"Lembayung Cinta"
Lagi-lagi aku harus bercerita padamu. Berkisah
denganmu. Berhikayat bersamamu. Kamu tau? Aku dan kamu laiknya teko dan gelas.
Aku tekonya, dan tentu saja kamu gelasnya. Aku hanya menumpahkan semua yang ada
dalam diriku tanpa peduli gelasmu penuh atau malah isinya tumpah keluar.
Egois?
Ya! Aku memang terlalu egois untukmu. Tapi kamu terlalu lembut untuk tetap
tersenyum menyambut keegoisanku.
Itulah aku dan kamu! Laksana bumi yang tak
pernah menemukan pengganti berkeluh kesah pada bulan. Kamu mungkin sudah lelah
mendengarku. Senang, sedih, marah, kesal dan semua rasaku yang kamu tau
bagaimana itu. Tapi sekarang sudah berbeda. Ada yang berubah dari sikapmu.
Kenapa kamu hanya diam saja tiap kali aku bercerita? Kamu marah padaku? Atau kamu
mulai bungkam semenjak aku bercerita tentang dia?
***
Penghujung musim panas memang waktu yang pas
untuk bersantai di sini. Di samudera pasir tak bertuan, di belahan bumi bagian
timur tengah. Sebagian manusia senang menghabiskan waktu mereka di sini. Sekedar
melepas penat atau untuk merenungi salah satu keajaiban ciptaan Tuhan. Di
sinilah, kesombongan manusia tidak ada gunanya. Keangkuhan musnah tertimbun
rasa malu dan kerdil di hadapan Sang
Pencipta.
Siang itu, segerombolan anak manusia
mengujungiku. Kali ini dalam jumlah yang banyak. Dari kejauhan aku menghitung
mereka yang turun dari bus besar berwarna gelap. Ada sekitar 43 orang, setengah
di antaranya masih remaja dan berjalan berpasang-pasangan. Pada awalnya mereka
berkumpul tak jauh dari tempat bus mereka diparkir. Tampak seorang laki-laki
bertopi dan memakai jeans selutut sedang berbicara dengan pengeras suara kearah
mereka. Bisa ditebak, dia pasti seorang pimpinan rombongan.
“Ada yang datang” celetuk Angin menghampiriku
dari arah belakang.
“kau terlambat. Aku sudah memperhatikannya
sejak tadi” jawabku sekenanya. Angin memang suka bermain sendiri. Pergi ke
tempat yang jauh, dan datang sesekali untuk menjengukku di sini. Hari ini aku
meminta dia untuk menemaniku sampai matahari terbenam. Aku senang dia
menyanggupinya.
5 menit kemudian, anak manusia itu mulai
berpencar. Tentu saja aku dan Angin merasa kegirangan. Kami berputar-putar dan
mulai mendekat kearah mereka. Mereka sangat bahagia menikmati permainanku
bersama Angin. Ku belai lembut ujung rambut mereka, wajah, tangan, kaki, bahkan
aku berhasil masuk disela-sela lubang kaos kaki busuk mereka. Permainanku dan
Angin memang menarik. Meski mereka seringkali mengedipkan mata menghindari
sentuhanku, tapi Angin selalu berhasil membuat mereka menikmatinya.
Hampir saja aku melupakanmu karena terlalu asik
bermain bersama Angin. Aku tau kamu ada di sana. Jauh di sana menyaksikanku
bermain. Aku coba tersenyum padamu dengan gaya khasku. Seperti biasa, aku akan
berputar satu kali ke atas dan perlahan Angin melemparku kearahmu. Biasanya
kamu akan membalas senyummu dengan menggerakkan duri yang tertancap tubuhmu.
Belum
sempat aku melihat responmu, Aku bertemu dua anak manusia yang sedang
bercengkrama. Mereka berjalan menghampiriku dan Angin. Aku bisa merasakan kemesraan mereka. Saat mereka saling
bergandeng tangan dan saling bertatap mata. Seakan mampu menghangatkan satu
sama lain hanya dengan jumpa mata saja. Aku mulai berhenti bermain dan tertarik
memperhatikan mereka saat samar-samar aku mendengar salah satu diantara mereka
bercerita tentang Laut.
