Pages

Sunday 25 September 2016

Duduk Sejajar dalam Belajar, Berdiri Sama Tinggi dalam Organisasi


Al Azhar, piramida dan padang pasir. 3 hal yang terbayang pertama kali sebelum menginjakkan kaki di Negeri Seribu Menara, Mesir. Sebuah harapan besar sudah dipupuk subur jauh sebelum burung besi membawa raga menyentuh cita agar tidak hanya sekedar ekspektasi belaka. Benar adanya saat dikatakan, Mesir adalah negara peradaban. Darinya lahir jutaan peradaban sejak ribuan tahun sebelum masehi, seperti piramida yang menjadi bukti sejarah bahwa dahulu kala seorang Raja pernah binasa karena kekejaman dan ketamakannya.

Tak terkecuali keberadaan al-Azhar yang dijadikan kiblat ilmu agama oleh sebagian besar masyarakat muslim di dunia. Sejak munculnya komunitas pertama Indonesia di Mesir pada tahun 1850 , mereka tidak hanya mengkaji ilmu agama saja, namun turut aktif menciptakan pergerakan baik dalam membangun hubungan kepada pemerintah Mesir, membuat majalah Indonesia pertama[1] dan bersatu dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia agar diakui oleh dunia khususnya Timur Tengah.
hanya ilustrasi

Sejarah telah mengamini bahwa pelajar Indonesia di Mesir berada dalam lingkaran pergerakan yang memiliki dua titik fokus utama, yaitu belajar agama dan berorganisasi. Meski telah terjadi pergeseran zaman hampir satu setengah abad lamanya, dua hal ini masih tertanam dalam sanubari mereka. Pergerakan tersebut semakin bervariasi bentuknya, dari komunitas, himpunan hingga akhirnya menjadi sebuah persatuan yang sekarang dikenal dengan Persatuan Pelajar dan Mahasiswa Indonesia ( PPMI ) Mesir.

Al-Azhar sendiri mempunyai ciri khas unik, yaitu sebuah proses belajar mengajar yang tidak terikat dalam catatan buku absen kehadiran. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi para muridnya dalam menggali ilmu agama di salah satu universitas islam tertua di dunia ini, khususnya bagi para pelajar Indonesia. Ibarat berjalan di sebuah lingkaran yang memiliki dua titik fokus utama, jika terlalu fokus pada satu titik ( organisasi ), maka titik lainnya ( belajar ) akan lengah, lebih lagi saat titik tersebut tidak memiliki tanda jelas untuk mengharuskannya berhenti. Pertanyaannya adalah, bagaimana caranya agar bisa menyeimbang dua fokus tersebut?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, ada beberapa hal yang harus diperhatikan bahkan perlu untuk dituliskan dengan ukuran huruf besar di buku catatan harian para pelajar, yaitu :

Pertama    : Tajdid niat
Tajdid niat merupakan sebuah usaha memperbaharui niat sebelum kembali menapaki aktifitas keseharian. Kurangnya kesadaran atas urgensi niat dalam beraktifitas kadang menjadi bumerang kegagalan dalam kehidupan. Oleh karenanya, penting bagi pelajar untuk memperbaharui niat awal kedatangannya ke Mesir, yaitu menuntut ilmu.

Usaha lain seperti mengingat bahwa ada amanah besar yang dititipkan orang tua saat kita meninggalkan bumi pertiwi. Sebuah harapan besar agar sekembalinya dari sini ( read : Mesir ), ada buah manis yang bisa dipetik.

Kedua       : Belajar mengatur waktu
Hal yang sering kali menjadi penghambat kesuksesan adalah ketidakpiawaian dalam mengatur waktu seperti kapan harus belajar, kapan berogranisasi, kapan waktu santai dengan teman dan kapan harus beristirahat. Tanpa kita sadari, organisasi adalah wadah untuk melatih kita dalam hal tersebut. Yang perlu diingat adalah organisasi sejatinya bukan penghambat dalam belajar, ia merupakan sebuah kendaraan mencapai kesuksesan yang lebih besar di masa akan datang, dengan syarat yaitu mampu mengatur waktu.

Ketiga       : Biasakan menghadiri kelas
Sebagian besar orang beranggapan bahwa kuliah bukanlah hal yang penting. Asal bisa mengikuti ujian, bimbingan belajar bersama sesama pelajar, lulus, selesai. Dibalik itu semua, masih banyak yang tidak menyadari bahwa menghadiri kelas di kampus adalah salah satu kunci kelulusan. Bahkan penulis berani katakan 50% faktor meraih mumtaz ditentukan dengannya. Namun semuanya butuh pembiasaan karena aktifitas yang senantiasa dilakukan akan menjadi sebuah rutinitas. Oleh karenanya, meski absen dari kelas tidak akan menganggu status sebagai pelajar resmi di al-Azhar, membiasakan hadir dan bertatap muka dengan para dosen di kampus akan menambah keberkahan dalam perjalanan menuntut ilmu di perantauan ini.

