Pages

Monday 14 April 2014

Hujan Di Mata Amak

HUJAN DI MATA AMAK[1]
Kakiku sudah lelah melangkah. Terlihat dari goresan luka memenuhi jemarinya. Tumitnya saja sudah pecah. Baunya menyengat. Hidungku mengernyit tiap kali aku membuka sepatu lusuhku. Aku menghabiskan waktu menyusuri jalanan ramai di kota Jakarta. Bibirku kering dan pecah-pecah. Mukaku pucat pasi. Langkahku bahkan tak tahu lagi harus kemana. Jakarta Selatan, Timur, Utara, Barat, semua pernah ku jamah. Otakku tak mampu lagi mengingat apa-apa. Yang aku ingat hanya kampung halamanku, Harau[2]. Dan  Amak.
 “Dunia ko tentang hidup dan mati, Nak! Ado nan layia dan ado nan mati. Kelahiran, jodoh, rasaki dan kematian alah tacatat di lauhul mahfudz jauah sabalun Amak manganduang waang. Baitupun jo Apak[3]. Ujar Amak menatapku yang berdiri mematung tanpa kata saat aku tahu tentang kematian Apak. Saat itu aku masih kelas 6 sekolah dasar. Seragam merah putih masih melekat di tubuh mungilku. Dia memelukku erat saat aku mulai keheranan melihat warga kampung yang ramai berdatangan ke rumah. Kurasakan detak jantungnya yang tak beraturan. Dadanya naik turun mengatur nafas.
Ado apo, Mak?”[4] bisikku di telinganya. Aku membalas pelukan hangat Amak. Mencoba menekan kecamuk pikiran dan rasa takutku.
Apak waang lah manduhului awak, nak. Apak sudah dipanggia Allah. Inyo titip salam untuak anak bujangnyo[5] katanya. Sebuah senyuman tipis tersungging di bibirnya. Pertahanannya hampir roboh tapi ia berjuang keras untuk tetap kokoh berdiri di hadapanku.
Tubuhku gemetar. Aku menarik nafas panjang agar Amak tidak menyadarinya. Aku tahu kepedihannya lebih besar dari apa yang aku rasakan. Tapi dia memang wanita yang luar biasa. Di balik sendu matanya aku tahu ia menyimpan beban yang sangat berat untuk ia pikul sendiri.
Ah, Amak. Aku menahan rinduku yang kian sesak. Menyesali tindakan bodohku menyakiti hati wanita mulia itu. Lututku gemetar menahan tangis. Menyesal! Sungguh aku benar-benar mengutuk hidupku. Andai saja dulu aku lebih mendengar kata Amak. Tentu tidak akan seperti ini jadinya.
** Saat itu masa kelulusanku di bangku SMA. Aku bukan murid yang sangat pintar. Tapi aku selalu berusaha menjadi  anak kebanggan Amak. Aku berhasil mempersembahkan peringkat 10 besar saat kelulusanku. Amak tersenyum bangga padaku. Aku bahagia melihat gurat kepedihan perlahan sirna di mata Amak.
 “Baraja tu ndk hanyo di sikola, Nak. Waang bias baraja di taman, jalan, musajik bahkan di rumah. Pelajari kehidupan sakitar, buek urang dakek wak sanang. Itu pelajaran yang saketek urang bias dapekan[6]. Ujar Amak menasehatiku saat aku mengeluh mata pelajaran di sekolah. Aku mengangguk. Sejak saat itu aku belajar membahagiakan orang-orang di sekitarku, dan orang yang pertama kali aku bahagiakan adalah Amak.
Pasca kelulusanku, aku bertemu teman baru dari kota sebelah. Namanya Bayu. Dia mengaku kuliah di kota Jakarta. Aku begitu bersemangat mendengar ceritanya tentang kota impianku itu. Sampai-sampai aku tak peduli asal usul dia. Bahkan tak ku hirau kan lagi teguran dari sahabat baikku untuk berhati-hati terhadap orang asing. Dia menawarkan aku untuk ikut bersamanya ke Jakarta. Aku tersenyum lebar. Aliran darahku meninggi menahan detak jantungku yang memacu semakin kencang tak sabar.
Segera aku persiapkan segala keperluanku ke Jakarta. Menyisipkan ijazah kelulusan SMA ku, dan sedikit uang dari tabunganku selama SMA. Aku sudah menyiapkan rencana selama hidup di Jakarta. Untuk setahun pertama, aku tidak akan langsung kuliah. Aku ingin menikmati kota Jakarta. Menghafal seluk beluk kota besar itu. Bahkan kalau perlu menjadi ‘peta berjalan’ untuk orang-orang yang tersesat. Aku bisa bekerja untuk tahun pertama. Mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya. Dan mengirimkannya ke Amak kalau uangku berlebih.
Amak? Ah, aku lupa mengingat satu hal itu. Aku memang merahasiakan hal ini darinya. Aku berencana akan memberi tahunya beberapa hari menjelang keberangkatan.  Aku pikir, Amak pasti mengijinkanku. Apalagi, semenjak kepergian Apak aku tidak pernah menuntut apa-apa ke Amak. Aku selalu menuruti apa kata Amak. Aku begitu yakin Amak akan merestui keberangkatanku.
Matang sudah segala persiapanku. Ragaku begitu bersemangat ingin merantau ke Jakarta. Jangan tanya jiwaku, menggelora. Memacu adrenalinku tiap kali terbayang pertualanganku di sana. Teringat lirik lagu pedangdut tersohor Bang Haji Rhoma Irama “masa muda masa yang berapi-api”. Aku tidak hanya berapi-api, tapi sudah membara. Terbakar rasa ingin tahu yang mendalam. Nafsu ingin bebas dan keluar dari desa terpencil ini. Sampai aku lupa memperhitungkan hal negatif yang mungkin akan menimpaku di sana.
** Seminggu sebelum keberangkatan. Aku menghubungi Bayu. Menanyakannya perihal tiket kami menuju Jakarta. Dia meyakinkanku bahwa semua sudah beres. Undercontrol. Aku tenang. Dan untuk membeli tiket, aku menjual semua barang-barang kesayanganku. Sepatu, koleksi komik, beberapa buku bacaan dan tape recorder pemberian Apak.
Sejujurnya, aku begitu berat menjual satu-satunya peninggalan Apak itu. Tapi aku tidak punya pilihan. Aku membutuhkan uang untuk melengkapi kekuranganku membeli tiket. Tidak mungkin aku memintanya pada Amak. Aku tidak ingin menyusahkannya. Sedang uang tabungan yang aku sisihkan mungkin hanya cukup untukku bertahan satu bulan di Jakarta.  Tapi aku berjanji, suatu saat nanti aku akan membeli kembali tape recorder itu. Sepulangku dari kota Jakarta.
