Pages

Thursday 26 November 2015

Baik boleh, tapi jangan terlalu baik!


Gaes, sebelumnya selamat malam dulu, lah! 
Long time no tulis curhat di sini. Entah karena kegiatan yang seabrek, atau fasilitas yang tidak memadai. Semenjak dipinjamkan si layar lebar ini, jadi nulis di sini lagi, deh! Well, 

Saya paham, Gaes! kehidupan ini terlalu singkat untuk digunakan saling menyalahkan. Manusia gak ada yang sempurna. Gak yang yang paling benar. Yang paling dan Maha Benar hanya Allah saja, kita? mending banyakin istighfar dulu aja! ya toh?

Kalau saya sih, entah mengapa kata sahabat saya , saya orangnya suka menyalahkan diri sendiri. Saat merengungi masalah, selalu saja yang keluar 'Iya, saya kok yang salah." Karena saya selalu merasa, kesalahan yang saya munculkan dari sikap saya lebih banyak daripada pihak lawan. Akhirnya sering muncul pikiran "Coba saya gak gini, pasti gak gitu!". "Coba saya tadi kaya gitu aja, pasti gak gini jadinya". "Ya, salah saya sih pake giti segala, jadinya gutu semua!" Darimanapun datangnya masalah, pikiran saya selalu begitu. Pokoknya rempong banget jalan pikir saya kalau lagi dalam keadaan begini, Gaes!

Malam ini saya baper sekali, Gaes! Kesal bercampur greget sama orang. Sebut aja dia D. Dia orang yang lagi dekat sama sahabat saya. Suatu hari saya berniat membantu si D untuk melancarkan urusannya di tempat saya bekerja. Karena saya agak kenal dengan atasan saya, saya mengendus aroma urusan dia akan berakhir gagal. Well, saya beri tahu dia sebuah informasi yang waktu itu belum banyak yang tau -bukan berarti rahasia juga- tentang posisi atasan saya di kantor. 
Alih-alih dapat tanggapan yang baik, omongan saya tak diindahkannya, Gaes! Dia percaya dengan apa yang dia yakini, bahwa urusannya akan baik-baik saja. 

Oke, saya biarkan saja. Waktu terus berjalan, saya tetap merasa urusannya akan berakhir gagal, Gaes! Akhirnya saya coba menghubungi salah satu atasan -bukan atasan paling atas- dan menanyakannya, well bener, Gaes! jawaban atasan saya yang satu ini mengamini feeling indra keenam saya! Urusan dia gak nemu ujungnya! Ngawang di langit gak sampe alamat tujuan!

Sebagai seorang yang mengenal dia dari sahabat saya, entah kenapa hati baik saya sedang berkuasa saat itu untuk membantu dia. Tapi saya gak tau gimana cara bantunya. Sedang saya gak tau masalahnya gimana. Setelah saya jelaskan -dengan bahasa saya yang, yaa begitulah!" masalah lain muncul, Gaes! Urusan mereka benar-benar di ujung langit! Jauuh dari kata lancar. Persis seperti yang saya prediksikan. Tapi inti masalahnya buat saya bukan itu, tapi sikap si D yang menyalahkan saya!

Oh God! saya benar-benar shock saat mereka semua nyalahkan saya, Gaes! Malah saya dibilang nyalahin mereka. hmm.. nyalahin dari sisi mana? 

Saya jadi mikir, Gaes! Saya kan gak mungkin menyalahkan kebaikan hati saya. Ia suci, Gaes! Udah fitrah manusia itu baik. Tapi mungkinkah salah tempat? Harusnya saya gak usah bantuin. Gak usah ngasih informasi. Gak usah ikut campur. Meski punya feeling urusannya bakal kacau, yaudah biarkan saja. Toh, urusannya kan? Jadi kebaikan hati saya saat itu, saya tempatkan di akhir cerita saja. Saat mereka marah dan putus asa, saya berbaik hati bilang "Yang sabar ya, Mas!"

Tapi ya sudahlah! Sudah mainstream bilang 'nasi sudah menjadi bubur' meskipun nasi juga bisa jadi nasi goreng. Saya cuma bisa bilang 'air sudah menjadi susu'. Biarlah mereka kesal ke saya, benci, dan menyalahkan saya. Allah tahu apa yang saya maksud. 

Lagi-lagi saya begini, Gaes! Meski saya kesal, saya gak benar-benar bisa menyalahkan si D. Kita anggap saja ini salah saya. Salah menempatkan kebaikan. Ada banyak pelajaran yang saya dapat dari kejadian ini. Salah satunya; 
"Birokrasi negara gak bisa pake hati polos dan gak tegaan sama orang"
Well, honestly kejadian ini benar-benar membekas di hati, Gaes! Malam saat si D bilang kalau dia dan teman-temannya merasa dipermainkan atasan saya, lalu mulai menyeloteh banyak hal, kasar, dan menyalahkan saya yang katanya menyalahkan mereka, saya nangis, Gaes! Saya benar-benar sedih dan miris. Saya merasa, mereka memvonis saya yang jauh dari apa yang saya niatkan dari awal, membantu saja. Saya gak punya kepentingan terselubung di dalamnya. Tapi saya juga bersyukur, dan berterimakasih pada si D. Berkat dia, saya bisa belajar lebih hati-hati menempatkan kebaikan. Jangan sampai hati suci saya ini, menangis lagi karena salah tempat, hiks!

