama. Tinggal milih mau masuk dalam kajian apa.
Semenit kemudian, Silvi dan Cici sudah berhasil melewati mulut gerbang. Cici berjalan tergesa-gesa. Gara-gara terjebak dalam antrian panjang itu, dia harus kehilangan 15 menit waktu belajarnya. Ah, pasti dosen killer itu sudah sampai di kelas! batinnya.
Cici mempercepat langkah menuruni anak tangga yang berbentuk huruf L. Tiba-tiba dia mendengar suara teriakan seorang wanita dari arah tangga tepat di atas anak tangga tempat dia berdiri. Detik selanjutnya, tubuh besar dibalut pakaian serba hitam itu menimpa tubuhnya. Cici terguling. Kepalanya terbentur beberapa anak tangga. Dia meringis kesakitan. Bagian belakang kepalanya terasa sangat sakit. Cici mencoba berdiri, dan semuanya menjadi gelap.
***
“Ci, bangun! Sudah mau ashar, loh! Kamu belum shalat dzuhur!” Rara, teman sekamar Cici membangunkannya yang masih tertidur pulas. Seluruh tubuhnya terbungkus selimut. Musim dingin memang momen yang sangat pas untuk tidur dan menambah berat badan.
Cici menggeliat. Tangan kanannya meraba bagian belakang kepalanya. kok sakit, ya? batinnya. Sekujur tubuhnya kaku. Seingatnya, dia baru saja jatuh dari tangga di kuliah. Kenapa bisa tiba-tiba di sini?
“Ra, kok aku bisa di sini?”
“Loh! maksudmu opo toh, Ci! Kamu dari tadi pagi tidur. ndak bangun-bangun sampai sekarang.” Gadis kelahiran Gresik, Jawa Timur itu menjawab pertanyaan Cici sambil membereskan isi lemarinya.
“Bukannya tadi aku di kuliah? Terus aku jatuh dari tangga?” tanya Cici lagi. Dia benar-benar bingung. Kepalanya terasa makin nyut-nyutan.
“Jatuh dari tangga?” Rara tertawa mengulang pertanyaan temannya itu. “Mungkin itu salah satu bunga tidur musim dinginmu kali, nduk!” lanjutnya terkekeh. Sambil meletakkan tumpukan baju terakhirnya ke dalam lemari ia keluar kamar menuju dapur.
“Tapi kok kepalaku sakit Ra??” tanya Cici setengah berteriak. Dia memegang kepalanya yang masih terasa sakit di bagian belakang. Dari arah dapur Rara membalasnya dengan berteriak juga. “yo jelas sakitlah! Wong kamu tidur dari malam sampai mau ashar!”
“hah?” mata bulat Cici terbelalak. Dia melirik jam hello kitty yang menempel di dinding kamar di atas kepalanya. Jarum pendek menunjukkan kearah pukul 03.00 pm. Pukul 03.30 pm dia punya janji rapat dengan teman-teman FLP ( Forum Lingkar Pena ) Mesir. Cici sangat anti dengan istilah jam karet, secepat kilat ia berlari menuju kamar mandi.
bruuuk! Suara pintu kamar mandi dibanting keras.
Setengah jam kemudian, Cici sudah berada di dalam bus merah menuju Hay ‘Asyir. Cici memakai setelan gamis cokelat tua dipadu jilbab kaos merek rabbani berwarna cokelat krem dan jaket musim dingin berwarna hitam. Dia menerobos kerumunan orang yang berdiri di dalam bus. Cici menggurutu kesal, bagaimana mungkin dia bisa terlambat sedangkan dia satu-satunya orang yang paling semangat memproklamasikan anti jam karet. Kepalanya masih menyisaksan nyeri di bagian belakang. 10 menit kemudian, Cici berhasil mendapatkan tempat duduk.
Perjalanan ke Hay ‘Asyir membutuhkan waktu 30 menit dari rumah. Cici melirik jam tangan pink kesayangannya. 15 menit lagi baru tiba di lokasi. Dia mengaktifkan ponsel smartphonenya, ada banyak notifikasi pesan masuk whatsapp dari berbagai pihak. Dari keputrian kekeluargaan, afiliatif, senat, grup kajian, atau pesan japri alias jaringan pribadi dari teman-temannya. Cici membuka notifikasi dari grup whatsapp FLP Mesir. Sudah banyak pemberitahuan teman-teman tentang rapat. Sebagian besar sudah datang. Banyak juga yang mempertanyakan keberadaan Cici.
Cici mana oyy??
Ada yang tau Cici ngumpet di mana? Kok belum nongol?