Keempat     : Sadar prioritas
Dalam perjalanannya, tentu akan banyak ditemukan hambatan serta rintangan semisal saat kebutuhan organisasi terbentur dengan waktu kuliah, aktifitas organisasi yang menjamur sehingga menyita jatah waktu belajar dan lain sebagainya. Penting kiranya agar pelajar menyadari mana prioritas utama selama keberadaannya di Mesir. Meski menurut hemat penulis, menuntut ilmu tetap merupakan sebuah prioritas dibanding berorganisasi, dengan tetap meyakini bahwa dengan berorganisasi pelajar akan semakin dapat  memperkaya pengalaman, menempa diri, membentuk karakter dan menguasai skill komunikasi yang baik agar dapat menyampaikan ilmu yang dimiliki dengan cara yang baik pula.

4 hal diatas hanyalah beberapa contoh yang patut diperhatikan oleh para perantau di Negara serba cokelat ini untuk menyeimbangkan kebutuhan belajar dan beroganisasi. Oleh karenanya, belajar dari sejarah dan manajemen kehidupan yang baik akan membantu kita untuk semakin memahami bagaimana cara agar dapat duduk sejajar saat belajar dan berdiri sama tinggi saat berorganisasi.

 “Sesungguhnya keberkahan itu berserakan di Mesir. Kalian yang menentukan, akankah pergi mencari atau hanya berdiam diri.” –penulis-

Cat : artikel ini dibuat untuk modul ormaba PPMI 2016


[1] Majalah pertama yang dibuat oleh para pelajar Indonesia di Mesir bernama Seruan Azhar. Majalah tersebut terbit pertama kali pada bulan Oktober 1925 dengan Raden Fathurraman sebagai direktur. 

Sunday 18 September 2016

Mari, memanusiakan rasa malas!

Ada beda pada kata malas dan tidak suka. Ketiadaan dua rasa ini dalam kehidupan manusia ibarat sebuah kenistaan. Manusiawi jika saya mengatakan, kita terlahir bersama dua rasa ini. Tentu saja masih banyak rasa lain, seperti rasa manis semburat pelangi usai hujan guntur menyapa langit. Namun kita hanya akan berbincang soal malas dan tidak suka. Dua rasa yang kerap  melanda manusia. Setiap hari. Di seluruh dunia.

Pernah saya ditanya seorang junior, “Bagaimana cara kakak mengatasi rasa malas?”

Untuk sejenak saya mencoba mencerna pertanyaan yang cukup menohok itu. Bagi saya, untuk menjawab pertanyaan tersebut saya butuh menelaah sebuah pertanyaan baru,

“Benarkah saya sudah berhasil menaklukkan malas?”

Namun nampaknya, sang junior menganggap saya sudah berhasil. Lalu saya mencoba memberi jawaban dengan menjelaskan peran malas dalam kehidupan saya.


Seperti yang saya sebutkan di awal. Rasa malas lahir bersama tangisan pertama seorang bayi ke dunia. Namun ia masih terasa samar. Seperti tepung tercampur air, masih bisa kita bentuk besar, kecil, atau malah belum terasa sama sekali. Dalam kehidupan saya, malas saya anggap seperti iman seseorang. Naik turun. Pasang surut. Kadang saya malas dan kadang saya rajin. 

Segala usaha tentu dikerahkan agar bisa kembali memenjarakan rasa malas ini. Dengan mengingat peran orang tua, keluarga, amanah dan tanggung jawab yang dititipkan oleh warga kampung bahkan tidak jarang untuk benar-benar memenjarakannya, butuh yang namanya hijrah (mengungsi ke rumah teman terdekat agar tertular semangat dan rajinnya)

Sekali lagi saya katakan, malas itu manusiawi. Saya memiliki satu prinsip kuat yang saya tanamkan dalam benak saat harus beradu batin dengan malas. 

"Malas itu boleh, asal jangan malas-malasan!"
Artinya? ya, sesekali kita boleh lah memanjakan malas. Beristirahat dari segala aktifitas monoton setiap harinya. Bersantai sejenak. Mengambang bersama ketidakjelasan. Lagi lagi yang perlu diingat adalah, jangan malas-malasan!

Malas adalah suatu sifat alami yang kadang terjadi dalam diri seseorang. Sedang malas-malasan adalah suatu sifat yang dimanjakan, dibiasakan. dilakukan berulang kali dalam rentang waktu yang lama sehingga menjadikannya sebuah kebiasaan. Coba saja tanamkah hal ini dalam benak kita. Setiap kali malas menyapa, sambutlah! Asal jangan malas-malasan! Mungkin ini akan menjadi salah satu cara memanusiakan rasa malas.