Eh, tapi kadang saya juga mikir setelah malam dia ngomel panjang lebar. Coba seandainya saya gak masuk urusan mereka, gak bantu apa-apa, dan urusan mereka berantakan begini, kira-kira si D meluapkan rasa marahnya ke siapa ya? XD wkwkwk
Mungkin saat itu, saya sedang sial!






Tuesday 24 November 2015

Menjaga Rahasia Rumah Tangga dan Memelihara Rasa Malu

Menjaga Rahasia Rumah Tangga dan Memelihara Rasa Malu


Sudah menjadi fitrah manusia memiliki sesuatu yang baik dan buruk. ada yang ingin diperlihatkan, ada yang ingin disembunyikan. Seperti halnya berpakaian, di beberapa bagian tak mengapa jika ia dilihat oleh orang lain, tapi bagian tertentu ia tak boleh sekalipun nampak di mata. Sebab jika terjadi, ia sama saja telah menampakkan aibnya sendiri.

Allah Swt menciptakan aib bagi hambanya bukan untuk menurunkan derajat hambanya, melainkan untuk mengajarkan kepada manusia bahwa mereka tidak lepas dari khilaf dan salah. Agar mereka dapat memetik pelajaran dari hal memalukan yang pernah mereka alami. Dengan aib tersebut, mereka akan memiliki rasa malu terhadap Allah Swt dan sesamanya. Disamping itu, Allah Swt memerintahkan agar umat islam menjaga aibnya, bukan malah menyebarkannya.

Begitupula dalam kehidupan berumah tangga. Allah Swt mengajarkan kepada sepasang suami istri agar bisa menjaga aib keluarga dari orang lain. Seperti keburukan yang dimiliki pasangan, atau cacat fisik yang dimiliki salah satunya. Selain itu, sepasang suami istri juga memiliki privasi yang harus mereka jaga bersama, saling menjaga ibarat satu tubuh yang dikendalikan bersama, jika membuka aib salah satunya, sama saja membuka aibnya sendiri.

Lalu bagaimana jika menceritakan hubungan suami istri ( bersetubuh ) kepada orang lain?

Agama islam melarang keras menceritakan hubungan terhadap orang lain. jangankan khalayak umum, islam mengajarkan agar orang tua agar menjaga privasi di hadapan anak-anaknya. Dijelaskan dalam surat An-Nuur : 58 tentang 3 waktu para budak dan anak-anak   harus meminta izin mengetuk pintu kamar suami istri jika ingin masuk. Allah berfirman :

58. Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum balig di antara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari) Yaitu: sebelum sembahyang subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar)mu di tengah hari dan sesudah sembahyang Isya'. (Itulah) tiga 'aurat bagi kamu[1047]. tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu[1048]. mereka melayani kamu, sebahagian kamu (ada keperluan) kepada sebahagian (yang lain). Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Jika di dalam rumah saja, Allah Swt memerintahkan untuk menjaga aurat dan aib suami istri, bagaimana dengan menceritakan hubungan suami istri di kantor, kampus, atau bahkan di social media?

Rasulullah Saw bersabda :
إِنَّ مِنْ أَشَرِّ النَّاسِ عِنْدَ اللَّهِ مَنْزِلَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ الرَّجُلَ يُفْضِى إِلَى امْرَأَتِهِ وَتُفْضِى إِلَيْهِ ثُمَّ يَنْشُرُ سِرَّهَا
“Sesungguhnya manusia paling buruk kedudukannya di sisi Allah pada hari kiamat adalah laki-laki yang berhubungan dengan istrinya dan istrinya pun berhubungan dengannya, kemudian ia menyebarkan rahasianya” (HR. Muslim)
Rasulullah Saw menjelaskan bahwa barangsiapa yang menyebarkan hubungan suami istri kepada orang lain, mereka akan mendapatkan kedudukan paling buruk di sisi Allah Swt, yang berarti mereka sengaja menjauhkan diri dari rahmat Allah Swt di hari kiamat kelak sedang adzab di hari kiamat itu sangat pedih.
Mari kita simak, kisah percakapan Rasulullah Saw dengan para sahabatnya. Rasulullah pernah selepas shalat menghadapakan wajah beliau kepada jamaah kemudian bersabda:
مَجَالِسَكُمْ هَلْ مِنْكُمْ إِذَا أَتَى أَهْلَهُ أَغْلَقَ بَابَهُ وَأَرْخَى سِتْرَهُ ثُمَّ يَخْرُجُ فَيُحَدِّثُ فَيَقُولُ فَعَلْتُ بِأَهْلِى كَذَا وَفَعَلْتُ بِأَهْلِى كَذَا
“Duduklah! Apakah seseorang di antara kalian jika menjima’ istrinya di dalam kamar tertutup lalu setelah itu ia keluar dan menceritakannya kepada orang lain ‘aku telah berbuat begini dengan istriku, aku telah berbuat begitu dengan istriku”
Semua sahabat diam. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menghadapkan wajahnya pada jamaah wanita lalu melanjutkan sabdanya:
هَلْ مِنْكُنَّ مَنْ تُحَدِّثُ
“Adakah salah seorang di antara kalian bercerita begitu?”
Seorang anak gadis Ka’ab bangkit berdiri dan menoleh ke sana kemari agar Rasulullah dapat melihat dan mendengarnya. Ia pun lantas mengatakan, “Demi Allah, sesungguhnya wanita pun biasa bercerita begitu”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
هَلْ تَدْرُونَ مَا مَثَلُ مَنْ فَعَلَ ذَلِكَ إِنَّ مَثَلَ مَنْ فَعَلَ ذَلِكَ مَثَلُ شَيْطَانٍ وَشَيْطَانَةٍ لَقِىَ أَحَدُهُمَا صَاحِبَهِ بِالسِّكَّةِ قَضَى حَاجَتَهُ مِنْهَا وَالنَّاسُ يَنْظُرُونَ إِلَيْهِ

