Pages

Monday 16 March 2015

Naskah - AMAT DAN RAKIT JULAK INOY - Juara II Pekan Menulis Informatika

Amat dan Rakit Julak Inoy
Oleh : Rahmah Rasyidah

“Mat! Bangun!” Tubuh Emon sedikit menggigil. Tampak kegelisahan yang teramat sangat dari wajahnya. Amat mengerjap-ngerjapkan matanya dan memperhatikan sekitar. Suasana benar-benar gelap. Tidak ada cahaya apapun selain sinar rembulan. Amat bergeming. Dia menarik sarung, menutupi kepalanya dan melanjutkan tidur. Sekilas dilihat tidurnya lebih mirip seperti tidur seekor kucing. Melingkar dan meringkuk di dalam sarung.

“Mat! Bangun! Kita tersesat!” kali ini Emon mengguncang tubuh Amat sedikit lebih keras. Amat terpaksa menarik sarung dari kepalanya. Dia mengucek mata sambil mendengus kesal.

“Maksud kau apa, Mon?” jawabnya kesal.

“Kau sebaiknya membuka matamu. Kita dalam masalah!” sahut Emon dengan mimik serius. Dahi Amat bertaut kebingungan. Beberapa detik kemudian dia baru menyadari keadaan sekitarnya sangat gelap. Tidak ada cahaya rumah penduduk. Tidak ada suara kehidupan. Terdengar suara monyet hutan saling bersahutan. Jangkrik malam bernyanyi bersama suara katak. Kemudian hening.

“Kau tau kita di mana, Mat?”

“Tidak.” 

“Apa yang harus kita lakukan?” tanya Emon lagi. Amat tidak menjawab. Lima menit berlalu mereka terdiam. Duduk memeluk lutut menikmati angin yang berhembus.

“Kita akan menunggu pagi,” jawab Amat kemudian.

*** 

Matahari senja menyapa desa Muara Muntai. Sebuah desa terpencil di pelosok Kalimantan Timur. Perkampungan yang sangat jauh dari hiruk pikuk kota besar. Tidak ada mobil, bus, truk, atau kendaraan beroda empat lainnya. Transportasi utama di sana adalah perahu yang dikendalikan oleh mesin. Selebihnya kendaraan beroda dua seperti sepeda motor dan sepeda ontel. Muara Muntai sangat cocok untuk dijadikan pelarian. Pelarian dari polusi misalnya.

Sore di Muara Muntai sangat indah. Semua orang sibuk dengan aktifitas mereka. Anak-anak kecil bermain petak umpet di teras sebuah musholla. Sebagian para istri sibuk membantu suami mereka mengeluarkan ikan dari pukat dan jala. Sebagian yang lain sibuk menertawakan kehidupan gosip murahan. Beberapa gadis manis dengan rambut terurai panjang membawa keranjang sampah untuk di buang ke sungai. Amat melirik salah satu dari mereka. Dahlia, gadis manis idamannya di kelas. Pandangan mereka bertemu.

“Mau kemana kau, Mat?” tanya Dahlia.

“Ke sana!” jawab Amat malu-malu. Dia kemudian melanjutkan perjalanannya tanpa menoleh lagi kearah Dahlia. Pipinya memerah. Selama perjalanan, bibirnya tak berhenti menyinggungkan senyum. 

Kali ini dia menuju hulu desa. Mencuri waktu berkisah tentangnya. Hulu desa memang tempat yang tepat untuk mengurai cerita. Karena jaraknya dengan senja seperti sirna. Hangat senja memeluk tubuh kurus dibalut kulit berwarna sawo matang milik Amat. Suara bising mesin perahu mengitari sungai,  ibarat lagu yang mendayu-dayu di telinganya.

 “Kau sedang apa, Mat?” tanya Emon menepuk bahu kawannya. Tangan kanan Emon membawa ember kecil berisi alat pancing. Segumpal cacing yang menggeliat di dalam gelas plastik kecil nampak mencolok dilihat dari atas. Emon menutup gelasnya dengan plastik dan mengikatnya menggunakan karet agar cacingnya tidak keluar.

Amat menjauhkan sentuhan pensil dari bukunya dan menoleh kearah Emon. “Duduk,” jawabnya singkat.

Pandangannya beralih lagi menatap ejaan huruf di bukunya. Lima menit yang lalu dia baru saja mengambil posisi duduk tepat di ujung jembatan yang menjadi jalan raya utama di desanya.

“Aku tahu itu, Mat! Mataku bisa melihat kau sedang duduk,” Emon terkekeh dan duduk di sampingnya. “Mat, aku akan memancing di sana,” lanjut Emon lagi. Dia menunjuk salah satu rakit[1] yang dikelilingi banyak perahu. Amat melirik sebentar, kemudian mengalihkan pandangannya.