Aku pergi mengunjungi Lembah Harau tiga hari menjelang keberangkatanku ke Jakarta. Sebuah celah yang terletak di antara dua tebing batuan pasir. Menjulang tinggi dan indah. Laiknya gerbang besar bagi daratan di bawahnya. Tinggi tebingnya mencapai 100 meter dan membentang sepanjang beberapa kilometer. Sawah milik warga mengalasi kedua tebing. Menambah keeksotisan Lembah Harau.
Tidak hanya itu, yang menarik ragaku untuk ke sana adalah air terjun yang turun di beberapa titik tebing. Dulu aku selalu menghabiskan waktuku bermain di sana. Mengguyur tubuhku dengan airnya yang dingin dan segar. Aku sering lupa waktu dan Amak akan memarahiku kalau aku pulang terlambat karena bermain di sana sepulang sekolah. Bibirku tertarik beberapa senti ke samping mengingat memori-memori indah di Harau, tanah kelahiranku.
Aku melipat tangan di dada. Memandang tebing-tebing yang membuatku terasa kerdil. Menikmati indah Lembah Harau. Merekamnya dengan baik dalam ingatanku. Berharap jika suatu saat aku jenuh dengan pemandangan dan sesak kota Jakarta, memori Lembah Harau bisa memberiku cukup banyak oksigen untukku bernafas dengan lega. Hari semakin gelap. Aku bersiap-siap pulang ke rumah. Ku tarik nafas panjang sebelum kakiku melangkah pulang. Ya! Ini saatnya memberitahu Amak tentang kepergianku.
** Amak diam tak bersuara. Tubuhnya tak bergerak. Dia menatapku. Tatapan itu, ah! Aku tak tahan melihatnya. Detak jantungku berpacu semakin kencang. Seperti sedang menunggang kuda dengan kecepatan tinggi membelah hutan.
Mak. Amak ndak usah khawatir. Fahri bisa menjago diri. Fahri alah gadang, Mak. Indakkah amak sanang mancaliak anak mak marantau ka nagari urang?[7]” kataku mencoba meyakinkan Amak. Dia tertunduk. Nafasnya semakin berat.
Bukan itu Nak. Manga harus ka Jakarta? Amak ndak ingin jauah dari waang. Cukuiklah Apak nan maninggaan awak [8]”.
Wajahku seperti tertampar baja panas. Aku menatap mata Amak. Matanya berkaca-kaca menahan tangis. Aku melihat seperti hujan akan turun dari mata Amak. Hujan dan badai.
Entah setan apa yang merasukiku saat itu. Dia meyakinkanku bahwa Amak akan baik-baik saja sepeninggalanku nanti. Pedih di matanya hanya luapan emosinya saat mengetahui anak semata wayangnya akan pergi jauh dari dia. Itu wajar. Semua itu akan tergantikan setelah aku sukses nanti. Dan dia akan sangat bahagia melihatku kembali dengan membawa ‘nama’. Tidak perlu meminta restunya, aku hanya perlu pergi dan buktikan.
Percakapan malam itu berakhir sunyi. Amak hanya diam. Sedang aku akan tetap pergi ke Jakarta. Menjemput mimpiku. Ku peluk tubuh Amak yang kiat mengeriput itu. Aku tak berani menatap matanya. Mata yang selalu ingin menumpahkan hujan yang membendung di dalamnya.
** Sehari setelah kedatanganku di Jakarta, semuanya masih baik-baik saja. Kami mampir ke sebuah stasiun di Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Bayu memberitahuku, tempat tinggalnya ada di sekitar sana. Aku meninggalkannya untuk pergi salat di musholla dan membiarkannya menunggu di luar. Katanya, kami akan salat bergantian. Agar barang-barang kami ada yang menjaga.
Usai salat, aku keluar menemui Bayu. Aku terperanjat melihat barang-barangku lenyap di luar musholla. Aku mencari Bayu, berteriak kemana-kemana tapi batang hidung Bayu tak kunjung muncul. Aku mulai ketakutan. Lututku lemas. Tubuhku terjatuh tepat di mana aku meninggalkan barang-barangku terakhir kali. Tanganku meraba secarik kertas yang ku temukan di sampingku. Namaku tertulis tepat di barisan atas kertas itu.
Fahri. Maafkan aku. Ini memang berat! Tapi kamu tidak akan mati karena ini. Aku pernah merasakannya. Dan aku masih bisa bertahan sampai sekarang! Ohya, aku membaca pesan di handphonemu dari keluargamu di kampung. Katanya, Ibumu meninggal karena kecelakaan tepat saat perjalanan pulang setelah mengantarmu ke Jakarta. Aku turut berduka. Bayu”. Aku meremas kertas sialan itu. Berulang kali aku menekan laju nafasku yang semakin tidak beraturan. Tiba-tiba semuanya gelap.
** Aku berjalan menulusuri gerbong kereta api yang sesak dengan para pengemis. Menghentikan air mataku yang seharian ini tak pernah berhenti. Miris. Aku laki-laki yang menghabiskan tiap detiknya menangisi hidup.
Terakhir kali aku melihat mata Amak saat ia mengantarkanku di Bandara International Minangkabau sebulan yang lalu. Mendung masih bersarang di matanya. Bergumpal ingin tumpah menjadi hujan. Ya! Mata itu.
Oh Ammakku! Sungguh aku terlalu bodoh untuk menjadi anakmu. Aku terlalu bernafsu mengejar mimpiku sampai ridho dan restumu aku acuhkan. Aku buta dengan gemerlap bayang-bayang Jakarta. Bara api kini tak hanya membakarku. Tapi juga melumatku habis! Menjadikanku debu. Aku tak punya nyali untuk kembali Ammak! Aku malu!”. Suara tangisku semakin kencang. Tubuhku bergetar hebat. Samar-samar aku mendengar suara Ammak. “Fahrii.. Fahrii..”
Aku mencari arah suara Ammak. Mataku yang sudah bengkak seperti bola ku paksa terbuka untuk mencari sosok Ammak. “Fahrii..”. suara itu terdengar lagi. Aku berdiri gemetar. Ku lihat bayang-bayang wanita berdiri di ujung gerbong yang sangat gelap. Wanita itu berdiri sambil mengulurkan tangan seakan mengajakku padanya. Aku memicingkan mata menatapnya lebih jelas. Aku tidak dapat melihat jelas wajahnya, kecuali matanya. Mata itu! Ya! Itu mata Ammak. Mata yang sama seperti sebelum aku meninggalkannya. Aku akan menyingkirkan hujan di matamu Ammak! Setengah terseok aku menuju arah Ammak. Tiba-tiba aku tersandung, dan semuanya gelap. The End