“Apakah kalian tahu bagaimana perumpamaan orang yang berbuat demikian? Sesungguhnya orang yang berbuat demikian seperti setan jantan dan setan betina. Setan itu menjima’ betinanya sambil disaksikan banyak orang di tempat terbuka.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad)
Ketahuilah, salah satu perumpamaan paling  buruk adalah disamakan dengan para musuh Allah Swt yaitu para Iblis dan Syaitan yang telah dilaknat oleh Allah Swt dan diharamkan bagi mereka menyentuh surga. Rasulullah Saw juga menyebutkan dalam sabdanya, bahwa sikap terang-terang atau tidak merasa malu ketika menceritakan sebuah keburukan dan aib adalah suatu keburukan yang mendapat balasan neraka.

Dari Abi Hurairah; dari Rasulullah Saw beliau bersabda : Malu adalah bagian dari Iman dan Iman berada dalam surga. Sikap terang-terangan (dalam perbuatan maksiat dan tidak memiliki rasa malu) adalah keburukan, dan keburukan berada di Neraka.” ( HR. at Tirmidzi)

Bagaimana mungkin seseorang mau kehilangan rasa malunya menceritakan rahasia hubungan suami istrinya bersama para rekannya di kantor, atau di kampus, atau di social media yang bisa dibaca semua orang hanya untuk hiburan atau bahan cadaan, sedang rasa malu yang dia miliki adalah wibawanya di hadapan yang lain. Seringkali umat manusia telah kehilangan satu sifat berharga yang Allah Swt ciptakan untuk menghiasi kehidupan, yaitu rasa  malu. Naudzubillahi min dzalik!  

Menilisik kata malu lebih dalam, ada 6 hikmah rasa malu dalam kehidupan sehari-hari :

Pertama : Malu adalah sebagian dari iman.
Rasulullah Saw berulang kali mengingatkan agar para sahabatnya menjaga rasa malu mereka. diantaranya beliau bersabda :

عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - مَرَّ عَلَى رَجُلٍ مِنَ الأَنْصَارِ وَهُوَ يَعِظُ أَخَاهُ فِى الْحَيَاءِ ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - دَعْهُ فَإِنَّ الْحَيَاءَ مِنَ الإِيمَانِ
Dari Salim bin Abdullah dari ayahnya ia berkata; “Rasulullah Saw lewat di hadapan seorang Ansar sedang mencela saudaranya karena saudaranya pemalu. Maka Rasulullah Saw bersabda “Biarkan dia! Sesungguhnya malu itu sebagian dari iman.” (HR; Imam Bukhari )
Dalam riwayat lain Rasulullah Saw bersabda :
"إِنَّ الْحَيَاءَ شُعْبَةٌ مِنْ الْإِيمَانِ"
Yang artinya :“Sesungguhnya malu adalah cabang dari iman.”

Kedua : Malu adalah kebaikan dan wibawa.
Dikutip dari kitab Mukhtasharah Shahih Imam Bukhari :
عَنْ أَبي السَّوَّارِ العَدَويِّ قالَ: سَمِعْتُ عِمْرانَ بْنَ حُصَيْنٍ قالَ: قالَ النبيُّ - صلى الله عليه وسلم -:
"الحَيَاءُ لا يأْتي إِلا بِخَيْرٍ"، فَقَالَ بُشَيْرُ بْنُ كَعْبٍ: مَكْتُوبٌ في الحِكْمَةِ: إِنَّ مِنَ الحَيَاءِ وَقَاراً، وَإنَّ مِنَ الحَيَاءِ سَكِينَةً، فَقالَ لَهُ عِمْرانُ: أُحَدِّثُكَ عَنْ رَسولِ اللهِ - صلى الله عليه وسلم -، وَتُحَدِّثُني عَنْ صَحِيفَتِكَ؟! مختصرة صحيح الامام البخاري 2364- 4/86
Dari Abi as Sawwar al ‘Adawi berkata, aku telah mendengar Imran bin Hushain r.a berkata : “Nabi Muhammad Saw bersabda ‘Malu tidak mendatangkan kecuali kebaikan’. Lalu Busyair bin Ka’ab berkata: ‘Tertulis dalam berkataan bijak; sesungguhnya sebagian dari malu itu adalah kewibaan dan sesungguhnya sebagian dari malu adalah ketenangan’. Imran bin Hushain menanggapinya; ‘Aku meriwayatkan kepadamu hadits dari Rasulullah Saw malah kamu meriwayatkan dari lembaran-lembaranmu.”

Ketiga : Malu adalah akhlak seorang muslim.

Rasulullah Saw bersabda :

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: "إِنَّ لِكُلِّ دِينٍ خُلُقًا، وَخُلُقُ الْإِسْلَامِ الْحَيَاءُ"
Sesungguhnya setiap agama memiliki akhlak dan akhlak agama Islam adalah rasa malu”. ( Sunan Ibnu Majah)

Keempat : Malu dan Iman tidak dapat dipisahkan.

