Pages

Tuesday 13 June 2017

Dilematis! Camaba, Masisir, KBRI dan Wajib Bayar Asrama 50USD

Selain jumlah Camaba tahun ini yang sangat fantastis (1468 orang camaba), perihal wajib asrama dengan membayar 50$ perbulan juga sedang hangat diperbincangkan belakangan ini. 

Angka 50$ untuk asrama memang tidak sedikit. Hitungannya, jika 50$ untuk biaya asrama, belum lagi kebutuhan pribadi, transportasi ngaji atau berorganisasi bagi yang masuk barisan para aktivis plus untuk membayar biaya Daurul Lughah, total minimal yang dibutuhkan kurang lebih sekitar 100$ perbulan. Untuk kalangan menengah,  biaya segitu sudah cukup nyekik pernafasan, apalagi untuk kalangan ke bawah. Nah, realita yang ada menunjukkan bahwa banyak Camaba dari tahun ke tahun (hingga tidak menutupi tahun ini) adalah dari kalangan menengah ke bawah. Apakah angka '50' ini memberatkan? Jelas saja, iya. 

Posisi ini sangat dilematis sebenarnya. Mengingat tujuan utama dibangun asrama ini adalah sebagai Hibah -bukan aset negara- kepada al Azhar atas jasanya selama ini terhadap Indonesia. Jika sudah dianggap Hibah, seyogyanya segala hal yang berkaitan dengan bangunan tersebut menjadi tanggungjawab pihak yang dihibahkan. Namun ternyata,  kondisi Mesir yg semakin rumit merubah keadaan hingga menuntut biaya operasional tetap dikembalikan kepada pemerintah kita. 

Sumber  Foto: Google

Terlepas dari itu semua, kebijakan ini diambil tentu saja atas pertimbangan yang sangat matang. Pemerintah kita -dalam hal ini KBRI Cairo- sudah mengerahkan negosiasi terbaik mereka dihadapan pihak Al Azhar. Disampaikan juga bahwa angka '50' ini sudah ditetapkan oleh pihak Al Azhar sejak lama. Melewati musyawarah yang sangat alot dan tawar menawar diplomatis dengan KBRI Cairo. Bahkan saat itu, nilai tukar dolar - pound Mesir masih stabil. Dilematis kan? Iya. Apakah KBRI Cairo sudah mengusahakan keringanan biaya dan meminimalisir beban biaya asrama Indonesia untuk Masisir? Tentu saja juga, iya.

Lalu muncul pertanyaan, "Mengapa harus Camaba?" 

Saya jadi teringat isu hangat yang diangkat sekelompok Masisir terkait asrama yang tak kunjung dihuni beberapa bulan silam. Sehari sebelum LPJ saya di Wihdah (sekitar tgl 5 Maret 2017)  saya menyempatkan bersilaturahmi dengan Pak Dubes dan Pak DCM KBRI Cairo. Disela silaturahmi, kami juga membahas berita 'Asrama Indonesia di Cairo jadi sarang Jin'  ( baca :  http://www.kompasiana.com/coffeeaceh/asrama-indonesia-di-komplek-univ-al-azhar-mesir-jadi-sarang-jin_58c3f7ed337b61cb04181e74 ) ini. Dengan sangat bijak saat itu Bapak Dubes meminta pendapat kami, para pemimpin organisasi besar Masisir -saat itu turut hadir Presiden, Wapres PPMI dan wakil Wihdah- terkait hal tersebut.

Berangkat dari sana, kami semua sepakat bahwa asrama harus segera difungsikan. Sebagai jalan tengah agar asrama tetap bisa dihuni dengan kebijakan tetap membayar adalah jika dihuni oleh Camaba. Karena akan banyak manfaat yang bisa diambil oleh mereka ( baca juga : http://www.ppmimesir.com/2017/06/polemik-sistem-wajib-asrama-maba-tahun.html?m=1 )  ( http://www.informatikamesir.com/2017/06/asrama-50-dollar.html?m=1 ). 

Di forum itu juga sempat saya sampaikan, bahwa kalaupun harus dihuni oleh Camaba dan berbayar, jika memungkinkan biayanya tidak sampai melebihi standar kehidupan Masisir diluar asrama, yaitu sebesar 300-500 le perbulan. Well, aspirasi-aspirasi sudah disampaikan. Saat itu kami tinggal menunggu hasil musyawarah final terkait nominal antara pihak Azhar dan KBRI. 

Lalu terkait peranan Diktis Kemenag yang pernah menyampaikan bahwa sudah mengalokasikan dana sejumlah 5 M utk penghuni asrama ini masih dipertanyakan. Mereka menyampaikan saat kunjungan saya dan Wapres PPMI, Sdr. Ikhwan Hakim, awal April lalu ke Diktis Kemenag bahwa akan ada dana beasiswa dari Kemenag untuk para penghuni asrama tersebut. Pada akhirnya, mereka yang bayar 50$ perbulan jika ditotal hanya akan membayar 25$ perbulan. Namun kabar ini ditepis kebenarannya oleh Atdikbud KBRI Cairo. Hemat saya, meski benar sudah dialokasikan, tapi akan susah cair tahun ini, kemungkinan baru cair tahun depan.

Jadi kondisinya bisa digambarkan seperti ini, Al Azhar mau ini, Masisir mau itu,  KBRI berusaha sekuat tenaga memeras otak agar kalimat 'ini' dan 'itu' bisa menjadi 'iti' atau 'inu'. Meski pada akhirnya nanti, tetap akan ada pihak yang dikorbankan. Dilematis kan?

