Pages

Sunday 8 March 2015

Naskah -BUNGA TIDUR- Juara 1 Lomba Menulis Cerpen Senat FSI Kairo

 BUNGA TIDUR
oleh : Rahmah Rasyidah
Senin pagi yang indah. Udara musim dingin bertiup pelan. Menyapa sinar mentari yang malu-malu mengintip dari ufuk timur. Memberi kehangatan pada winter yang sebentar lagi beranjak pergi. Cici merentangkan tangan. Menghirup udara pagi yang masih sedikit berpolusi. Gedung-gedung berwarna cokelat berdiri kokoh di sepanjang jalan. Menjadi saksi banyaknya jenis kendaran yang sudah mulai memenuhi jalan raya. Ada mobil pribadi, ada juga transportasi umum seperti bus biru, bus merah, bus hijau hingga mikrolet. Uniknya, sepeda motor di sini adalah barang langka. Penggunanya bisa dihitung jari dan rata-rata para lelaki. Bukan karena peminatnya sedikit, tapi karena adat warga di sini yang menganggap aib bersepeda motor terlebih bagi wanita.
Kota ini bernama Kairo. Sebuah ibu kota dari negara yang menyimpan berjuta peradaban dunia. Kiblat ilmu untuk menggali wawasan agama. Tempat seorang wanita menghanyutkan buah hati tercinta agar bisa selamat dari kejaran rajanya yang kejam. Tak ayal sang anak tumbuh besar menjadi pemuka agama. Menaklukkan Fir’aun, sang raja yang mengaku tuhan di dunia. Sehingga Tuhan murka dan  menenggelamkan Fir’aun bersama pengikutnya di tengah samudera. Cici sudah menaruh hati terhadap kota seribu menara ini saat pertama kali dia mencuri udaranya. Saat itu hari Jum’at, 21 Oktober 2011. Dia mulai menulis sejarahnya di langit Kairo.
***
Cici mempercepat langkah kakinya. Hari ini ada banyak diktat kuliah yang harus dia lahap habis di kelas. Beruntung jarak rumah dan kampusnya tidak begitu jauh. Butuh waktu 15 menit jalan kaki untuk sampai ke mulut gerbang. Mahasiswi dari berbagai negara sudah memenuhi antrian masuk. Dengan beragam jenis kulit dan model baju sampai aroma yang membuat hidungnya serasa mati rasa. Tubuh mungil Cici berada di antara mereka. Kepalanya mendongak ke atas agar masih bisa bernafas.
Cici mencoba bersabar melewati kenyataan ini setiap pagi. Aturan masuk dengan mengantri ini memang baru saja diterapkan pada tahun ajaran 2014-2015. Untung saja, ini akhir tahun bagi Cici untuk menyelesaikan program sarjananya di Universitas Al-Azhar, Kairo. Mungkin sudah menjadi kebijakan pihak kampus untuk menghindari terjadi demonstrasi di dalam wilayah kampus. Atau? Entahlah!
“Hai Ci, nampaknya kamu butuh peninggi badan untuk bernafas,” Silvi, sahabat karib Cici berbisik di telinganya. Ia tergelak melihat respon Cici yang setengah terkejut dan kesal.
“Yee, kayak situ tinggi aja!” sahut Cici tanpa memalingkan wajah. Antrian masih sangat banyak. Melingkar menutupi seluruh sisi gerbang. Mungkin ini salah satu keunikan antrian kampusnya. Bentuk antriannya bukan memanjang, tapi melingkar. Cici bahkan tidak bisa sekedar menoleh ke arah Silvi. Benar-benar terjebak dalam arus deras lautan manusia.
“Pulang kuliah, kamu ada acara apa, Ci?” tanya Silvi. Dia tampak tidak terganggu dengan suasana berdesakan di pagi hari seperti ini.
“Hemm, ada kegiatan sih!” jawab Cici singkat.
“Kegiatan apa?” tanyanya lagi. Cici sudah mulai jenuh menghadapi nafsu knowing every particular object alias kepo sahabatnya yang satu itu. Mungkin itu tanda perhatiannya sebagai seorang sahabat. Tapi itu sudah menjadi makanan Cici setiap kali bertemu dengannya. Meski kesal juga, terkadang pertanyaannya lebih sulit ditemukan jawabannya daripada pertanyaan ujian di kampus. Akhirnya Cici tersenyum.
“Kepomu gak berkurang juga, yah!” jawab Cici terkekeh. “ Ada kajian ekonomi di Wisma Nusantara,” sahutnya lagi.
“Kamu kajian mulu kayaknya. Kajian ekonomi, kamu ikut. Kajian ushul fiqh juga. Belum lagi kursus-kursusmu itu. Gak pusing ya?” celotehnya.
Cici hanya tertawa. Cici yakin Silvi sudah tahu jawabannya. Dia memang suka mengisi waktu kosongnya untuk hal-hal berbau pendidikan. Seperti kajian-kajian atau kursus. Ditambah lagi, berbagai jenis kajian sudah menjamur di kalangan Masisir –sebutan untuk Mahasiswa Indonesia di Mesir-. Dari kajian umum, agama sampai seni seperti menulis. Waktunya juga hampir setiap hari ada. Kadang malah di jam yang sama. Tinggal milih mau masuk dalam kajian apa.