“Siapa itu Laut?” tanyaku pada angin. Aku
mencoba menghentikan geraknya, tapi aku gagal.
Angin berputar-putar di sampingku dan menjawab
singkat “Dia penguasa air”.
“Pernahkah kamu bertemu dengannya?”
“Tentu” jawabmu masih dengan gerakan yang sama.
“Setiap kali aku meninggalkan tempat ini, aku selalu menyempatkan singgah
menemui Laut. Tidak seperti dunia kita, Laut mudah ditemui di mana-mana. Bahkan
hampir di setiap belahan bumi pasti ada Laut”
“Benarkah? Bisakah aku menemuinya?” pintaku
dengan mimik serius. Angin mulai menghentikan gerakannya.
“Kamu memang berbeda dengan saudaramu yang
lain. Kamu terlahir dan ditakdirkan untuk hidup di sini. Di tempat segersang
ini. Tidak seperti bangsa sejenismu yang banyak tinggal di pesisir pantai,
kawasan kekuasan Laut. Mereka bisa mengenal Laut, berbagi cerita, dan saling
menguntungkan satu sama lain”
Aku mulai terdiam. Mencoba mencerna kata-kata
yang baru saja Angin ucapkan. Sudah sekian lama aku hidup di sini. Sudah jutaan
manusia datang mengunjungi duniaku, ini pertama kalinya aku mendengar cerita
yang menarik seperti itu.
Aku mulai tertarik mendengar cerita tentang
Laut. Sengaja aku berhenti bermain dan mengitari sepasang anak manusia yang di
mabuk kasmaran itu. Kupinta Angin untuk bermain di tempat yang lain agar aku bisa lebih fokus mendengarkan cerita
mereka tentang Laut. Saat itu di penghujung musim panas, matahari bersinar ala
kadarnya dan tidak terlalu menyengat. Langitpun tampak cerah, seperti juga ikut
menyimak cerita itu bersamaku. Sesekali aku mendengar Langit berbisik bahwa ia
juga sering menikmati kecantikan Laut. Memandangnya tak berkedip dari atas
sana.
“Laut mana yang akan kita kunjungi?” Tanya si
gadis berkacamata dengan rambut panjang terurai sebahu kepada kekasihnya. Dia
meletakkan kepalanya kepundak sang kekasih dengan manja.
“Di sebelah Timur sana. Konon, di sana salah
satu tempat wisata yang di gemari banyak orang” Lalu sang kekasih mulai
bercerita tentang Laut yang dia maksud. Aku menyimak seakan aku menyaksikan
keindahan Laut bersama mereka. Entah seperti apa wujud Laut itu sebenarnya.
Dapat kubayangkan betapa cantiknya Laut itu.
Biru warnanya luas membentang. Keindahannya sejauh mata memandang. Ombak yang
berkejaran di tepian pantai. Saat matahari terbenam, kecantikannya semakin
sempurna ditambah sketsa lembayung senja yang memberi rona merah jingga
keemasan kepada bumi. Bahkan cerita yang aku dengar dari mereka, hampir setiap
menit manusia selalu mengunjunginya. Tentu saja tidak sepertiku, manusia hanya
mau mengunjungiku saat tidak sedang puncak musim panas.
Aku semakin terhipnotis akan kecantikan Laut.
Padahal sekalipun tak pernah aku berjumpa dengannya. Seumur hidupku aku
habiskan disini. Yah, di duniaku yang gersang ini. Siang dan malam aku habiskan
bermain bersamamu, Angin, dan segerombolan anak manusia ketika mereka
mengunjungiku. Itu saja.
Aku tersadar dari lamunanku saat sepasang anak
manusia itu pergi. Mungkin waktu berkunjung mereka sudah habis. Dan mereka
harus melanjutkan tamasya mereka ke tempat yang lain. Bayang-bayang cerita
mereka seperti tertinggal di tempat di mana mereka duduk. Menyisakan tanda
tanya. Tiba-tiba aku resah. Rasanya ingin mendengar cerita tentang Laut lebih
lama. Menahan sepasang kekasih itu untuk bercerita lebih banyak di sini.