[1] Amak adalah panggilan khas orang minang untuk Ibunya. Sedangkan panggilan untuk Ayah biasanya menggunakan kata Apak.
[2] Harau adalah nama suatu desa yang ada di Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat. Harau terkenal dengan lembahnya yang sangat indah.
[3] Dunia itu tentang hidup dan mati, Nak! Ada yang lahir dan ada yang mati. Kelahiran, jodoh, rezeki dan kematianmu sudah tercatat di lauhul mahfudz jauh sebelum Amak mengandungmu. Begitu pula dengan Apak.
[4] Ada apa, Mak?
[5] Apakmu pulang, Nak. Apakmu sudah di panggil Allah. Dia titip salam sayang untuk jagoan kecilnya
[6] Belajar itu tidak hanya di bangku sekolah, Nak. Kamu bisa belajar di taman, jalan raya, masjid, bahkan di rumah. Pelajari kehidupanmu, buat orang di sekitarmu bahagia. Itu pelajaran yang sangat sedikit bisa dilewati pelajar mana pun.
[7] Amak. Amak tak perlu khawatir. Fahri bisa menjaga diri. Fahri sudah besar Amak. Tidakkah Amak senang jagoan Amak ini merantau di luar sana?
[8] Bukan itu Nak. Kenapa harus Jakarta? Amak hanya tidak ingin jauh dari kamu. Cukup sudah Apak meninggalkan kita

Wednesday 9 April 2014

Ya kan?

lelah bibir berucap
letih sudah lidah bersilat
buram. samar.
selalu saja begini

manusia tak akan hidup dalam jalur yang sama
berdiam diri diatas udara
gemuruh suara guntur tak buat gentar
dan kau selalu saja disana
mematung. mengutuk batu yang bisu

kau pikir ini kekal, sayang?
kau muak dengan bumi yang membenci tanah
hidup memang begitu.
pahit. gersang.
laksana tak ada putih bersama hitam

tapi memang harus begitu bukan?
kalau semua putih
artinya kita tidak sedang hidup di dunia.
tapi di surga. Ya kan?