Semenit kemudian, Silvi dan Cici sudah berhasil melewati mulut gerbang. Cici berjalan tergesa-gesa. Gara-gara terjebak dalam antrian panjang itu, dia harus kehilangan 15 menit waktu belajarnya. Ah, pasti dosen killer itu sudah sampai di kelas! batinnya.
Cici mempercepat langkah menuruni anak tangga yang berbentuk huruf L. Tiba-tiba dia mendengar suara teriakan seorang wanita dari arah tangga tepat di atas anak tangga tempat dia berdiri. Detik selanjutnya, tubuh besar dibalut pakaian serba hitam itu menimpa tubuhnya. Cici terguling. Kepalanya terbentur beberapa anak tangga. Dia meringis kesakitan. Bagian belakang kepalanya terasa sangat sakit. Cici mencoba berdiri, dan semuanya menjadi gelap.
***
“Ci, bangun! Sudah mau ashar, loh! Kamu belum shalat dzuhur!” Rara, teman sekamar Cici membangunkannya yang masih tertidur pulas. Seluruh tubuhnya terbungkus selimut. Musim dingin memang momen yang sangat pas untuk tidur dan menambah berat badan.
Cici menggeliat. Tangan kanannya meraba bagian belakang kepalanya. kok sakit, ya? batinnya. Sekujur tubuhnya kaku. Seingatnya, dia baru saja jatuh dari tangga di kuliah. Kenapa bisa tiba-tiba di sini?
“Ra, kok aku bisa di sini?”
“Loh! maksudmu opo toh, Ci! Kamu dari tadi pagi tidur. ndak bangun-bangun sampai sekarang.” Gadis kelahiran Gresik, Jawa Timur itu menjawab pertanyaan Cici sambil membereskan isi lemarinya.
“Bukannya tadi aku di kuliah? Terus aku jatuh dari tangga?” tanya Cici lagi. Dia benar-benar bingung. Kepalanya terasa makin nyut-nyutan.
“Jatuh dari tangga?” Rara tertawa mengulang pertanyaan temannya itu. “Mungkin itu salah satu bunga tidur musim dinginmu kali, nduk!” lanjutnya terkekeh. Sambil meletakkan tumpukan baju terakhirnya ke dalam lemari ia keluar kamar menuju dapur.
“Tapi kok kepalaku sakit Ra??” tanya Cici setengah berteriak. Dia memegang kepalanya yang masih terasa sakit di bagian belakang. Dari arah dapur Rara membalasnya dengan berteriak juga. “yo jelas sakitlah! Wong kamu tidur dari malam sampai mau ashar!”
“hah?” mata bulat Cici terbelalak. Dia melirik jam hello kitty yang menempel di dinding kamar di atas kepalanya. Jarum pendek menunjukkan kearah pukul 03.00 pm. Pukul 03.30 pm dia punya janji rapat dengan teman-teman FLP ( Forum Lingkar Pena ) Mesir. Cici sangat anti dengan istilah jam karet, secepat kilat ia berlari menuju kamar mandi.
bruuuk! Suara pintu kamar mandi dibanting keras.
Setengah jam kemudian, Cici sudah berada di dalam bus merah menuju Hay ‘Asyir. Cici memakai setelan gamis cokelat tua dipadu jilbab kaos merek rabbani berwarna cokelat krem dan jaket musim dingin berwarna hitam. Dia menerobos kerumunan orang yang berdiri di dalam bus. Cici menggurutu kesal, bagaimana mungkin dia bisa terlambat sedangkan dia satu-satunya orang yang paling semangat memproklamasikan anti jam karet. Kepalanya masih menyisaksan nyeri di bagian belakang. 10 menit kemudian, Cici berhasil mendapatkan tempat duduk.
Perjalanan ke Hay ‘Asyir membutuhkan waktu 30 menit dari rumah. Cici melirik jam tangan pink kesayangannya. 15 menit lagi baru tiba di lokasi. Dia mengaktifkan ponsel smartphonenya, ada banyak notifikasi pesan masuk whatsapp dari berbagai pihak. Dari keputrian kekeluargaan, afiliatif, senat, grup kajian, atau pesan japri alias jaringan pribadi dari teman-temannya. Cici membuka notifikasi dari grup whatsapp FLP Mesir. Sudah banyak pemberitahuan teman-teman tentang rapat. Sebagian besar sudah datang. Banyak juga yang mempertanyakan keberadaan Cici.
Cici mana oyy??
Ada yang tau Cici ngumpet di mana? Kok belum nongol?
Wah, Miss. Anti Jam Karet kita kayanya kehabisan jam normal. Jadi ikutan make jam karet!
Bla…bla…bla… Cici mematikan ponselnya. Dia menarik nafas berat. Pasti nanti dikeroyok teman-teman, batinnya. Cici masih merasa heran dengan mimpi anehnya siang tadi. Nyeri di kepalanya masih terasa. Dia memejamkan mata. Sampai tak sadar, dia tertidur pulas di bus.
***

