Pages

Tuesday 7 April 2015

Naskah Cerpen -Gadis Kemarin Sore- Juara Satu Lomba Cerpen KSW Mesir

GADIS KEMARIN SORE
Oleh : Rahmah Rasyidah


“Kau tahu kisah penunggu hutan di dekat rumah kau itu, Re? Itu hutan keramat! Konon hutan itu dijaga oleh beberapa setan wanita sejak ratusan tahun yang lalu. Kau harus berhati-hati!” 
“Kau masih percaya mitos, El? Aku kira kau lebih cerdas dari itu!”
***
Ekor mata elangnya melirik tajam kearah kerumunan massa. Jalannya terseok, membungkuk kedepan. Sesekali terjatuh dan dipaksa berdiri kembali. Tali berdiameter  satu sentimeter mengikat tangannya yang kurus. Kalau saja tidak ada kulit yang membungkusnya, orang-orang pasti mengira dia kerangka tulang yang berjalan.

Prakk!

Sesuatu mengenai kepalanya. Cairan basah dan lengket membasahi rambut cepaknya yang hitam. Dia menunduk, matanya menangkap kuning telur dan pecahan cangkang jatuh ke bawah. Sumpah serapah membanjiri udara, tak satupun bisa ia rekam dengan baik. Dia hanya mampu menyapu pandangannya dan wajahnya yang menghadap bumi. Empat tubuh besar mengelilinginya, mencoba melindungi tubuh kecil itu. Meski demikian, ada saja sesuatu yang berhasil mengenai tubuhnya dari amukan massa.

“Bakar saja!”
 “Jangan biarkan dia hidup! Pembunuh harus dibunuh!”

Suara itu semakin jelas menggetarkan selaput gendang telinganya. Detik selanjutnya, ratusan kepala berbondong-bondong memenuhi lapangan. Memuaskan dahaga penasaran mereka, mengintip maut yang akan menghampirinya. Sesekali dia mengusap keringat di dahi dengan kaos yang menempel di bahunya.

Matahari berada tepat di atas kepala saat dia berada tepat di tengah-tengah kumpulan manusia. Menatap wajah-wajah terbakar amarah. Sedang wajahnya datar. Tak sedikitpun menyiratkan rasa sesal. Pun rasa takut terhadap maut.

Suasana tiba-tiba hening saat La Ode[1] More, tetua desa memasuki lapangan. Beberapa orang membantunya berjalan dengan sebuah tongkat berkepala ukiran ular. Tongkat turun temurun dari tetua sebelumnya. Ketenangan tergambar jelas pada wajahnya yang keriput. Namun tubuhnya mengeras meredam amarah. Dia berdiri menghadap warga.

“Kita sangat memegang kuat adat,” ucap La Ode More menyapa siang yang terik. Dia berjalan mendekati tubuh kurus yang sekarang menjadi sorotan warga. Menjambak rambutnya dan memaksanya mendongak.

“Kita akan membakar siapa saja yang melanggar perintah leluhur kita!” sambung La Ode More mengakhiri kalimatnya. Setiap kata yang terucap seperti aliran listrik yang membangkitkan amarah warga. Gemuruh amukan warga kian memanas. Sepanas terik matahari siang itu.

***

Desa Katilombu seperti neraka bagi Rere. Gadis yang baru beranjak dewasa itu menghabiskan hidupnya mengurung diri di gubuk kecil, di salah satu kecamatan penghasil makanan sagu terbesar di Indonesia. Perkembangan zaman modern seperti enggan dicicipnya. Berapa kali Rere meminta sesuatu yang biasa diminta gadis sesusianya, tapi Ama[2] menolak. Ama sangat keras, terutama dalam memegang kuat adat dan aturan daerah.

Sore itu udara sangat bersahabat. Sepoi angin bertiup pelan menerbangkan rambut panjang Rere. Dia menemani Ina[3] memijat punggung Ama di teras rumah yang terbuat dari anyaman bambu.

