Pages

Monday 20 October 2014

Adik Bendahara

Sepanjang hidup saya, angka itu selalu memusingkan.
Dulu saya memang sangat suka matematika. Saat masuk SMP, saya mulai memusuhinya.
Trnyata benar, cara mengajar guru itu sangat berpengaruh trhadap murid. Mungkin dlu guru saya ogah-ogahan ngajarnya.
Sampe pernah suatu hari sy protes. Sy kritik gaya ngajar guru sy yg menurut sy terlalu rumit. Beliau mencoba menerapkn gaya belajar-mengajar antara dosen dan mahasiswa. Lah, sedang waktu itu kami masih SMP. Sontak aja saya protes.

Saya sempet bersyukur, ditempat kuliah sy ini (al Azhar Univercity ) sy gak bertemu dg yg namanya hitung-hitungnya. But, lagi-lagi benar kata orang bijak 'manusia tdk akan prnah lepas dg angka'. Mau tidur aja musti nengok angka jam. Mau beli sesuatu nyodorin sejumlah angka uang.
Kali ini, sy diberi amanah memegang jabatan bendahara di suatu kepanitiaan. Awalnya saya di panggil 'Bu Bendahara'. Tapi.saya gak terima. Toh, sy masih muda. Termasuk yg paling muda diantara smua panitia malah. Jadi sy memanggil diri sy dg sebutan 'Adik Bendahara'

Rencananya, acara yg dinamakan 'Kampoeng Pelajar' ini akan diadakan mulai senin pagi ini sampe rabu di daerah Fayoum.
Sebenarnya konsep acaranya udah bagus banget, tp emang saya yg apes kali ya. Dapet jabatan yg gak mudah di kondisi yg memang lg krisis ekonomi. Jadilah sy pusing tujuh keliling di tambah maju mundur 3x. :-SS

Tapi 'ala kulli haal
Moga acara besok dan seterusnya lancar. Baik-baik saja. Tdk ada hambatan sampai akhir. Amin

Ohya, utk acara kali ini sbnernya sy pnya 3 profesi sekaligus. Pertama: Adik Bendahara. Kedua: Pemandu. Ketiga: Observer.

Pengalaman itu PROSES! Semangat LILLAH! ;-)

Wednesday 15 October 2014

Ersyie Al-Hamidy: Lembayung Cinta

Ersyie Al-Hamidy: Lembayung Cinta: "Lembayung Cinta" Lagi-lagi aku harus bercerita padamu. Berkisah denganmu. Berhikayat bersamamu. Kamu tau? Aku dan kamu ...

Wednesday 8 October 2014

Lembayung Cinta


"Lembayung Cinta"

Lagi-lagi aku harus bercerita padamu. Berkisah denganmu. Berhikayat bersamamu. Kamu tau? Aku dan kamu laiknya teko dan gelas. Aku tekonya, dan tentu saja kamu gelasnya. Aku hanya menumpahkan semua yang ada dalam diriku tanpa peduli gelasmu penuh atau malah isinya tumpah keluar. 

Egois? Ya! Aku memang terlalu egois untukmu. Tapi kamu terlalu lembut untuk tetap tersenyum menyambut keegoisanku.


Itulah aku dan kamu! Laksana bumi yang tak pernah menemukan pengganti berkeluh kesah pada bulan. Kamu mungkin sudah lelah mendengarku. Senang, sedih, marah, kesal dan semua rasaku yang kamu tau bagaimana itu. Tapi sekarang sudah berbeda. Ada yang berubah dari sikapmu. Kenapa kamu hanya diam saja tiap kali aku bercerita? Kamu marah padaku? Atau kamu mulai bungkam semenjak aku bercerita tentang dia?
***
Penghujung musim panas memang waktu yang pas untuk bersantai di sini. Di samudera pasir tak bertuan, di belahan bumi bagian timur tengah. Sebagian manusia senang menghabiskan waktu mereka di sini. Sekedar melepas penat atau untuk merenungi salah satu keajaiban ciptaan Tuhan. Di sinilah, kesombongan manusia tidak ada gunanya. Keangkuhan musnah tertimbun rasa malu dan  kerdil di hadapan Sang Pencipta.

Siang itu, segerombolan anak manusia mengujungiku. Kali ini dalam jumlah yang banyak. Dari kejauhan aku menghitung mereka yang turun dari bus besar berwarna gelap. Ada sekitar 43 orang, setengah di antaranya masih remaja dan berjalan berpasang-pasangan. Pada awalnya mereka berkumpul tak jauh dari tempat bus mereka diparkir. Tampak seorang laki-laki bertopi dan memakai jeans selutut sedang berbicara dengan pengeras suara kearah mereka. Bisa ditebak, dia pasti seorang pimpinan rombongan.  

“Ada yang datang” celetuk Angin menghampiriku dari arah belakang.