Rasulullah Saw bersabda :
عن ابن عمر قال: قَالَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - « إنَّ الْحَيَاءَ وَالإِيمَانَ قُرِنَا جَمِيعًا ، فَإِذَا رُفِعَ أَحَدُهُمَا رُفِعَ الآخَرُ»

Artinya: “Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya sifat malu dan iman bergandengan selalu, jika diangkat salah satunya, maka niscaya diangkat yang lain.” HR. Al Hakim dan Bukhari dalam kitab Al Adab Al Mufrad dan dishahihkan oleh Al Albani di dalam kitab shahih Al Adab Al Mufrad, 1313/991.

Kelima : Malu adalah perisai dari keburukan

Sifat malu akan menjaga seseorang dari berbuat perbuatan keji, berbuat maksiat, dan mengumbar aib di hadapan orang lain. Rasulullah Saw bersabda :
عَنْ أَنَسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « مَا كَانَ الْفُحْشُ فِى شَىْءٍ قَطُّ إِلاَّ شَانَهُ وَلاَ كَانَ الْحَيَاءُ فِى شَىْءٍ قَطُّ إِلاَّ زَانَهُ ».
Dari Anas bin Malik R.a meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda “Tidaklah pernah perbuatan keji/kotor ada pada sesuatu kecuali akan memburukkannya dan tidaklah pernah sifat malu ada pada sesuatu kecuali akan menghiasinya.”

Keenam : Malu mengantarkan pada Surga-Nya

Dikutip dari kitab ‘Mawarid adz Dzam’aan ila Rawaid Ibn Hibban  nomor 1929 juz 6 hal 207

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنْ رَسُولِ الله -صلى الله عليه وسلم-قَالَ: "الْحَيَاءُ مِنَ الإِيمَانِ، وَالإيمَانُ فِي الْجَنَّةِ. وَالْبَذَاءُ مِنَ الْجَفَاءِ، وَالْجَفَاءُ فِي 
النَّارِ"
Dari Abi Hurairah; dari Rasulullah Saw beliau bersabda : Malu adalah bagian dari Iman dan Iman berada dalam surga. Sikap terang-terangan (dalam perbuatan maksiat dan tidak memiliki rasa malu) adalah keburukan, dan keburukan berada di Neraka.” ( HR. at Tirmidzi)

Allah Swt berfirman  dalam surah An-Nuur : 19

19. Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang Amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. dan Allah mengetahui, sedang, kamu tidak mengetahui."

Menjaga aib pasangan dihadapan orang lain adalah suatu kewajiban. Jima’ atau hubungan suami istri merupakan aurat bagi pasangan yang sudah menikah. Menceritakan apa yang telah ia lakukan selama berhubungan dengan pasangannya adalah perbuatan yang keji dan sia-sia. Semoga Allah Swt senantiasa menghiasi hari-hari kita dengan amalan yang bermanfaat dan menjauhkan kita dari kesia-siaan. Amin ya rabbal ‘alamin.


 Wallahu a'lam bi ash-shawab

Wednesday 10 June 2015

Gula Garam Sahabat

Gula-Garam-Sahabat. Salah satu pembicaraan yang tidak pernah bertemu ujungnya itu adalah persahabatan. Banyak orang yang bilang, persahabatan itu lebih dari sekedar berteman. Teman itu belum tentu sahabat, tapi sahabat sudah pasti ia teman. Saya setuju, dunia ini tidak melulu diisi oleh cinta. Permasalahan lain yang kerap melanda anak remaja juga terjadi dalam hal persahabatan. Bahkan terkadang, sahabat dan cinta memiliki hubungan yang kuat, sahabat yang saling mencinta misalnya. 

Pernah ada seorang yang bercerita tentang kisah persahabatannya semasa dia sekolah dulu. Seorang sahabat yang katanya selalu ada disaat dia butuh. Suka dan duka, sedih dan bahagia. Terlebih kondisi lingkungannya yang hidup di asrama, makin klop lah kisah persabahatan mereka. Kemana-mana berdua, makin sepiring berdua, ke kelas berdua, belajar berdua, semua serba berdua (Nah, udah nyamain kisah cinta remaja aja kan?)

Ada lagi kisah dari yang lain. Masa sekolahnya dulu dia lalui tanpa seorang sahabat. Dia penyendiri? Tidak. Pendiam? Tidak juga. Lalu? Lalu dia tidak menemukan yang namanya sahabat. Baginya semua orang yang ia temui adalah teman. Dan teman tidak semuanya bisa dipercaya atau dijadikan tempat berbagi terutama untuk hal pribadi. Memang manusiawi, ketika memiliki masalah yang terlalu rumit dihadapi seusianya, lalu muncul rasa ingin berbagi. Namun berbagi itu tidak semudah menabur biji-bijian di hadapan segerembolan burung merpati di alun-alun kota, lalu mereka makan dan bawa terbang ke langit. Ia lebih seperti mengeluarkan biji berduri yang tersangkut di tenggorokan. Sakit? ya sakit.