teeeeettt…teeeeett…
Suara bising kendaraan yang beradu di sore hari membangunkan Cici dari tidurnya. Terdengar umpatan supir bus saling bersahutan dengan seorang bapak paruh baya. Air liur muncrat mengenai pakaian lusuhnya saat ia membalas caci maki supir bus yang Cici tumpangi. Cici menggerakkan kepalanya ke luar jendela, dia menebak bapak itu juga seorang supir kendaraan umum. Pertengkaran seperti itu sudah biasa terjadi di negeri Piramida ini. Penyebabnya biasanya sama. Ada yang menyalip jalan, tersenggol mobil lain lalu terjadilah adu mulut. Tapi pertengkaran ini jarang sampai melibatkan pihak kepolisian. Hanya sekian menit saja, setelah itu seakan-akan tidak pernah terjadi apa-apa di antara mereka. Kepala Cici terasa sakit lagi. Kali ini lebih nyeri dari sebelumnya.
“Ci, ayo kita turun!” ajak Salma.
“Kita di mana?” tanya Cici kebingungan. Dilihatnya daerah itu nampak tidak asing.
“Loh, kita kan mau talaqqi[1] di Darrasah, Ci! Masa’ lupa? Katanya kamu sudah nyiapin uang untuk beli kitab?” sambungnya lagi.
Cici merogoh saku, ia menemukan uang 50 junaih[2] di sana. Uang ini untuk beli kitab? batinnya. Semakin Cici mencoba berpikir lagi, semakin terasa nyeri di kepalanya.
“Hari ini ngaji apa, Ma?” tanya Cici pasrah.
“Ngaji fiqh syafi’i sama Syeikh Hisyam Kamil” Jawab Salma.
Cici mengikuti Salma turun dari bus 65 berwarna merah. Jalannya sempoyongan. Segerombolan pemudi dari Thailand tampak berjalan melewati Cici. Mereka melempar senyum ke arah Cici dan Salma. Cici membalas dengan tatapan aneh.
“Ma, jam tanganku di mana ya?” Cici memeriksa pergelangan tangannya. Dia tidak menemukan jam tangan pink yang biasa dia pakai.
“Sebelum naik bus, kamu bilang kalau jam tanganmu ketinggalan.”
“Ketinggalan?” sahut Cici cepat. Aneh. Biasanya dia tidak pernah meninggalkan jam tangan kesayangannya itu. Rasanya, baru beberapa jam yang lalu dia melirik jam tangannya saat di perjalanan menuju Hay ‘Asyir, dan sekarang? Ketinggalan?
“Hemm, kamu tau gak rapat FLP kapan?” tanya Cici lagi. Salma mengernyitkan dahi. Kebetulan dia sama-sama aktifis di FLP.
“Rapat FLP besok, Ci! Jam 03.30 pm.”
“Besok?” mata bulat Cici membesar. “Bukannya ta…” Cici menghentikan langkahnya. Dia menatap Salma dalam.
“Kamu kenapa sih, Ci? Sakit?” tanya Salma mulai khawatir. Salma mengenal Cici sudah lama. Dua tahun yang lalu, dia bertemu Cici saat sedang dalam perjalanan menuju Darassah untuk mengaji. Kepribadian Cici yang supel dan mudah bergaul membuat Salma merasa nyaman berteman dengannya. Sejak saat itu, dia mengetahui sosok aktifis Cici selalu meluangkan satu hari waktunya dalam seminggu untuk mengaji kitab bersamanya.
“Rasanya tadi aku sedang di bus untuk hadir rapat FLP. Tapi tiba-tiba aku sudah sama kamu” Cici bercerita dengan suara lirih. Dia menekan kepala bagian belakang dengan tangan kanannya. Nyeri lagi, batinnya.
Salma terbahak. “Kamu terlalu memikirkan acara talk show FLP besok lusa, Ci! Rapatnya besok kok! Sudahlah, santai saja. Nanti aku bantu mempersiapkannya, oke?” jawab Salma sambil merangkul pundak Cici.
“Berarti seharian ini, aku sama kamu?”
“Iya, Ci! Mungkin itu bunga tidur kamu di bus!” jawab Salma terkekeh. Dia meraih tangan Cici dan menariknya untuk segera jalan. “Ayo cepat! Kita sudah telat!” sahutnya lagi.
            Bunga tidur?