“Kau tidak sama seperti yang lain, Re!” ucap Ama saat Rere memberanikan diri meminta ijin pergi ke kota bersama teman-temannya.

 “Apa gerangan yang membuatku berbeda, Ama?” jawab Rere sambil memasukkan singkong rebus dan beberapa makanan ringan ke dalam sebuah rantang berukuran sedang.

Setiap jum’at sore, menjelang matahari terbenam, Ama selalu berkunjung ke kediaman La Ode More. Tetua desa Katilombu. Sekedar meminta petuah dan nasehat dari pemimpin desa yang sudah berumur hampir seabad itu.

“Tidak apik kau berbuat seperti itu. Kau wanita. Sudah takdir kau berlatih menjadi istri dan ibu yang baik.”

“Bukankah teman-teman wanitaku yang lain bisa melakukan hal yang sama, Ama?” sanggah Rere. Spontan dia menggigit lidahnya sendiri karena menyesal telah mengatakan itu di hadapan Ama. Rere menunduk.

Ama meluruskan punggung, membetulkan posisi duduknya, dan meletakkan kedua tangannya di atas paha. Nampak amarah seperti sedang menggelitik Ama hingga urat lehernya bermunculan, tapi angin mengajaknya berdamai. Rere segera menarik diri dari teras dan masuk ke dalam rumah. Dia tidak ingin Ama mengamuk lagi, terlebih Ama mudah sekali memukul Rere ketika marah.

***

Sembilan bulan berlalu, dengki dan iri tumbuh subur di dalam hati Rere. Beranak menjadi dendam yang kesumat. Dia selalu mengutuk diri sendiri mengapa terlahir menjadi wanita. Bukan! Dia menyesal mengapa harus menjadi anak gadis Ama. Akan lebih beruntung dia menjadi anak gadis dari orang lain. Yang tidak terlalu peduli dengan adat, yang bukan ekor dari La Ode More, yang bukan Ama!

Rere menyusuri jalanan selebar empat meter di desanya. Wajahnya hampa. Dia baru saja pulang dari pasar, membeli sayur mayur untuk persiapan Ina memasak esok hari. Rumahnya berada di dekat lapangan kecil di ujung desa Katilombu. Tepat di perbatasan antara desa dengan hutan kayu jati. Masyarakat Katilombu biasa membuat pertemuan di lapangan itu. Entah untuk hal formal, atau hanya sekedar tempat hajatan warga.

Rere meratapi hidupnya yang tidak bisa keluar dari desa. Dia baru saja menyelesaikan pendidikan menengah atasnya beberapa bulan yang lalu. Beberapa temannya melanjutkan ke perguruan tinggi di kota. Banyak juga yang memilih merantau ke tempat yang lain. Seperti Eli, sahabat Rere juga meninggalkan Katilombu sebulan yang lalu. Orang tuanya mengijinkannya mengambil beasiswa kuliah di tanah Jawa. Berbeda dengan Rere, dia dan Katilombu bagai magnet yang saling tarik menarik. Tidak bisa ia tinggalkan. Atau mungkin karena Ama, yang mengubahnya menjadi magnet desa.

Menyelesaikan sekolah menengah atas juga sudah cukup untuk kau, Re! leluhurmu dulu bahkan tidak menyicipi sekolah dasar!

Rere mengingat dengan baik kata-kata Ama itu. Kepalanya semakin tertunduk, seperti ingin mengubur wajahnya di dasar bumi.

Bruk!

Seorang bocah laki-laki berpakaian lusuh menabrak Rere. Keranjang berisi sayur yang dia bawa terlepas dari tangannya dan jatuh berserakan di jalan. Bocah itu nampak acuh, dia sama sekali tidak melirik Rere. Nafasnya tersengal, Rere dapat menangkap ketakutan terpancar di matanya. Dia berlari masuk ke dalam hutan.