Sebut saja namanya Siti. Saat dia menuturkan pengalaman pahitnya dalam bersahabat. Seorang yang sudah ia anggap sebagai sahabat. Karena bersamanya lah dia berbagi keluh kesahnya. Bahagianya, air matanya, sampai suatu saat ia menuturkan semua perasaannya di bawah gemerlap hiasan benda langit di malam hari. Tapi siapa sangka? karena rasa percayanya itu yang menjeremuskan dia ke lembah hitam? Masalah datang silih berganti menghampiri Siti akibat ulah seorang yang dia anggap 'sahabatnya' membeberkan semua curhatannya. Lalu bagaimana perasaan Siti? Campur aduk pastinya. Semenjak saat itu, untuk sekian lama Siti tidak pernah mau lagi percaya dengan yang namanya sahabat. 

Lain lagi dengan Ita, dia menghabiskan lebih dari 3 tahun bersahabat dengan dua orang teman yang dia temui di bangku kuliah. Tentu saja sudah banyak kisah manis dan pahit yang mereka jalani bersama. Sampai suatu hari, di penghujung tahun kuliahnya di bangku sarjana, masalah datang bertubi-tubi menghantam Ita. Dari masalah kuliah, keluarga, sampai kondisi jiwa dia yang kehilangan pegangan (kepercayaan diri). Loh, sahabatnya mana? itu menjadi pertanyaan yang sama saat cerita ini dia tuturkan. Entah kemana sahabat yang selama lebih dari 3 tahun dia anggap sahabat itu pergi. Sibuk sendiri, atau mungkin mereka sedang menghadapi masalah mereka masing-masing. Lalu terlupa untuk sekedar menanyakan 'apa masalahmu?' atau sekedar bilang 'ceritalah, aku dengar'. Yang jelas, kejadian ini membuat dia cukup depresi dan meragukan apa itu arti sahabat. 

Masih banyak lagi kisah persahabatan yang tidak bisa disebutkan semua di lembar ini. Lalu kenapa saya hanya menyebutkan satu sisi manis dari persahabatan dan menyebutkan tiga kisah pahitnya? 
Karena dalam persahabatan, kita akan menemukan banyak kisah pahit selama perjalanan menemukan rasa 'saling percaya' terhadap satu sama lain. Kisah pahit ini, ketika tidak bisa diambil hikmah-hikmah indah yang terselip dibaliknya maka selamanya kita tidak akan pernah menemukan sosok sahabat. Ibarat tumis pare, meski ia pahit rasanya, tapi ketika kita tahu kandungan di dalam pare memiliki khasiat untuk mengurangi diabetes atau menangkal sel kanker dan masih banyak lagi khasiat lainnya, maka tumis pare ini akan tetap enak dan nyaman di santap bahkan untuk dihidangkan berkali-kali. 

Begitulah persahabatan, selama kita tidak bisa menemukan hikmah yang ada di balik setiap masalah, disaat itu lah kita tidak akan pernah beranjak dewasa. 
Buat kalian, sahabat-sahabat saya. Terimakasih sudah sabar mengajarkan saya untuk bersabar mengais setiap hikmah dari permasalahan kita :)



Tuesday 12 May 2015

Menjadi Jendela Dunia bagi Buah Hati

Kita sudah sering menjumpai artikel-artikel yang berisi tentang keistimewaan seorang wanita. Bagaimana dia diciptakan dan bagaimana Allah Swt memberikan kelebihan serta kekurangan pada wanita yang tidak dimiliki kaum pria. Seperti halnya menjadi seorang ibu. Sebuah profesi yang tidak akan pernah bisa digantikan oleh laki-laki manapun dan dengan cara apapun.

Ketika Rasulullah Saw ditanya oleh seorang sahabat tentang siapa yang harus dia patuhi pertama kali, beliau menjawab ‘ibumu’. Suri teladan umat islam itu mengulang kata ‘ibumu’ sebanyak tiga kali, kemudian barulah menjawab ‘ayahmu’. Mengapa? Imam Qurthubi dalam kitab tafsirnya menjelaskan bahwa makna dari hadits di atas adalah kecintaan kita terhadap ibu haruslah tiga kali lebih besar daripada cinta kepada ayah.

Begitupula realitas yang disuguhkan di hadapan kita tentang perjuangan seorang ibu. Perjuangan ketika hamil, perjuangan melahirkan, dan perjuangan merawat serta mendidik seorang anak hingga dia bisa membedakan mana yang baik dan buruk hanya dialami oleh seorang ibu. Wajar saja jika Rasulullah Saw menekankan pada umatnya agar lebih berbakti pada seorang ibu daripada ayah.

Akan tetapi, menjadi seorang ibu yang berhak diberi penghormatan seperti sabda Nabi Saw tersebut tidaklah instan. Salah satu faktor utama yang dapat membentuk karakter ibu yang dijamin surga atasnya adalah pendidikan.

Edgar Dalle mengemukakan bahwa pendidikan merupakan usaha sadar yang dilakukan oleh keluarga, masyarakat dan pemerintah melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan latihan yang berlangsung di sekolah dan di luar sekolah sepanjang hayat untuk mempersiapkan peserta didik agar dapat memainkan peranan dalam berbagai lingkungan hidup secara tetap untuk masa akan datang.

John Dewey (1978) menyebutkan education is all one with growing, it has no end beyond itself. Pendidikan adalah segala sesuatu bersamaan dengan pertumbuhan, pendidikan sendiri tidak punya tujuan akhir di balik dirinya.

Begitu pentingnya sebuah pendidikan bagi seorang wanita, baik itu pendidikan agama ataupun pendidikan umum sehingga seorang wanita dituntut untuk memiliki ilmu dan bekal yang cukup sebelum melangkah ke jenjang pernikahan. Karena dari pengetahuan itulah akan memberi pengaruh yang besar terhadap karakter yang terwujud ketika dia menjadi seorang ibu.