Wah, Miss. Anti Jam Karet kita kayanya kehabisan jam normal. Jadi ikutan make jam karet!
Bla…bla…bla… Cici mematikan ponselnya. Dia menarik nafas berat. Pasti nanti dikeroyok teman-teman, batinnya. Cici masih merasa heran dengan mimpi anehnya siang tadi. Nyeri di kepalanya masih terasa. Dia memejamkan mata. Sampai tak sadar, dia tertidur pulas di bus.
***

teeeeettt…teeeeett…
Suara bising kendaraan yang beradu di sore hari membangunkan Cici dari tidurnya. Terdengar umpatan supir bus saling bersahutan dengan seorang bapak paruh baya. Air liur muncrat mengenai pakaian lusuhnya saat ia membalas caci maki supir bus yang Cici tumpangi. Cici menggerakkan kepalanya ke luar jendela, dia menebak bapak itu juga seorang supir kendaraan umum. Pertengkaran seperti itu sudah biasa terjadi di negeri Piramida ini. Penyebabnya biasanya sama. Ada yang menyalip jalan, tersenggol mobil lain lalu terjadilah adu mulut. Tapi pertengkaran ini jarang sampai melibatkan pihak kepolisian. Hanya sekian menit saja, setelah itu seakan-akan tidak pernah terjadi apa-apa di antara mereka. Kepala Cici terasa sakit lagi. Kali ini lebih nyeri dari sebelumnya.
“Ci, ayo kita turun!” ajak Salma.
“Kita di mana?” tanya Cici kebingungan. Dilihatnya daerah itu nampak tidak asing.
“Loh, kita kan mau talaqqi[1] di Darrasah, Ci! Masa’ lupa? Katanya kamu sudah nyiapin uang untuk beli kitab?” sambungnya lagi.
Cici merogoh saku, ia menemukan uang 50 junaih[2] di sana. Uang ini untuk beli kitab? batinnya. Semakin Cici mencoba berpikir lagi, semakin terasa nyeri di kepalanya.
“Hari ini ngaji apa, Ma?” tanya Cici pasrah.
“Ngaji fiqh syafi’i sama Syeikh Hisyam Kamil” Jawab Salma.
Cici mengikuti Salma turun dari bus 65 berwarna merah. Jalannya sempoyongan. Segerombolan pemudi dari Thailand tampak berjalan melewati Cici. Mereka melempar senyum ke arah Cici dan Salma. Cici membalas dengan tatapan aneh.
“Ma, jam tanganku di mana ya?” Cici memeriksa pergelangan tangannya. Dia tidak menemukan jam tangan pink yang biasa dia pakai.
“Sebelum naik bus, kamu bilang kalau jam tanganmu ketinggalan.”
“Ketinggalan?” sahut Cici cepat. Aneh. Biasanya dia tidak pernah meninggalkan jam tangan kesayangannya itu. Rasanya, baru beberapa jam yang lalu dia melirik jam tangannya saat di perjalanan menuju Hay ‘Asyir, dan sekarang? Ketinggalan?
“Hemm, kamu tau gak rapat FLP kapan?” tanya Cici lagi. Salma mengernyitkan dahi. Kebetulan dia sama-sama aktifis di FLP.
“Rapat FLP besok, Ci! Jam 03.30 pm.”
“Besok?” mata bulat Cici membesar. “Bukannya ta…” Cici menghentikan langkahnya. Dia menatap Salma dalam.
“Kamu kenapa sih, Ci? Sakit?” tanya Salma mulai khawatir. Salma mengenal Cici sudah lama. Dua tahun yang lalu, dia bertemu Cici saat sedang dalam perjalanan menuju Darassah untuk mengaji. Kepribadian Cici yang supel dan mudah bergaul membuat Salma merasa nyaman berteman dengannya. Sejak saat itu, dia mengetahui sosok aktifis Cici selalu meluangkan satu hari waktunya dalam seminggu untuk mengaji kitab bersamanya.
“Rasanya tadi aku sedang di bus untuk hadir rapat FLP. Tapi tiba-tiba aku sudah sama kamu” Cici bercerita dengan suara lirih. Dia menekan kepala bagian belakang dengan tangan kanannya. Nyeri lagi, batinnya.
Salma terbahak. “Kamu terlalu memikirkan acara talk show FLP besok lusa, Ci! Rapatnya besok kok! Sudahlah, santai saja. Nanti aku bantu mempersiapkannya, oke?” jawab Salma sambil merangkul pundak Cici.
“Berarti seharian ini, aku sama kamu?”