Sunday 6 April 2014

Si Muka Hemat

Putri baru saja tiba dirumah setelah menghadiri kelas tahfidz al Qur'an di salah satu sekolah tahfidz bergengsi di daerah tempat tinggalnya. Gadis berperawakan mungil itu memang terkenal sebagai seorang aktivis super sibuk dikalangan teman-temannya. Kegiatannya bejibun. Dari kegiatan ngampus, kursus, aktif dibeberapa organisasi, sampai bergabung di kepanitiaan dibeberapa acara besar mahasiswa disana. Tak heran jika Putri dikenal banyak orang. Ramah, supel, dan sedikit tomboy. 

Sepulang dari tahfidz, Putri tidak langsung menuju kamar. Di hidupkannya lepi Vaio kesayangan ia yang tinggalkan di ruang tamu sebelum ia pergi tahfidz. Putri tidak berniat mengganti pakaiannya, karena ia tahu setelah ini dia masih memiliki 2 agenda lain di luar. "Online bentar, ngintip Facebook. Terus makan, terus hadir pelantikan deh" batinnya. Sambil melepas kaos kaki warna ungu bermotif bunga dari kakinya, ia memikirkan rencana menghadiri pelantikannya menjadi pengurus disalah satu organisasi mahasiwa disana.

 Sebenarnya dia punya agenda lain. Hari itu adalah hari Pemilu Legislatif. Karena dia berstatus sebagai pelajar di Luar Negeri, pemilu dilaksanakan lebih awal yaitu pada tanggal 5 April 2014. Putri bukan pengamat politik yang baik, itu lah sebabnya dia agak ogah-ogahan berpartisipasi dalam pemilu saat itu. Tapi dia tahu, nasib negara ada di tangannya. Mau gak mau ia harus memberi suara. Berapa detik kemudian jari mungil Putri sudah sibuk menekan tuts-tuts keyboard lepinya. 
"Berharap ada jemputan bus KBRI di depan kampus biar bisa ikutan nyoblos" ujar Putri berkicau di akun Twitternya. Belum lama setelah ia mengirim status pertamanya, blackberry hitamnya berbunyi 2 kali. Tanda ada pesan dari Whatsapp. 

"Put, kamu dimana? cepet gih ke depan kampus! jemputan bus buat nyoblos mau dateng!"
"hah?" Putri terbelalak. Panjang umur! batinnya. Baru saja ia berdoa semoga ada bus jemputan di depan kampus agar dia tidak perlu jauh-jauh mengejar tangkringan bus-bus jemputan ditempat yang lain, Allah  sudah mengabulkan harapan semata wayangnya itu.
"Jangan-jangan dia baru selesai baca tweetku terus langsung ngirim pesan di whatsapp" batinnya lagi sambil terkekeh. Wajah Putri berubah sumringah. Dia bergegas mengambil kaos kaki dihadapannya. Baru 10 menit yang lalu kaos kaki itu ia tanggalkan dan ia lempar ke sudut ruang tamu rumahnya, terpaksa ia ambil lagi dan memakainya. 

Dengan sigap ia membalas pesan temannya "Okeh, tunggu aku yah! Aku segera kesana!" tidak lupa ia sisipkan emotion titik dua plus bintang. Putri memasukkan beberapa bekal yang harus ia bawa untuk kegiatan hari itu. Buku catatan, alat tulis, novel, dan payung. Yup! Payung! Putri sengaja membawa payung karena hari itu terik matahari sangat menyengat. Lumayan mampu mengubah warna kulit wajah Putri kalau dia membiarkan matahari bersentuhan langsung dengan kulitnya. Meskipun sangat jarang warga masyarakat sana yang memakai payung ketika bepergian, tapi Putri tidak mau mengambil resiko pahit menjadi orang hitam dadakan. "kalaupun gak kepake, paling gak buat jaga-jaga" batinnya. Alhasil, jadilah ia berangkat dengan berbekal payung ditasnya. 