Terlebih ketika dihadapkan dengan problematika jaman sekarang bahwa masih banyak yang beranggapan pendidikan tidaklah penting terutama bagi kalangan wanita. Bahkan ada saja yang menelan mentah-mentah keyakinan wanita tidak perlu sekolah tinggi, cukup mengetahui cara mengurus keluarga dan membesarkan bayi yang keluar dari rahimnya.

Sosok ibu yang ideal dalam sebuah rumah tangga tidak cukup dengan memiliki keterampilan memasak dan membersihkan rumah. Ideal memiliki kaitan erat dengan keseimbangan. Yaitu mampu menyeimbangkan segala sesuatu sehingga dapat memberi energi positif pada orang-orang disekitarnya. Keseimbangan itu tidak akan dapat diperoleh kecuali dengan ilmu dan pendidikan.

Ketika kita mengatakan, bahwa salah satu faktor utama membentuk karakter ibu yang ideal adalah pendidikan, akan timbul pertanyaan mengapa bukan agama? Berikut ini beberapa hal yang menegaskan pentingnya pendidikan bagi wanita muslimah, yaitu :

Pertama : Kita tidak menafikan urgensi agama dalam diri seorang wanita. Bahkan Rasulullah Saw memerintahkan para lelaki untuk memilih wanita dari agamanya agar mereka selamat. Akan tetapi agama tanpa pendidikan sama seperti malam tanpa rembulan atau judul buku tanpa coretan isi di dalamnya. Tentu saja akan terasa hampa.

Pendidikan tentang agama juga sangat penting dalam membentuk akhlak seorang wanita. Permasalahan yang banyak timbul saat ini, seperti islam KTP atau bahkan para wanita yang mengaku beragama islam tapi tega membunuh anaknya hanya karena merasa tidak sanggup menjaga dan merawat darah dagingnya sendiri adalah satu satu akibat dari kurangnya ilmu dalam diri mereka. Sampai di sini, masih mau berpikir pendidikan tidak lebih penting dari agama?

Kedua : Menuntut ilmu itu hukumnya wajib bagi setiap umat islam. Akan berdosa seseorang jika meninggalkan sebuah kewajiban dengan sengaja. Oleh karenanya, perintah dari Allah Swt kepada Nabi Muhammad Saw pada saat wahyu pertama kali turun adalah membaca. Allah Swt berfirman dalam surat Al-‘Alaq ayat 1-4 :
ٱقۡرَأۡ بِٱسۡمِ رَبِّكَ ٱلَّذِي خَلَقَ ١  خَلَقَ ٱلۡإِنسَٰنَ مِنۡ عَلَقٍ ٢  ٱقۡرَأۡ وَرَبُّكَ ٱلۡأَكۡرَمُ ٣  ٱلَّذِي عَلَّمَ بِٱلۡقَلَمِ ٤

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajarkan (manusia) dengan perantaan kalam (pena)”
Ketiga : Seorang wanita berhak mendapat pendidikan yang tinggi. Hak pendidikan seorang wanita sama besar dengan laki-laki tanpa berat sebelah. Rasulullah Saw bersabda : “Menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap muslim”. Para ulama sepakat bahwa hadits ini mencakup hukum bagi laki-laki dan perempuan.
Syeikh Albahii Alkhaulii dalam kitabnya al-Islam wa al-Mar’ah al-Mu’ashirah menjelaskan bahwa ilmu yang wajib dipelajari pertama kali oleh seorang wanita adalah pendidikan tentang akhlak dan adab dengan akidah yang benar serta mempelajari tentang agama islam sesuai tuntunan al-Qur’an dan as-Sunnah sehingga dia dapat menerapkan syari’at islam dalam kehidupannya.

Seorang ibu juga dituntut mampu menanamkan nilai-nilai agama islam kepada anak-anaknya sejak mereka masih balita. Pengetahuan tentang siapa tuhan mereka, mengenalkan rukun iman dan rukun islam serta mengajarkan kewajiban-kewajiban seperti shalat, zakat dan puasa hendaknya sudah dikenalkan sejak dini.

Selain itu, perlu diperhatikan cara berkomunikasi dengan anak-anak. Penyampaian yang salah akan berakibat fatal. Misalnya, ketika kita mengenalkan keberadaan Allah Swt, bahwa Dia adalah Tuhan Semesta Alam. Allah Swt lah yang menciptakan manusia dan seluruh isi bumi. Imajinasi seorang anak akan membayangkan sesuatu yang sangat besar. Dan akan muncul pertanyaan-pertanyaan lain dari akalnya untuk melengkapi imajinasinya itu. Jika seorang ibu tidak memiliki ilmu yang cukup, dan menjawab permasalahan dasar tentang agama dengan sembrono. Maka bisa berakibat seorang anak malah  tidak percaya dengan kebenaraan Allah Swt. Na’udzubillahi mindzalik!