Beberapa detik kemudian, dua orang wanita muncul lima meter dari tempat Rere berdiri. Wajah mereka menyeringai penuh misteri. Satu diantara mereka berwajah bulat, rambutnya hitam sebahu. Dan satunya lagi, memiliki rambut yang tak kalah hitam dan panjang. Tatapan mereka lurus, seperti tidak peduli adanya Rere di sana. Menatap hutan, menatap bocah tadi. 

Angin meraba tengkuk Rere saat mereka berjalan melewatinya. Dalam sekejap, mereka sudah memasuk hutan. Giliran Rere yang ketakutan. Dia berlari memasuki rumah, melempar keranjangnya dan membenamkan wajahnya di bawah bantal. 

*** 

Senja menyeringai, membias cahaya jingga ke permukaan langit. Awan berarak bergantian meninggalkan cakrawala. Menyusul matahari yang kini beranjak pergi menuju peristirahatannya, Sore itu, Katilombu menjelma menjadi desa yang sangat ramai. Hingar bingar warga yang sedang mempersiapkan ucapara seratus tahun La Ode More memberi warna tersendiri bagi mereka.

Turun temurun Katilombu dipimpin keturunan La Ode Kedo, tetua pertama hingga La Ode More, tetua yang memimpin saat ini. Mereka percaya Katilombu akan tetap aman selama mereka tetap menjaga adat, tidak saling membunuh dan menjaga kerukunan warga. Dan satu lagi, aturan yang tidak banyak diketahui warga Katilombu selain keturunan La Ode,  mendidik dan menjaga para anak gadis keturunan La Ode.

Selang beberapa menit, aktifitas mereka terhenti mendengar suara gaduh di salah satu rumah penduduk. Tangisan histeris dari seorang wanita menarik mereka berkumpul. Tubuh kecil dari penghuni rumah itu terhempas keluar, meronta kesakitan saat mencoba menghindari pukulan. Baju kaos yang ia kenakan robek di beberapa bagian. Dia merangkak keluar sambil menangis.

“Apa yang kau pikirkan, hah??” maki seorang laki-kali dari arah dalam rumah. Dia melempar sebuah gunting berwarna keemasan ke dinding. Kakinya menyeret tumpukan potongan rambut hitam yang berserakan di lantai.

Dengan tergesa-gesa dia melangkah menuju pintu. Dia meraih sebilah parang panjang yang menempel di dinding . Matanya menatap penuh amarah. Diseretnya tubuh kecil itu ke tengah lapangan. Seorang wanita dengan air mata membanjiri pipinya mencoba menahan kaki lelaki itu. Pakaian yang ia kenakan sampai robek ketika mencoba mendekap tubuh kecil yang kini menjadi sorotan warga.

Tapi dekapan erat itu tidak bertahan lama. Tubuhnya terpental saat tendangan kaki lelaki berkulit sawo matang itu mengenai perutnya.  Seketika sebuah tendangan balasan melayang dari arah bawah  dan mengenai selangkangan. Parang panjang jatuh mengenai kakinya. Darah segar mengucur deras, dia berteriak kesakitan.

Untuk beberapa menit warga Katilombu seperti terhipnotis dengan pemandangan yang ada di hadapan mereka, pekik kesakitan dari tubuh besar laki-laki itu menyadarkan mereka . Beberapa laki-laki langsung berlari mendekatinya. Tapi dia menolak, detik selanjutnya dia gelagapan mencari sosok kecil yang menjadi sasaran kemarahannya. Dilihatnya sosok itu tertatih berlari memasuki hutan. Tangannya meraih kembali parang panjangnya dan berjalan menuju hutan.

Semua orang hanya bisa melihat dari jauh. Tidak ada yang berani menghalanginya. Tidak ada yang berani mengejarnya. Punggung lelaki itu menghilang di dalam hutan seiring dengan perginya lembayung senja dari ufuk timur.