Putri berlari kecil menuju terminal bus di depan kampusnya. Sesekali ia melirik jam tangan warna hitam di tangan kanannya. Arah jarum panjang di jam tangannya menunjukkan pukul 2. Pantas saja terik matahari makin menyengat. Untuk mengurangi panas terik matahari, ia memakai kacamata hitam yang baru ia beli beberapa hari yang lalu. Untung saja rumahnya tidak terlalu jauh dengan lokasi kampus. Putri hanya butuh jalan kaki 2-3 menit untuk mencapai terminal. Terlalu ribet rasanya jika ia harus memakai payungnya untuk jarak sedekat itu. 2 menit kemudian, Putri sudah bergabung bersama teman-temannya yang lain. Mereka memiliki tujuan yang sama, nyoblos!

***

Akhirnya rombongan bus yang Putri tumpangi sampai di depan gerbang KBRI (Kedutaan Besar Republik Indonesia). Lokasi untuk pemilu ini memang sengaja di pusat di satu tempat saja. Oleh karena itu, pihak KBRI menyediakan jemputan bus di beberapa tempat untuk memudahkan transportasi kesana.

Suasana cukup meriah. Rombongan Putri disambut oleh panitia setempat dan diarahkan menuju lokasi pemilu sesuai nomor urut TPS (Tempat Penmungutan Suara). Masing-masing memisahkan diri menuju lokasi TPS yang tertera di surat undangan berlogo burung garuda di pojok kanan atas amplopnya. Putri menarik tangan Dini, teman satu kampusnya. 
"Din, gimana nih! Aku kan gak bawa surat undangannya. Gak usah  nyoblos aja kali ya?" Ujar Putri terlihat was-was.
"tapi kamu bawa paspor kan?"
"bawa!"
"yasudah, itu juga udah cukup kok! InsyaAllah boleh. Nanti kita tanya kamu TPS nya dimana" Sahut Dini menenangkan Putri. 
Hampir saja Putri memutuskan untuk tidak ikut memilih sekalipun sudah sampai di tempat. Sebelum naik bus dia memang sudah mengingatkan Dini tentang hal itu. Tapi Dini meyakinkan bahwa surat undangan itu bukan  menjadi prioritas dalam pemilu kali ini. Yang penting bawa paspor, katanya. 

Putri menunggu Dini selesai nyoblos agar bisa menemaninya mencari lokasi TPSnya. Dia duduk di deretan kursi tunggu yang sudah disediakan di masing-masing TPS. Sambil menunggu, Putri memutuskan menghampiri petugas TPS yang menjaga disana dan menanyakan lokasi TPS untuknya. Setelah menyerahkan paspor, petugas itu memeriksa nomor paspor Putri di leptop yang ada didepannya dengan wajah serius. 
"Lokasi TPS Mb Putri yang nomor 6 yah! Mba jalan aja ke arah sana, belok kanan. Nanti kalau ada gedung putih diatasnya ada burung garudanya. Nah, disana TPS 6!" kata petugas itu sambil tersenyum ramah.
Putri membalas tersenyum ramah dan menunduk hormat laiknya salam hormat masyarakat jepang ketika bertemu dengan rekannya. Dia mencari Dini yang tampaknya sudah selesai dengan urusannya. Sebelum pergi, Putri menyempatkan mengucapkan terimakasih kepada petugas yang membantunya mencari lokasi TPS itu. 

***

Finally, selesai juga nyoblos kali ini! Putri tersenyum sumringah. Dia berjalan sambil menggosok bekas tinta dijari kelingking tangan kirinya. Ini kali pertama bagi Putri ikut pemilu luar negeri. Putri memang tidak pernah menyukai politik, dunia politik dan segala sesuatu yang berhubungan dengan politik. Baginya politik itu hanya sekedar wadah untuk mengubah orang baik menjadi buruk dan yang buruk menjadi semakin buruk. Politik di matanya tidak bisa lepas dari kata korupsi. Ya! di mana ada politik, disitu korupsi menjamur. Entah apa yang membuat Putri berpikir seperti itu. Selama 20 tahun masa hidupnya, setidaknya cuma itu yang ia pikirkan setiap kali ditanya tentang politik.