Keempat : Ibu adalah sekolah pertama bagi seorang anak. Dialah figur seorang guru yang akan mengajarkan banyak hal untuk buah hatinya sejak pertama kali dia lahir ke dunia. Bayangkan saja, jika seorang wanita hanya mengetahui cara memasak dan membersihkan rumah. Atau seorang wanita yang hanya tahu cara menikah tanpa mengetahui hak dan kewajibannya, niscaya bahtera rumah tangganya tidak akan bertahan lama.
Begitupula yang disampaikan oleh Ustadzah Iin Suryaningsih, mahasiswi program doctoral jurusan Filologi di Universitas el-Dual el-Arabiyyah Alecso, Kairo bahwa ibu adalah jendela dunia pertama bagi seorang anak. Saat seorang anak belum bersentuhan dengan banyaknya ragam ilmu di luar sana, maka ibu menjadi petunjuk utama dalam hidupnya. Oleh karenanya, mencerdaskan seorang wanita adalah langkah awal untuk mencerdaskan generasi selanjutnya.

Kalau sudah demikian, apakah kita masih beranggapan bahwa menjadi seorang ibu cukup dengan kadar biasa-biasa saja? Atau kita butuh seorang ibu yang cerdas dan sholehah agar generasi yang lahir dari rahimnya dapat membentuk pribadi yang cerdas dan sholehah sejak dini?
Wallahu a’lam bi ash-shawab.

Tuesday 7 April 2015

Naskah Cerpen -Gadis Kemarin Sore- Juara Satu Lomba Cerpen KSW Mesir

GADIS KEMARIN SORE
Oleh : Rahmah Rasyidah


“Kau tahu kisah penunggu hutan di dekat rumah kau itu, Re? Itu hutan keramat! Konon hutan itu dijaga oleh beberapa setan wanita sejak ratusan tahun yang lalu. Kau harus berhati-hati!” 
“Kau masih percaya mitos, El? Aku kira kau lebih cerdas dari itu!”
***
Ekor mata elangnya melirik tajam kearah kerumunan massa. Jalannya terseok, membungkuk kedepan. Sesekali terjatuh dan dipaksa berdiri kembali. Tali berdiameter  satu sentimeter mengikat tangannya yang kurus. Kalau saja tidak ada kulit yang membungkusnya, orang-orang pasti mengira dia kerangka tulang yang berjalan.

Prakk!

Sesuatu mengenai kepalanya. Cairan basah dan lengket membasahi rambut cepaknya yang hitam. Dia menunduk, matanya menangkap kuning telur dan pecahan cangkang jatuh ke bawah. Sumpah serapah membanjiri udara, tak satupun bisa ia rekam dengan baik. Dia hanya mampu menyapu pandangannya dan wajahnya yang menghadap bumi. Empat tubuh besar mengelilinginya, mencoba melindungi tubuh kecil itu. Meski demikian, ada saja sesuatu yang berhasil mengenai tubuhnya dari amukan massa.

“Bakar saja!”
 “Jangan biarkan dia hidup! Pembunuh harus dibunuh!”

Suara itu semakin jelas menggetarkan selaput gendang telinganya. Detik selanjutnya, ratusan kepala berbondong-bondong memenuhi lapangan. Memuaskan dahaga penasaran mereka, mengintip maut yang akan menghampirinya. Sesekali dia mengusap keringat di dahi dengan kaos yang menempel di bahunya.

Matahari berada tepat di atas kepala saat dia berada tepat di tengah-tengah kumpulan manusia. Menatap wajah-wajah terbakar amarah. Sedang wajahnya datar. Tak sedikitpun menyiratkan rasa sesal. Pun rasa takut terhadap maut.

Suasana tiba-tiba hening saat La Ode[1] More, tetua desa memasuki lapangan. Beberapa orang membantunya berjalan dengan sebuah tongkat berkepala ukiran ular. Tongkat turun temurun dari tetua sebelumnya. Ketenangan tergambar jelas pada wajahnya yang keriput. Namun tubuhnya mengeras meredam amarah. Dia berdiri menghadap warga.

“Kita sangat memegang kuat adat,” ucap La Ode More menyapa siang yang terik. Dia berjalan mendekati tubuh kurus yang sekarang menjadi sorotan warga. Menjambak rambutnya dan memaksanya mendongak.

“Kita akan membakar siapa saja yang melanggar perintah leluhur kita!” sambung La Ode More mengakhiri kalimatnya. Setiap kata yang terucap seperti aliran listrik yang membangkitkan amarah warga. Gemuruh amukan warga kian memanas. Sepanas terik matahari siang itu.

***

Desa Katilombu seperti neraka bagi Rere. Gadis yang baru beranjak dewasa itu menghabiskan hidupnya mengurung diri di gubuk kecil, di salah satu kecamatan penghasil makanan sagu terbesar di Indonesia. Perkembangan zaman modern seperti enggan dicicipnya. Berapa kali Rere meminta sesuatu yang biasa diminta gadis sesusianya, tapi Ama[2] menolak. Ama sangat keras, terutama dalam memegang kuat adat dan aturan daerah.

Sore itu udara sangat bersahabat. Sepoi angin bertiup pelan menerbangkan rambut panjang Rere. Dia menemani Ina[3] memijat punggung Ama di teras rumah yang terbuat dari anyaman bambu.

“Kau tidak sama seperti yang lain, Re!” ucap Ama saat Rere memberanikan diri meminta ijin pergi ke kota bersama teman-temannya.

 “Apa gerangan yang membuatku berbeda, Ama?” jawab Rere sambil memasukkan singkong rebus dan beberapa makanan ringan ke dalam sebuah rantang berukuran sedang.

Setiap jum’at sore, menjelang matahari terbenam, Ama selalu berkunjung ke kediaman La Ode More. Tetua desa Katilombu. Sekedar meminta petuah dan nasehat dari pemimpin desa yang sudah berumur hampir seabad itu.