“kau terlambat. Aku sudah memperhatikannya sejak tadi” jawabku sekenanya. Angin memang suka bermain sendiri. Pergi ke tempat yang jauh, dan datang sesekali untuk menjengukku di sini. Hari ini aku meminta dia untuk menemaniku sampai matahari terbenam. Aku senang dia menyanggupinya.

5 menit kemudian, anak manusia itu mulai berpencar. Tentu saja aku dan Angin merasa kegirangan. Kami berputar-putar dan mulai mendekat kearah mereka. Mereka sangat bahagia menikmati permainanku bersama Angin. Ku belai lembut ujung rambut mereka, wajah, tangan, kaki, bahkan aku berhasil masuk disela-sela lubang kaos kaki busuk mereka. Permainanku dan Angin memang menarik. Meski mereka seringkali mengedipkan mata menghindari sentuhanku, tapi Angin selalu berhasil membuat mereka menikmatinya.

Hampir saja aku melupakanmu karena terlalu asik bermain bersama Angin. Aku tau kamu ada di sana. Jauh di sana menyaksikanku bermain. Aku coba tersenyum padamu dengan gaya khasku. Seperti biasa, aku akan berputar satu kali ke atas dan perlahan Angin melemparku kearahmu. Biasanya kamu akan membalas senyummu dengan menggerakkan duri yang tertancap tubuhmu.

 Belum sempat aku melihat responmu, Aku bertemu dua anak manusia yang sedang bercengkrama. Mereka berjalan menghampiriku dan Angin. Aku bisa merasakan  kemesraan mereka. Saat mereka saling bergandeng tangan dan saling bertatap mata. Seakan mampu menghangatkan satu sama lain hanya dengan jumpa mata saja. Aku mulai berhenti bermain dan tertarik memperhatikan mereka saat samar-samar aku mendengar salah satu diantara mereka bercerita tentang Laut.

“Siapa itu Laut?” tanyaku pada angin. Aku mencoba menghentikan geraknya, tapi aku gagal.

Angin berputar-putar di sampingku dan menjawab singkat “Dia penguasa air”.

“Pernahkah kamu bertemu dengannya?”

“Tentu” jawabmu masih dengan gerakan yang sama. “Setiap kali aku meninggalkan tempat ini, aku selalu menyempatkan singgah menemui Laut. Tidak seperti dunia kita, Laut mudah ditemui di mana-mana. Bahkan hampir di setiap belahan bumi pasti ada Laut”

“Benarkah? Bisakah aku menemuinya?” pintaku dengan mimik serius. Angin mulai menghentikan gerakannya.

“Kamu memang berbeda dengan saudaramu yang lain. Kamu terlahir dan ditakdirkan untuk hidup di sini. Di tempat segersang ini. Tidak seperti bangsa sejenismu yang banyak tinggal di pesisir pantai, kawasan kekuasan Laut. Mereka bisa mengenal Laut, berbagi cerita, dan saling menguntungkan satu sama lain”

Aku mulai terdiam. Mencoba mencerna kata-kata yang baru saja Angin ucapkan. Sudah sekian lama aku hidup di sini. Sudah jutaan manusia datang mengunjungi duniaku, ini pertama kalinya aku mendengar cerita yang menarik seperti itu.

Aku mulai tertarik mendengar cerita tentang Laut. Sengaja aku berhenti bermain dan mengitari sepasang anak manusia yang di mabuk kasmaran itu. Kupinta Angin untuk bermain di tempat yang lain agar  aku bisa lebih fokus mendengarkan cerita mereka tentang Laut. Saat itu di penghujung musim panas, matahari bersinar ala kadarnya dan tidak terlalu menyengat. Langitpun tampak cerah, seperti juga ikut menyimak cerita itu bersamaku. Sesekali aku mendengar Langit berbisik bahwa ia juga sering menikmati kecantikan Laut. Memandangnya tak berkedip dari atas sana.

“Laut mana yang akan kita kunjungi?” Tanya si gadis berkacamata dengan rambut panjang terurai sebahu kepada kekasihnya. Dia meletakkan kepalanya kepundak sang kekasih dengan manja.

“Di sebelah Timur sana. Konon, di sana salah satu tempat wisata yang di gemari banyak orang” Lalu sang kekasih mulai bercerita tentang Laut yang dia maksud. Aku menyimak seakan aku menyaksikan keindahan Laut bersama mereka. Entah seperti apa wujud Laut itu sebenarnya.

Dapat kubayangkan betapa cantiknya Laut itu. Biru warnanya luas membentang. Keindahannya sejauh mata memandang. Ombak yang berkejaran di tepian pantai. Saat matahari terbenam, kecantikannya semakin sempurna ditambah sketsa lembayung senja yang memberi rona merah jingga keemasan kepada bumi. Bahkan cerita yang aku dengar dari mereka, hampir setiap menit manusia selalu mengunjunginya. Tentu saja tidak sepertiku, manusia hanya mau mengunjungiku saat tidak sedang puncak musim panas.