“Iya, Ci! Mungkin itu bunga tidur kamu di bus!” jawab Salma terkekeh. Dia meraih tangan Cici dan menariknya untuk segera jalan. “Ayo cepat! Kita sudah telat!” sahutnya lagi.
            Bunga tidur?
            Tiba-tiba kepala Cici teras sangat sakit. Dia merasakan keadaan di sekelilingnya berputar-putar. Samar-samar ia mendengar suara orang yang sedang berbincang-bincang tidak jelas. Seperti suara bising lebah dalam sarangnya. Pandangan Cici mulai kabur. Nafasnya tertahan. Dicarinya Salma, tapi dia sudah tidak melihatnya lagi di sampingnya. Cici mencari sesuatu untuk dijadikan pegangan tapi tidak ia temukan. Dia terjatuh dan semuanya gelap.
***
            Cici membuka mata. Dia meringis saat mencoba duduk. Kepalanya terasa berat. Nyeri seperti tertusuk ribuan jarum di sana. Dia melihat ke sekelilingnya, ada dua lemari kayu yang sudah tampak tua dan reyot berbaris dua meter dari hadapannya. Di atas kepalanya, jam dinding hello kitty masih mengeluarkan bunyi ‘tak tik tak tik’. Hampir seperti suara ketukan pena di atas meja seorang guru yang sedang mengawasi muridnya di ruang ujian.  Cici menyadari dia sedang terbaring di kamarnya.
            “Guys, Cici sudah bangun, nih!” teriak satu orang. Entah siapa itu Cici tidak bisa mengenali suaranya. Terdengar deru langkah kaki mendekati ruangan Cici. Silvi, Salma, Rara, Intan, Iir, dan beberapa teman rumahnya menyerbu Cici.
“Gimana kabarmu, Ci?” tanya Salma bersemangat. Cici menatap mereka satu persatu. Adegan jatuh dari tangga, terlambat datang rapat FLP, dan pingsan saat akan menghadiri talaqqi bersama Syeikh Hisyam seperti disiarkan ulang dalam benaknya. Dia sudah tidak bisa membedakan mana yang nyata dan mana yang tidak.
“Aku mimpi lagi, ya?” tanyanya memastikan.
“Maksud kamu apa, Ci?” Intan teman serumahnya bertanya balik. “Kepalamu masih sakit, Ci?” Silvi menimpali. Mereka semua mulai tampak khawatir. Jangan-jangan Cici kehilangan ingatan karena kepalanya terbentur terlalu keras.
“Kok, kalian tahu kepalaku sakit?” tanya Cici heran. Sejauh ini dalam mimpi Cici tidak ada yang menyadari tentang sakit kepalanya.
“Kamu kan baru sadar dari pingsan, Ci.” Jawab Rara.
Pingsan? Pingsan yang mana? Jatuh dari tangga? atau pas talaqqi? Cici mulai kebingungan. Kali ini dia benar-benar yakin bahwa dia sedang bermimpi lagi.
“Ci, aku minta maaf, ya! Gara-gara aku gak sengaja menginjak pakaian orang mesir di depanku, dia jadi jatuh nimpa kamu, deh!” Silvi menjelaskan dengan raut wajah menyesal. Kening Cici bertaut bingung.
“Kamu juga dapat salam dari teman-teman FLP. Rapat gak ada kamu gak asik kata mereka” sambung Salma tersenyum.
“Teman-teman senat juga titip salam, Ci. Semoga cepat sembuh!” Intan menimpali. Selanjutnya Cici kebingungan menerima banyak salam dari berbagai pihak. Cici hanya diam.
“InsyaAllah ada hikmahnya, setidaknya Cici sekarang bisa istirahat dari jutaan aktifitasnya itu”
“Iya, Ci. Tubuh kamu juga butuh istirahat” sahut yang lainnya.
“Tapi acara talk show FLP tanpa Cici, hampa euy!” Salma menimpali. Mata bulat Cici membesar. Dia menatap Salma dalam. “Acara FLP sudah diadain?” tanyanya.
“Sudah Ci, kemarin” jawab Salma.
“Berapa lama aku pingsan?”
“3 hari” jawab mereka serempak.
“Hah?” Cici shock. Mulutnya terbuka lebar. Nyeri kepalanya makin terasa. Seketika ia berharap yang ini juga termasuk bunga tidurnya.  
SEKIAN




[1] Talaqqi : diambil dari kata bahasa arab yang diartikan bertemu dengan seorang Syeikh dan duduk bersama beliau untuk mengaji ilmu agama.
[2] Sebutan untuk mata uang Negara Mesir.