***

Rere memilih duduk di teras rumahnya. Pikirannya mengembara entah kemana. Setelah insiden siang itu, dia terlihat lebih pendiam. Sore itu Rere mencoba mengalihkan pikirannya dengan menikmati pemandangan warga Katilombu yang sedang bergotong royong menyiapkan upacara memperingati seratus tahun La Ode More. Lapangan masih sepi, hanya ada beberapa orang yang datang dengan mengangkat empat tiang besar setinggi tiga meter. Tiang itu nantinya akan dijadikan sebuah tenda sederhana untuk tempat duduk La Ode More selama upacara.

Beberapa menit kemudian,  tiga orang datang dengan membawa beberapa kotak lilin. Memasukkannya dalam sebuah wadah kecil terbuat dari pahatan kayu jati dan menatanya membentuk lingkaran. Di tengah-tengahnya, mereka letakkan setumpuk kayu bakar untuk membuat api unggun.

Rere menyapu pandangannya ke seluruh lapangan. Dia terpaku saat menangkap sosok wanita berambut pendek dengan wajah bulat berdiri di tepi hutan. Menatap kearahnya. Mengisyaratkan sesuatu, tapi Rere terlalu kalut untuk bisa mencerna pesan yang dia sampaikan. Wanita itu mendekat, melangkah santai melewati beberapa warga yang sama sekali tidak menyadari keberadaannya.

“Gunakan ini!” bisiknya tepat di telinga Rere. Dia meninggalkan sebuah gunting berwarna keemasan. Membelai rambut panjang Rere dan kemudian menghilang.

Rere merasakan tubuhnya bergetar hebat. Kepalanya terasa gatal, dia tidak pernah merasakan gatal sedahsyat ini, seperti ribuan kutu bersarang di dalamnya. Tanpa berpikir panjang, dia berlari kearah kamar dan memotong rambutnya menyerupai laki-laki.

***

Gemuruh teriakan warga masih terdengar sangat jelas. Kasus pembunuhan ini benar-benar menyulut emosi mereka. Pasalnya, ini kasus pertama yang terjadi selama kurun waktu ratusan tahun. Beberapa hari yang lalu, beberapa warga menemukan potongan tubuh manusia yang mereka duga adalah jasad dari Lamporo, salah satu kerabat La Ode More yang hilang saat mengejar anaknya ke dalam hutan.

La Ode memerintahkan warga menyisir hutan dan menemukan pembunuhnya. Kurang lebih seminggu, mereka menemukan Rere meringkuk kedinginan di dalam hutan sambil memeluk potongan tangan milik Amanya. Rere hanya terdiam saat semua orang menggiringnya ke lapangan dan menatapnya penuh benci. Dia bahkan tidak bisa mengingat apa-apa selama dia berada di hutan. Yang dia tahu, dia selalu melakukan apa yang diminta oleh dua wanita yang menjadi temannya saat itu.

Salah seorang warga melempar batang korek yang tersulut api kearah tumpukan kayu bakar yang mengelilingi tubuh Rere yang terikat di sebuah tiang di tengah-tengah lapangan. Api mulai merambat membakar kayu bakar dan melahapnya dengan cepat. Meliuk-liuk seperti ular yang mengitari pohon sebelum menyerang mangsanya. Rere  mengangkat wajahnya, mencoba mencari Ina. Matanya menyisir satu persatu wajah yang berdiri di depannya. Tapi sosok Ina tak kunjung dia temukan.

Kobaran api semakin membesar, menutup pandangan Rere mencari Ina. Dia meringis menahan panas api yang kini mulai menyentuh tubuhnya. Bola mata hitamnya berubah merah. Seakan api sudah bersarang di dalamnya. Samar-samar, saat kesadaran  Rere hampir hilang, dia melihat dua sosok wanita berdiri dibalik bayang-bayang si jago merah. Mereka merentangkan tangan, tersenyum manis kearah Rere.
Sekian





[1] Sebutan untuk tokoh desa suku Muna, Buton.
[2] Ama diambil dari bahasa Muna, panggilan untuk Ayah bagi rakyat Buton.
[3] Ina diambil dari bahasa Muna, panggilan untuk Ibu bagi rakyat Buton.