***
Seperti ada yang aneh dalam diriku. Sejak saat
itu, cerita-cerita tentang Laut lebih menarik perhatianku daripada bermain
bersama Angin. Bahkan saat Angin mengajakku bermain bersama segorombolan anak
manusia, aku lebih memilih menjauh ke tempat lain. Apa aku jatuh cinta pada
Laut? Jatuh cinta pada kecantikannya yang abstrak. Jatuh cinta pada
keindahannya yang hanya aku lihat dengan telingaku saja. Mata dan logikaku
tidak berfungsi. Atau aku sudah mulai gila? Entahlah!
Saat langit mulai keemasan. Matahari berpamitan
denganku dan berjanji akan menemaniku bermain lagi esok hari. Seperti biasa,
yang ada hanya kesunyian. Tidak ada suara selain suaraku, Angin, dan desah
nafasmu. Tentu saja saat malam datang, tidak akan ada anak manusia yang mau
bermalam ditempat ini. Kecuali segelintir orang yang terpaksa berteduh disini
karena harus melakukan perjalanan jauh.
Aku bercerita semuanya padamu. Tentang sepasang
anak manusia, tentang kemesraan mereka dan tentang Laut. Aku juga memberitahumu
sebesar apa rasa kagumku padanya. Aku benar-benar ingin berjumpa dengannya.
Menyaksikan keindahannya langsung di sana. Aku terus bercerita di depanmu
sambil menjelaskan angan-anganku menemui Laut.
Mengitari tubuhmu yang berdiri tegak. Membelai duri-duri tajam yang
tertancap di tubuhmu.
Aku masih ingat saat seorang anak kecil
bertanya pada ibunya tentang dirimu. “Ibu, kenapa pohon kaktus itu bisa
bertahan hidup sendiri di sini?”.
Katanya. Ah, andai saja dia bisa mendengarku. Tentu akan aku jawab “Kaktus
tidak pernah sendiri, dia bisa bertahan karena ada Aku, si Pasirmu dan Angin”.
Biasanya kita akan saling membela. Tapi tidak
untuk senja itu. Gerakanku terhenti saat aku sadar bahwa kamu tidak merespon
apapun. Bahkan tidak dengan senyum yang biasa aku lihat saat kamu sedang
mendengarkan semua kisahku. Berulang kali aku tanyakan kenapa kamu bisu. Kamu
hanya melirikku. Dan semua lamunanku tentang Laut buyar seketika saat aku
mendengar jawabanmu.
“Aku lebih dulu mengagumimu jauh sebelum kamu
mengagumi Laut. Tapi Aku sadar, semua ini hanya sebatas kekaguman. Seperti kamu
memandang kagum Laut dari jauh, seperti itu pula aku memandangmu kagum dari
sini. Jauh dan tanpa pernah bisa bersatu”
Katamu sore itu. Ah, ternyata ini alasan kamu
lama mendiamkanku. Ini sebab kamu bungkam tiap kali aku ajak bercerita.
Aku mengalihkan pandangaku menatap Lembayung
Senja di ufuk barat. Rona merah jingga pada tubuhnya memancarkan kesejukan.
Berbagi sinar penuh cinta tanpa belas kasih. Dia mencoba menghiburku dengan
melebarkan sinarnya ke penjuru langit. Aku tersenyum kecut.
Aku sadar, cinta dan kekaguman seperti
lembayung yang kamu miliki, Senja. Indah dan dipuja saat ia bertahta menghiasi
cakrawala. Dikagumi manusia, dipuja bumi saat pesona lembayungmu menguasai ufuk
barat. Mereka akan tersadar bahwa kamu tidak selamanya bisa dimiliki saat malam
merenggut tempatmu. Memaksamu pergi meski mereka tak rela.
Kamu benar, Senja. Andai aku lebih mendengarmu
kala itu. “Anugrah terbesar untuk kita adalah dapat saling mengagumi, meski
dari jarak yang jauh”