Aku semakin terhipnotis akan kecantikan Laut. Padahal sekalipun tak pernah aku berjumpa dengannya. Seumur hidupku aku habiskan disini. Yah, di duniaku yang gersang ini. Siang dan malam aku habiskan bermain bersamamu, Angin, dan segerombolan anak manusia ketika mereka mengunjungiku. Itu saja.

Aku tersadar dari lamunanku saat sepasang anak manusia itu pergi. Mungkin waktu berkunjung mereka sudah habis. Dan mereka harus melanjutkan tamasya mereka ke tempat yang lain. Bayang-bayang cerita mereka seperti tertinggal di tempat di mana mereka duduk. Menyisakan tanda tanya. Tiba-tiba aku resah. Rasanya ingin mendengar cerita tentang Laut lebih lama. Menahan sepasang kekasih itu untuk bercerita lebih banyak di sini.

***

Seperti ada yang aneh dalam diriku. Sejak saat itu, cerita-cerita tentang Laut lebih menarik perhatianku daripada bermain bersama Angin. Bahkan saat Angin mengajakku bermain bersama segorombolan anak manusia, aku lebih memilih menjauh ke tempat lain. Apa aku jatuh cinta pada Laut? Jatuh cinta pada kecantikannya yang abstrak. Jatuh cinta pada keindahannya yang hanya aku lihat dengan telingaku saja. Mata dan logikaku tidak berfungsi. Atau aku sudah mulai gila? Entahlah!

Saat langit mulai keemasan. Matahari berpamitan denganku dan berjanji akan menemaniku bermain lagi esok hari. Seperti biasa, yang ada hanya kesunyian. Tidak ada suara selain suaraku, Angin, dan desah nafasmu. Tentu saja saat malam datang, tidak akan ada anak manusia yang mau bermalam ditempat ini. Kecuali segelintir orang yang terpaksa berteduh disini karena harus melakukan perjalanan  jauh.

Aku bercerita semuanya padamu. Tentang sepasang anak manusia, tentang kemesraan mereka dan tentang Laut. Aku juga memberitahumu sebesar apa rasa kagumku padanya. Aku benar-benar ingin berjumpa dengannya. Menyaksikan keindahannya langsung di sana. Aku terus bercerita di depanmu sambil menjelaskan angan-anganku menemui Laut.  Mengitari tubuhmu yang berdiri tegak. Membelai duri-duri tajam yang tertancap di tubuhmu.

Aku masih ingat saat seorang anak kecil bertanya pada ibunya tentang dirimu. “Ibu, kenapa pohon kaktus itu bisa bertahan hidup sendiri di sini?”

 Katanya. Ah, andai saja dia bisa mendengarku. Tentu akan aku jawab “Kaktus tidak pernah sendiri, dia bisa bertahan karena ada Aku, si Pasirmu dan Angin”.

Biasanya kita akan saling membela. Tapi tidak untuk senja itu. Gerakanku terhenti saat aku sadar bahwa kamu tidak merespon apapun. Bahkan tidak dengan senyum yang biasa aku lihat saat kamu sedang mendengarkan semua kisahku. Berulang kali aku tanyakan kenapa kamu bisu. Kamu hanya melirikku. Dan semua lamunanku tentang Laut buyar seketika saat aku mendengar jawabanmu.

“Aku lebih dulu mengagumimu jauh sebelum kamu mengagumi Laut. Tapi Aku sadar, semua ini hanya sebatas kekaguman. Seperti kamu memandang kagum Laut dari jauh, seperti itu pula aku memandangmu kagum dari sini. Jauh dan tanpa pernah bisa bersatu”

Katamu sore itu. Ah, ternyata ini alasan kamu lama mendiamkanku. Ini sebab kamu bungkam tiap kali aku ajak bercerita.

Aku mengalihkan pandangaku menatap Lembayung Senja di ufuk barat. Rona merah jingga pada tubuhnya memancarkan kesejukan. Berbagi sinar penuh cinta tanpa belas kasih. Dia mencoba menghiburku dengan melebarkan sinarnya ke penjuru langit. Aku tersenyum kecut.

Aku sadar, cinta dan kekaguman seperti lembayung yang kamu miliki, Senja. Indah dan dipuja saat ia bertahta menghiasi cakrawala. Dikagumi manusia, dipuja bumi saat pesona lembayungmu menguasai ufuk barat. Mereka akan tersadar bahwa kamu tidak selamanya bisa dimiliki saat malam merenggut tempatmu. Memaksamu pergi meski mereka tak rela.

Kamu benar, Senja. Andai aku lebih mendengarmu kala itu. “Anugrah terbesar untuk kita adalah dapat saling mengagumi, meski dari jarak yang jauh”

Garis Pengembara: AKTIVIS? Pilihan atau Tuntutan?

Garis Pengembara: AKTIVIS? Pilihan atau Tuntutan?: AKTIVIS? Sebagai seorang pelajar atau mahasiswa, kata aktivis itu udah gak asing lagi di telinga. Biasanya, ketika bnayak ngikut kelas t...