Saya selaku bagian dari Masisir dan sempat menjabat ketua Wihdah tahun lalu berharap kita semua dapat menemukan solusi terbaik atas permasalahan ini. Syukur-syukur jika ternyata angka 50 masih bisa dinegosiasi kembali .

Namun, jika angka '50' ini sudah diketok palu dan final, ada baiknya jika KBRI Cairo dapat duduk 'lesehan' bersama seluruh elemen aktivis Masisir,  baik PPMI,  Wihdah, kekeluargaan dan sejumlah kru buletin Masisir untuk musyawarah dan menelusuri kembali kronologis penetapan kebijakan ini agar tidak terjadi salah paham,  saling menyalahkan dan cari aman. Nantinya para aktivis ini yang akan jadi perpanjangan lidah kepada para Camaba agar dapat dipahami bersama.

Terakhir, mari kita doakan agar Allah Swt melimpahkan rahmat dan perlindunganNya kepada al Azhar, para UlamaNya,  KBRI Cairo dan segenap Masisir serta melepaskan umat Islam di seluruh dunia dari cobaan duniawai yang sedang melanda, Amin ya rabbal alamin 

Wallahualam 
°Rahmah Rasyidah°⁠⁠⁠⁠

Tuesday 6 June 2017

Menjadi Mahasiswa Tingkat Akhir di Al Azhar Cairo


Kampus Putri Al Azhar Cairo
Besok hari terakhir saya ujian. Kalau dihitung-hitung, ini ujian putaran ke-12 yang saya lalui selama di Mesir. Kalau dihitung semesternya, ada sekitar 12 semester juga. Kalau setahun ada 2 semester,  berarti ini masuk tahun ke 6. Dan kalau ditinjau dari sisi Strata yg dilalui, alhamdulillah ini masuk Strata 2 perjalanan saya menjadi mahasiswi di Cairo. Diantara semua semester yg saya lalui, semester 7-8 adalah yang paling berkenang. 

Sebut saja saat itu saya adalah mahasiswi tingkat akhir. Menjadi MTA (Mahasiswi Tingkat Akhir) itu ribet-tidak mudah-menantang-banyak cobaan. Jangan bayangkan kami (mahasiswa Al Azhar Cairo) harus puasa, begadang atau sampai berkele untuk menyelesaikan skripsi dari pihak kampus. FYI nih ya, tahun akhir kami gak pake skripsi. Ya ujian seperti biasa, tapi ya gitu, rasanya sama seperti makan mangga muda kecut dan asam dikasih petis Madura pake 10 cabe rawit. Uch. 

Trus enak dong ya gak pake skripsi? Gak juga,  Bro. Ujian kami, lebih mengerikan dari misteri si Manis dari Jembatan Ancol. Kalau di Mesir, mungkin shootingnya di Jembatan 6 oktober. Tapi ya sudah lah, saya akan cerita pengalaman saya saja. 

Ya, saat itu saya jadi MTA di Al Azhar. Sbg seorang MTA,  profesi saya lainnya adl sbg aktivis mahasiswa, staff honorer di Kedutaan, dan kakak/adik bagi keluarga di sini. Wow padat banget dong? Hm, gak bisa saya jelaskan rasanya, Guys. 

Karena selain ga ada skripsi, Al Azhar juga sangat jauh dari absensi kehadiran. Kalau mau hadir kelas silahkan, gak juga gak dicari. Enak? Gak, Guys! Justru disitu letak cobaannya. Kita diuji apakah benar benar mau berjuang mjd mahasiswa sejati, atau hanya sekedar hadir ujian, lulus kemudian pergi.

Dg segala kesibukan dan profesi yg saya pegang saat itu, sy komitmen untuk ga bolos kuliah. Pagi kuliah, siang dari jam 2 ngantor sampe jam 6 dan kadang habis maghrib sampe jam 9 ada rapat / agenda mahasiswa.

Biasanya, sebulan sebelum ujian saya akan off semua agenda. Sudah mulai fokus baca diktat kuliah dan bimbingan belajar sama temen sekelas (kadang adik kelas) dari berbagai negara, Indonesia, Thailand, Brunei, Singapore dan Malaysia.

Hanya saja, masa MTA saya memang beda. Persiapan ujian juga beda. 
Saat itu, tiba tiba pihak kampus mengumumkan jadwal ujian yang dimajukan dari biasanya. Gak cuma kita, para dosenpun keliatan gak siapnya. Nampak dari penjelasan di kelas yg terkesan diburu waktu. Belum lagi sebagian diktat yang belum dibagi. Jadi apa yang mau dibaca?

Sekali, setia kawan kita diuji. Dalam keadaan genting begitu, semua orang berharap bisa belajar bersama. Mendadak notif hape jadi penuh. Status ujian yg dimajukan bertebaran di beranda Sosmed. Saya pun ga kalah heboh, langsung ambil cuti kerja dan atur strategi baca. 

Setiap harinya, teman teman saya datang ke rumah. Kita belajar bersama, sharing dan mencoba bahagia dg kenyataan yang ada. Dan jujur, itu momen momen yang sangat indah selama saya menjadi santri di Universitas Al Azhar Cairo. Sampai kami wisuda bersama, saya banyak mengambil pelajaran dari pengalaman sy selama mjd MTA. 

Bahwa menjadi Azhari tidak akan versus dg organisasi. Asal tahu prioritas dan piawai manajemen waktu yang rapi.

Menjadi Azhari bukan tentang diri sendiri. Bukan tentang yang penting ujian kemudian pergi. Atau tentang IQ tinggi dan yakin akan lulus sendiri. 

Menjadi Azhari adalah tentang sebuah kesungguhan, ketekunan dan pengorbanan. 

Nah, sekarang giliran kamu. Kapan mau jadi Azhari di sini?