Putri berusaha menyembunyikan pilihannya di hadapan teman-teman yang lain. Dia hanya ingin bersikap netral. Tidak terlibat dalam partai manapun. Baginya, cukup dia dan Allah yang tahu siapa pilihannya. Dan InsyaAllah ia memilih pilihan yang terbaik menurutnya diantara yang lain. Sempat ia ditanya oleh salah satu temannya yang merasa heran melihat Putri mau berpartisipasi dalam pemilu kali ini.
"Put, kamu mau berangkat nyoblos di KBRI gak ntar?" tanya Eva teman satu fakultasnya. Putri dan Eva sering bertukar pikiran ketika mereka berdiskusi. Mereka memang suka berdiskusi, dari hal yang mendasar, tentang diktat kuliah sampai mendiskusikan hal-hal yang tidak masuk akal.
"Kayaknya sih iya" jawab Putri sekenanya.
"Emang kamu mau milih siapa? Aku?" sambung Eva lagi. Dia nampak bahagia bisa mengerjai temannya itu.
"Aku milih yang fotonya paling caem disana" sahut Putri rada sewot. 
"Emang ada gambarnya? disana cuma ada gambar partai,nomor dan nama calegnya doang kok!" Ujar Eva terbahak merasa berhasil menjaili Putri. Yang dijaili hanya bisa menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Putri mencari Dini yang menunggunya di kursi tunggu TPS 6. Mereka berjalan menuju tempat penukaran kupon makan. Tidak hanya bus jemputan, pihak KBRI juga menyediakan makanan berat yang bisa di dapat jika sudah mendapat kupon makan setelah mencoblos. Mereka juga menyediakan doorprice yang tidak kalah menarik. Handphone, flashdisk, harddisk, modem, notebook bermerk Asus, sampai leptop dengan merk HP juga ada. Warga Indonesia mana yang tidak pasang mupeng (muka pengen) melihat sederetan doorprice itu. Tapi doorprice itu tidak dikeluarkan secara cuma-cuma loh!. Tentu saja ada udang di balik batu. Butuh sesuatu yang besar untuk menarik perhatian orang banyak. Dan doorprice itu sukses menarik orang-orang yang sebelumnya enggan berpartisipasi menjadi mau meluangkan waktu mereka untuk menjawab panggilan negara itu. 

***

Putri mengunyah suapan terakhir dari nasi kotak yang ada di tangannya. Dia melirik Dini yang masih khusyuk menikmati nasi kotak miliknya. Putri menunggu Dini sambil menikmati percakapan dengan teman-teman yang kebetulan makan bersamanya di lokasi yang sama. Suasana sangat meriah. Alunan musik dangdut dari Rhoma Irama menambah keeksotisan suasana disana. Seperti berada di Indonesia, meskipun saat itu mereka sedang berada di luar negeri. 

Aktivitas mereka terhenti setelah seorang bapak paruh baya menghampiri mereka. Dia berdiri tepat disamping kursi dimana Putri duduk. Dia menggenggam handphone bermerk apple di tangan kanannya. Seperti dia baru selesai mendokumentasikan suasana pemilu. 
"Kalian semua dari mana ya?" tanyanya membuka percakapan.
"Kami dari Padang Pak!" celetuk salah seorang disana. Kebetulan semua yang ada disana memang dari Padang kecuali Putri. Tapi karena Putri juga belajar bahasa daerah Padang yaitu bahasa Minang, akhirnya dia memberanikan diri mengaku orang Padang juga. 
Percakapan terjadi di antara mereka. Bapak paruh baya itu menanyakan beberapa hal kepada Putri dan teman-temannya. Dari masalah asrama, sampai ke biaya bayar kost. Suasana hangat, sesekali terdengar tawa renyah mereka. Putri hanya menimpali sesekali sambil menatap lekat wajah bapak itu. "wajahnya gak asing. tapi liat dimana ya?"  batin Putri mencoba mengingat wajah yang berdiri didepannya itu. Putri mengerahkan semua usaha untuk mengingat dengan baik tapi usahanya nihil. Lamunannya buyar ketika bapak itu mulai bicara dengannya.

"Kok ini wajahnya hemat?" ucap bapak itu mengagetkan Putri. Dia menatap Putri ramah sambil ternyum. Putri yang merasa kaget hanya tertawa pelan sambil menjawab pertanyaan bapak itu dengan sedikit candaan.
"maklum Pak, masih 15 tahun" sahut Putri.
"Ah masa? berarti gak  bisa nyoblos dong?" raut wajah bapak itu terlihat sedikit terkejut. Cepat-cepat Putri menyela agar suasana mencair lagi.
"Gak kok Pak! saya becanda. Umur saya sih boros, tapi Alhamdulillah muka saya hemat" Ujar Putri lagi. Bapak paruh baya itu tertawa keras. Sikap supel Putri berhasil membawa suasana semakin hangat. Putri hanya tersenyum ketika mendengar bapak tua itu mengatakan bahwa 'muka hemat' nya itu membuat dia terlihat belum cukup umur untuk ikut pemilu Indonesia. Meskipun sebenarnya dia sangat sudah pantas ikut pemilu karena umurnya sudah memasuki 20 tahun di tahun ketiga di menjadi mahasiswi.

Putri tidak bisa menahan rasa penasarannya ingin mengetahui siapa gerangan bapak tua yang sedang berdiri di hadapannya itu. Rasa supel dan sikapnya yang kadang ceplas ceplos itu mendorong dia untuk memberanikan diri bertanya langsung.
"Maaf sebelumnya Pak, ini dengan bapak siapa ya?" tanya Putri. Dari awal memang dia yang paling sering berinteraksi dengan bapak itu. Terutama ketika mereka membahas tentang 'Muka Hemat'. Putri berusaha memoles bahasanya sehalus mungkin untuk bertanya kepada yang lebih tua, tidak lupa ia tersenyum saat bertanya. 