            Tiba-tiba kepala Cici teras sangat sakit. Dia merasakan keadaan di sekelilingnya berputar-putar. Samar-samar ia mendengar suara orang yang sedang berbincang-bincang tidak jelas. Seperti suara bising lebah dalam sarangnya. Pandangan Cici mulai kabur. Nafasnya tertahan. Dicarinya Salma, tapi dia sudah tidak melihatnya lagi di sampingnya. Cici mencari sesuatu untuk dijadikan pegangan tapi tidak ia temukan. Dia terjatuh dan semuanya gelap.
***
            Cici membuka mata. Dia meringis saat mencoba duduk. Kepalanya terasa berat. Nyeri seperti tertusuk ribuan jarum di sana. Dia melihat ke sekelilingnya, ada dua lemari kayu yang sudah tampak tua dan reyot berbaris dua meter dari hadapannya. Di atas kepalanya, jam dinding hello kitty masih mengeluarkan bunyi ‘tak tik tak tik’. Hampir seperti suara ketukan pena di atas meja seorang guru yang sedang mengawasi muridnya di ruang ujian.  Cici menyadari dia sedang terbaring di kamarnya.
            “Guys, Cici sudah bangun, nih!” teriak satu orang. Entah siapa itu Cici tidak bisa mengenali suaranya. Terdengar deru langkah kaki mendekati ruangan Cici. Silvi, Salma, Rara, Intan, Iir, dan beberapa teman rumahnya menyerbu Cici.
“Gimana kabarmu, Ci?” tanya Salma bersemangat. Cici menatap mereka satu persatu. Adegan jatuh dari tangga, terlambat datang rapat FLP, dan pingsan saat akan menghadiri talaqqi bersama Syeikh Hisyam seperti disiarkan ulang dalam benaknya. Dia sudah tidak bisa membedakan mana yang nyata dan mana yang tidak.
“Aku mimpi lagi, ya?” tanyanya memastikan.
“Maksud kamu apa, Ci?” Intan teman serumahnya bertanya balik. “Kepalamu masih sakit, Ci?” Silvi menimpali. Mereka semua mulai tampak khawatir. Jangan-jangan Cici kehilangan ingatan karena kepalanya terbentur terlalu keras.
“Kok, kalian tahu kepalaku sakit?” tanya Cici heran. Sejauh ini dalam mimpi Cici tidak ada yang menyadari tentang sakit kepalanya.
“Kamu kan baru sadar dari pingsan, Ci.” Jawab Rara.
Pingsan? Pingsan yang mana? Jatuh dari tangga? atau pas talaqqi? Cici mulai kebingungan. Kali ini dia benar-benar yakin bahwa dia sedang bermimpi lagi.
“Ci, aku minta maaf, ya! Gara-gara aku gak sengaja menginjak pakaian orang mesir di depanku, dia jadi jatuh nimpa kamu, deh!” Silvi menjelaskan dengan raut wajah menyesal. Kening Cici bertaut bingung.
“Kamu juga dapat salam dari teman-teman FLP. Rapat gak ada kamu gak asik kata mereka” sambung Salma tersenyum.
“Teman-teman senat juga titip salam, Ci. Semoga cepat sembuh!” Intan menimpali. Selanjutnya Cici kebingungan menerima banyak salam dari berbagai pihak. Cici hanya diam.
“InsyaAllah ada hikmahnya, setidaknya Cici sekarang bisa istirahat dari jutaan aktifitasnya itu”
“Iya, Ci. Tubuh kamu juga butuh istirahat” sahut yang lainnya.
“Tapi acara talk show FLP tanpa Cici, hampa euy!” Salma menimpali. Mata bulat Cici membesar. Dia menatap Salma dalam. “Acara FLP sudah diadain?” tanyanya.
“Sudah Ci, kemarin” jawab Salma.
“Berapa lama aku pingsan?”
“3 hari” jawab mereka serempak.
“Hah?” Cici shock. Mulutnya terbuka lebar. Nyeri kepalanya makin terasa. Seketika ia berharap yang ini juga termasuk bunga tidurnya.  
SEKIAN




[1] Talaqqi : diambil dari kata bahasa arab yang diartikan bertemu dengan seorang Syeikh dan duduk bersama beliau untuk mengaji ilmu agama.
[2] Sebutan untuk mata uang Negara Mesir. 

3 comments:

ocehansyem said...

Bikin tambah nyenyak ni tidur hahahah

Zatymeela said...

jadi ingat betul kaya apa kak milah kalau udah pules tidur..
(spt nya adingnya mengikuti).
nice story lah.. (y)

chaciep said...

Siiip mantep

Post a Comment