Dia menatap jembatan yang terbuat dari kayu selebar empat meter di hadapannya. Air sungai di desanya meluap. Merendam tiang penyangga jembatan setinggi dua meter di atas permukaan tanah. Air merambat sampai pekarangan bawah rumah warga. Beruntung semua rumah di sana adalah rumah panggung. Dia memperhatikan lalu lalang kaki manusia, kucing, dan ayam yang berjalan di atasnya. Sebentar lagi, banjir akan bertamu ke rumah mereka. Sebentar lagi, tidak akan ada kaki-kaki bersemayam di sana. Dan sebentar lagi, entah di pohon mana ayam dan unggas lainnya berteduh. Entah di atap mana kucing berkeluh.

“Kau bisa memancing di rakit Julak[2] Inoy itu!” jawab Amat menunjuk sebuah rumah terapung tak jauh dari tempat mereka duduk. “Arus air di sana tidak terlalu kuat dan sangat cocok untuk jenis umpan yang kau bawa,” lanjutnya lagi.

Emon menatap wajah kurusnya. “Aku kira kau tidak tahu apa-apa tentang memancing, Mat!” sahutnya. Dia mengeluarkan bungkusan plastik putih kecil dari sakunya. “Aku juga bawa beberapa kue bakwan untuk memancing patin” lanjutnya sambil memperlihatkan deretan giginya yang rapi.

“Bagus. Aku dengar, Julak Inoy sedang pergi ke kota. Dan dia tidak akan kembali sampai lusa. Kau bisa memancing di sana semalaman,” sambung Amat tanpa menoleh kearah Emon. Wajahnya nampak berpikir serius sambil menggigit ujung pensilnya.

“Wow! Sempurna! Ini akan menjadi hari memancing yang menyenangkan, Mat!” sahut Emon sumringah. “Kau mau ikut?” ajaknya. Amat menggeleng.

“Aku akan menyusul ketika matahari terbenam,” jelas Amat. Emon menepuk bahu sahib karibnya itu dan beranjak pergi. Tidak dihiraukannya lambaian Emon yang semakin menjauh.

Adzan berkumandang. Amat menutup bukunya dan segera berlari ke musholla untuk menunaikan salat maghrib. Selepas isya, dia akan menyusul Emon. Menemaninya memancing.

*** 

“Mon, arus sungai malam ini semakin deras,” sapa Amat dari arah belakang. Dia berjalan mendekati Emon. Setengah ember yang dibawa Emon sudah terisi ikan. Tapi belum ada ikan patin di dalamnya.

“Tengah malam nanti aku akan memancing patin, Mat!” sahut Emon seakan mengerti isi kepala Amat. Dia menangkap ekor mata Amat yang heran melihat isi embernya.

“Hemm,” jawab Amat. Dia mengambil posisi duduk tak jauh dari tempat Emon memancing. Memandang ribuan bintang di langit. Desa ini selalu menyimpan jutaan keindahan. Para bintang ini salah satunya. Batinnya.

Angin malam berhembus. Mengirim rasa kantuk pada Amat. Remang-remang lampu petromak rakit Julak Inoy membuat mata Amat kian berat terbuka. Beberapa menit kemudian, dia tertidur pulas di dalam sarung bercorak kotak-kotak cap Gajah Duduk Samarinda miliknya.

*** 

“Sepertinya, malam belum mau pergi, Mat! Entah kapan pagi datang,” keluh Emon. Mereka tidak bisa memperkirakan waktu. Pintu rakit terkunci. Suasana gelap. Sinar rembulan sesekali hilang tertutup awan.

“Bukannya kau akan memancing? Kenapa rakit ini bisa hanyut terbawa arus sungai?”

“Maaf, Mat. Tiba-tiba aku mengantuk. Dan memutuskan tidur di sampingmu,” jawab Emon merasa bersalah. Amat hanya terdiam. Satu jam mereka termenung dalam diam. Sama-sama merasa takut bagaimana harus bertanggungjawab dengan rakit yang mereka tumpangi. Karena lelah, akhirnya mereka tertidur kembali.

*** 

Amat terbangun mendengar gemericik ombak di tepi rakit. Suasana rakit sedikit terombang ambing. Dia mengucek matanya. Pagi datang. Rupanya baru saja lewat kapal pengangkut batu bara di tengah sungai. Muatannya yang berat menimbulkan gelombang yang besar sehingga rakit tergoncang.

“Mon, bangun! Sepertinya arus sungai membawa kita tersesat terlalu jauh,” Amat membangunkan Emon. 