Semua orang terdiam. Untuk beberapa detik tidak ada suara disana. Orang-orang di sekitar Putri tegang melihat tingkah Putri yang kadang memang susah di tebak. 
Bapak tua itu tersenyum dan sambil menjawab "Saya Pak Mahmud"
Alamak! Putri terdiam! muka hematnya merah padam menahan rasa malu. Siapa sih yang gak kenal Pak Mahmud? Bapak Duta Besar KBRI di sana. Semua mata tertuju kepada Putri. Mereka yang sebelumnya memang sudah mengetahui identitas Pak Mahmud hanya terdiam menahan tawa. Antara gemas dan malu juga. Putri terdiam mati kutu untuk beberapa detik. Dia memeras otak mencoba mengalihkan pembicaraan agar tidak terkesan dia benar-benar tidak tahu siapa bahwa yang berdiri di depannya adalah Pak Mahmud.

"Saya becanda Pak! Sebenarnya saya mau tahu aja, biasanya kan kalau orang seperti bapak ditanya nama pasti gak mau nyebutin nama dengan jelas" sambung Putri lagi. Yes! pasti ini jawaban paling garing yang bisa Putri keluarkan saat itu, batin Putri. Putri tidak bisa menyembunyikan muka hematnya yang kini pasti terlihat mendadak boros karena terbakar rasa malu. Pak Mahmud hanya tertawa. 
"ya, seharusnya tadi saya jawab kalau nama saya Pak Tomi yah!" ujarnya lagi sambil terkekeh. Semua yang ada di sana tertawa. Lebih tepatnya, tertawa yang dipaksakan. Beberapa detik kemudian Pak Mahmud undur diri dan menjauh dari kumpulan Putri dan teman-temannya.

Putri sudah tidak ingat kalimat terakhir Pak Mahmud sebelum dia pergi. Dia merasa benar-benar sudah melakukan hal memalukan di awal tahun 2014 ini. Beberapa detik setelah Pak Mahmud pergi, semua mata tertuju pada Putri. Tatapan yang sulit di tebak. Putri hanya cengengesan dan menutup telinga ketika serempak mereka berteriak "Putriiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii!!"

***

Kisah 'muka hemat' menjadi tranding topic sepanjang jalan pulang di antara Putri dan teman-temannya. Dini hanya tertawa melihat kelakuan aneh temannya itu. Gemas, kesal, dan kagum juga melihat sikap berani Putri bertanya langsung kepada pejabat negara. Biasanya rakyat Indonesia hanya bisa tersenyum, berbicara dengan sopan dan kadang bersikap terlalu berlebihan ketika bertemu dengan pejabat negara. Apalagi taraf internasional. Tapi tidak dengan Putri. Pertanyaan itu berhasil membuat pukulan telak bagi Putri dan juga bagi Pak Mahmud sebagai Duta Besar Indonesia di sana. 

Sepanjang jalan Putri lebih banyak diam memikirkan kejadian yang baru saja ia alami. Dia menarik kesimpulan untuk dirinya agar lebih melihat kondisi lagi sebelum mengajak kenalan orang lain. Sekalipun apa yang ia lakukan tidak sepenuhnya salah. Toh, apa salahnya bertanya nama kepada sesama manusia? Yang membedakan hanya jabatan. Dan jabatan dunia itu tidak bertahan lama. Tapi Putri tetap merasa bersalah kepada teman-teman yang ia libatkan saat itu.

Putri memang tidak pernah bertatap muka langsung dengan Bapak Dubes KBRI disana. Dia hanya hafal nama beliau dengan baik saat beberapa kali ia terlibat kepanitiaan dan mengajukan proposal permohonan dana kepada beliau. Tapi wajah itu tidak asing lagi bagi Putri saat pertama kali ia bertemu. Putri mencoba menyeleksi jutaan memori di otaknya, barangkali dia bisa menemukan satu memori saja yang dapat menceritakan pertemuannya dengan Pak Mahmud sebelum itu. Usahanya nihil. Mungkin dia pernah melihat wajah Pak Mahmud di salah satu foto, brosur, dan sejenisnya. Tapi tidak bertatap muka langsung seperti kejadian itu. 

Beberapa temannya mencoba menghibur dengan mengatakan sikap Putri tadi bisa menjadi teguran juga buat para pejabat pemerintah. Bahwa mereka di beri amanah tidak hanya untuk duduk santai di rumah, memperhatikan sesama pejabat saja, keliling dunia menikmati uang rakyat, atau malah pergi rekreasi saat rakyat butuh mereka. Adakalanya mereka harus terjun langsung melihat kondisi rakyatnya. Tidak menutup kemungkinan, masyarakat di suatu desa terpencil di Indonesia bahkan tidak tahu siapa presiden Negara mereka. Ya kan?

The End

Pelajaran yang sangat menarik di hari Pemilu Legislatif 5 April 2014.
Ini kisah nyata yang dikutip dari salah seorang mahasiswi pada saat proses Pemilu Legislatif  5 April 2014
Nama tokoh sengaja disamarkan.

Saturday 5 April 2014

Senyum Indah di Doha

Padahal ini bukan kali pertama aku menaiki burung besi seumur hidupku. Tapi untuk kali ini, tetap saja ketar ketir rasanya menunggu pesawat Qatar Airwaysyang akan aku tumpangi take off dan membawaku ke daerah yang bernama Doha. Transit sejenak sebelum melanjutkan kembali ke tanah air yang aku rindukan, Jakarta.
Rasanya seperti hidup dalam dunia mimpi. Dimana aku bisa tetap hidup ketika aku terus bermimpi. Walau itu hanya sekedar mimpi biasa. Bak datangnya seorang peri kepadaku, menawarkan jutaan mimpi-mimpi indah. Seakan itu semua bisa aku gapai. Mimpiku, bukan mimpi orang lain. Tapi memang mimpi ini lah yang membawaku kesini. Menikmati indahnya panaroma ciptaan Sang Maha Kuasa dari atas langit. Terbang bersama si burung besi, ah sudah 2 tahun rupanya. Hampir lupa bagaimana rasanya mengudara.
            Tentu saja aku gembira, rasanya sudah tak sabar melihat hamparan hijau ibu pertiwi. Merasakan rintik hujan, larut bersama gemuruh derasnya hujan, menikmati indahnya lautan Indonesia, pegunungan, semua yang ada pada Indonesia yang tidak di miliki Negara lain. Tapi juga aku sedih meninggalkan negeri Para Nabi ini. Tempat aku menuntut ilmu di Universitas Islam tertua di dunia, Al Azhar. Siapapun pasti tau dan pernah mendengar nama yang sudah popular itu. dan aku bangga bisa menjadi salah satu pelajar disana. Meski pertemuanku dengan Mesirku baru berumur 2 tahun, tapi pergi meninggalkannya seperti pergi meninggalkan kampung halaman sendiri. Sedih, hampir sama seperti meninggalkan separuh hatiku.
            Sekarang aku sudah di Doha International Airport. Transit selama kurang lebih 11 jam. Waktu yang tidak sebentar untuk membuat seseorang membusuk karna bosan. Yah, tidak ada yang bisa aku lakukan selain memperhatikan orang-orang yang mondar mandir sambil menyeret koper-koper mereka. Unik. Dari koper yang super antik, sampai koper atau tas yang sudah bisa di tebak pasti di beli di pasar loakan disudut desa. Mereka tidak mungkin peduli dengan aku yang bosan menunggu waktu, atau aku yang sudah mulai kelaparan. “Urusanmu ya urusanmu, bukan urusanku”. Mungkin begitu batin mereka. Sama seperti aku yang selalu membatin tiap kali melihat tingkah aneh dari para penumpang lain.
            Kadang aku berpikir, rasanya aku sedang berada dalam salah satu mimpi dari ribuan daftar mimpi indahku. Tapi faktanya memang begini. Ah, Indonesia! I’m coming!
            Dalam perjalanan yang panjang ini, tidak lupa aku panjatkan doa untuk semua mahasiswa dan pelajar Indonesia yang ada di Mesir. Semoga kuliah kita semua lancar. Mendapat predikat sempurna dalam ujian kita. Yang akan wisuda segera wisuda, yang masih ma’had segera bisa kuliah, yang menanti pengumuman kenaikan kelas diberi kabar kenaikannya dengan gembira, dan segera bisa berbakti kepada ibu pertiwi.
            Dan semoga aku bisa bertemu dengan Abah, Mama, dan keluargaku dalam keadaan sehat wal alfiat. Bisa berbakti kepada mereka meski hanya diberi waktu 3.5 bulan. Dan menjadi liburan yang penuh berkah. Amin Amin ya Rabbal ‘Alamin.
Doa tulus untuk keluarga dan semua sahabat yang setia menemani hariku. Syukron katsiro, jazakumullah ahsanul jazaa’.
Memoar Doha, 8 juli 2013.

Gemuruh ombak sadarkan sombongku

Bagai berdiri angkuh di tengah padang pasir yg gersang
Tersenyum serakah menatap dunia
Mengangkat dagu tanpa sok tahu
Berdiri tegap melewati kerumunan manusia yg memeluk lutut mereka

Membentang tangan menatap langit yg luas
Seakan kebahagiaan ini tak berujung
Tertawa lepas dan  tersenyum bebas
Menantang dunia bermain teka-teki kehidupan

Merasa bangga bisa menggenggam bara api
Tanpa menyadari tangan yg melepuh
Merasa bangga berjalan di atas duri
Tanpa menyadari kaki yg berdarah
Merasa bangga telah di sanjung
Tanpa menyadari ternyata di singgung
Merasa bangga terbang melayang dg senyum mengambang
Tanpa menyadari itu hanya mimpi yg membawa petaka

Langit itu memang luas
Tak berujung seluas mata memandang
Tak tercapai setinggi tangan menggapai
Tapi langit itu akan mendung
Bahkan akan menangis melihatmu

Menangisi keangkuhanmu.