Mata Emon terbelalak melihat sekitarnya. “Mat! Bagaiamana bisa eceng gondok sebanyak ini ada di sekitar kita???” tanyanya kaget. Rakit tersangkut di tengah-tengah lautan tumbuhan eceng gondok. Sekitar puluhan meter eceng gondok mengitari rakit mereka. Amat tidak menjawab.

Untuk sekian menit, mereka tidak saling bicara. Tidak ada rumah penduduk di sekitar mereka. Hanya ada hutan di seberang sungai. Kapal pengangkut batu bara sangat jarang lewat di sana. Arus sungai malam itu benar-benar sangat kuat sehingga bisa menyeret rakit mereka sejauh itu. Amat segera berdiri mendekati pintu rakit. Dia berusaha mendobrak masuk ke dalam. Emon mengikutinya. 30 menit berlalu, mereka tidak menemukan apa-apa. Tidak banyak barang yang ada di rakit itu.

“Sepertinya kita akan terjebak di sini dalam waktu yang lama,” ucap Emon lesu.

Kening Amat berkerut. Dia berpikir keras mencari jalan keluar. Emon sendiri menyandarkan tubuhnya ke dinding rakit sambil menghembuskan nafas panjang.

Lima jam Amat mengitari seisi rakit, mencoba mencari sesuatu yang bisa dia gunakan untuk memperbaiki keadaan. Karena bosan melihat Amat mondar mandir di depannya, Emon memutuskan untuk memancing lagi. Dia masih menyisakan beberapa cacing yang sudah mati dan sepotong kecil bakwan.

“Mat! Kemari! Ada kapal!!” teriak Emon memanggil Amat di dalam rakit. Dari kejauhan nampak kapal penumpang perlahan mendekati mereka. Kali ini berbeda arah dari kapal batu bara yang mereka lihat tadi pagi. Arahnya menuju ke Muara Muntai, tempat tinggal mereka.

Amat berlari keluar rakit. Kapal yang mengangkut penumpang tujuan Melak dan Long Iram semakin tampak lekuk tubuhnya.  Dia memperkirakan sepuluh menit lagi kapal itu akan melewati depan rakit.  Dengan sigap, dia melepaskan kaosnya dan menggunakannya untuk melambai ke arah kapal. Tapi belum sempat ia melambaikan kaos kumalnya, Emon yang melihat kawannya, langsung melepas bajunya dan melambaikannya lebih cepat.

"Hoiii!!! di sini!!!" teriak Emon. Sialnya, kapal itu tidak mengurangi kecepatannya barang sedikitpun. Kedua bocah itu mulai gusar.

“Mat, sepertinya mereka tidak menyadari keberadaan kita,” wajah emon pucat pasi. Suaranya serak karena berteriak terlalu keras.
Para penumpang kapal itu mana peduli dengan dua anak laki-laki belasan tahun, terjebak dalam sebuah rakit yang tertutup hamparan eceng gondok. Saking banyaknya, hampir-hampir memenuhi sepanjang sungai sejauh mata memandang. Amat masih terdiam. Dua alisnya hampir menyatu karena ia berpikir terlalu keras, sama keras dengan teriakan Emon yang masih terdengar. Jarak kapal dengan rakit semakin dekat.

Tiba-tiba Amat berlari masuk ke dalam rakit. Dia mengbongkar isi dapur. Melakukan sesuatu yang tidak diketahui Emon, lalu keluar lagi. Emon memandang kawannya dengan heran.

“Mon, dalam hitungan ketiga, kita harus loncat ke dalam sungai!” ucap Amat cepat. Emon nampak bingung. Tapi dia menganggung cepat.

“Satu…dua…”

“Tapi apa yang kamu lakukan, Mat?” 

“Meledakkan tabung gas!”

Mata Emon terbelalak. Detik selanjutnya, Amat menarik tangan sahabatnya berlari menjauhi dapur dan melompat ke dalam air.

Darrrr!!
Rakit itu meledak begitu hebat. Suaranya menggelegar sangat keras. Burung-burung yang beristirahat di atas pepohonan sepanjang tepi sungai, langsung beterbangan kocar-kacir. Serentak seluruh penumpang kapal pun menoleh ke kobaran api yang menjilat sebuah rakit. Dengan susah-payah, dua bocah berenang melawan eceng gondok dan menjauh dari kobaran api. Mereka tersenyum sambil melambaikan tangan kearah kapal.

Kali ini, tidak mungkin para penumpang kapal itu tidak melihat mereka.

SEKIAN
 #GoreskanPenaTorehkanSejarah


[1] Rakit : rumah terapung di atas air
[2] Julak : adalah bahasa Banjar. Panggilan paman ( kakak dari orang tua ) yang umurnya sudah tua. 

0 comments:

Post a Comment