“Tidak apik kau berbuat seperti itu. Kau wanita. Sudah takdir kau berlatih menjadi istri dan ibu yang baik.”

“Bukankah teman-teman wanitaku yang lain bisa melakukan hal yang sama, Ama?” sanggah Rere. Spontan dia menggigit lidahnya sendiri karena menyesal telah mengatakan itu di hadapan Ama. Rere menunduk.

Ama meluruskan punggung, membetulkan posisi duduknya, dan meletakkan kedua tangannya di atas paha. Nampak amarah seperti sedang menggelitik Ama hingga urat lehernya bermunculan, tapi angin mengajaknya berdamai. Rere segera menarik diri dari teras dan masuk ke dalam rumah. Dia tidak ingin Ama mengamuk lagi, terlebih Ama mudah sekali memukul Rere ketika marah.

***

Sembilan bulan berlalu, dengki dan iri tumbuh subur di dalam hati Rere. Beranak menjadi dendam yang kesumat. Dia selalu mengutuk diri sendiri mengapa terlahir menjadi wanita. Bukan! Dia menyesal mengapa harus menjadi anak gadis Ama. Akan lebih beruntung dia menjadi anak gadis dari orang lain. Yang tidak terlalu peduli dengan adat, yang bukan ekor dari La Ode More, yang bukan Ama!

Rere menyusuri jalanan selebar empat meter di desanya. Wajahnya hampa. Dia baru saja pulang dari pasar, membeli sayur mayur untuk persiapan Ina memasak esok hari. Rumahnya berada di dekat lapangan kecil di ujung desa Katilombu. Tepat di perbatasan antara desa dengan hutan kayu jati. Masyarakat Katilombu biasa membuat pertemuan di lapangan itu. Entah untuk hal formal, atau hanya sekedar tempat hajatan warga.

Rere meratapi hidupnya yang tidak bisa keluar dari desa. Dia baru saja menyelesaikan pendidikan menengah atasnya beberapa bulan yang lalu. Beberapa temannya melanjutkan ke perguruan tinggi di kota. Banyak juga yang memilih merantau ke tempat yang lain. Seperti Eli, sahabat Rere juga meninggalkan Katilombu sebulan yang lalu. Orang tuanya mengijinkannya mengambil beasiswa kuliah di tanah Jawa. Berbeda dengan Rere, dia dan Katilombu bagai magnet yang saling tarik menarik. Tidak bisa ia tinggalkan. Atau mungkin karena Ama, yang mengubahnya menjadi magnet desa.

Menyelesaikan sekolah menengah atas juga sudah cukup untuk kau, Re! leluhurmu dulu bahkan tidak menyicipi sekolah dasar!

Rere mengingat dengan baik kata-kata Ama itu. Kepalanya semakin tertunduk, seperti ingin mengubur wajahnya di dasar bumi.

Bruk!

Seorang bocah laki-laki berpakaian lusuh menabrak Rere. Keranjang berisi sayur yang dia bawa terlepas dari tangannya dan jatuh berserakan di jalan. Bocah itu nampak acuh, dia sama sekali tidak melirik Rere. Nafasnya tersengal, Rere dapat menangkap ketakutan terpancar di matanya. Dia berlari masuk ke dalam hutan.

Beberapa detik kemudian, dua orang wanita muncul lima meter dari tempat Rere berdiri. Wajah mereka menyeringai penuh misteri. Satu diantara mereka berwajah bulat, rambutnya hitam sebahu. Dan satunya lagi, memiliki rambut yang tak kalah hitam dan panjang. Tatapan mereka lurus, seperti tidak peduli adanya Rere di sana. Menatap hutan, menatap bocah tadi. 

Angin meraba tengkuk Rere saat mereka berjalan melewatinya. Dalam sekejap, mereka sudah memasuk hutan. Giliran Rere yang ketakutan. Dia berlari memasuki rumah, melempar keranjangnya dan membenamkan wajahnya di bawah bantal. 

*** 

Senja menyeringai, membias cahaya jingga ke permukaan langit. Awan berarak bergantian meninggalkan cakrawala. Menyusul matahari yang kini beranjak pergi menuju peristirahatannya, Sore itu, Katilombu menjelma menjadi desa yang sangat ramai. Hingar bingar warga yang sedang mempersiapkan ucapara seratus tahun La Ode More memberi warna tersendiri bagi mereka.

Turun temurun Katilombu dipimpin keturunan La Ode Kedo, tetua pertama hingga La Ode More, tetua yang memimpin saat ini. Mereka percaya Katilombu akan tetap aman selama mereka tetap menjaga adat, tidak saling membunuh dan menjaga kerukunan warga. Dan satu lagi, aturan yang tidak banyak diketahui warga Katilombu selain keturunan La Ode,  mendidik dan menjaga para anak gadis keturunan La Ode.

Selang beberapa menit, aktifitas mereka terhenti mendengar suara gaduh di salah satu rumah penduduk. Tangisan histeris dari seorang wanita menarik mereka berkumpul. Tubuh kecil dari penghuni rumah itu terhempas keluar, meronta kesakitan saat mencoba menghindari pukulan. Baju kaos yang ia kenakan robek di beberapa bagian. Dia merangkak keluar sambil menangis.

“Apa yang kau pikirkan, hah??” maki seorang laki-kali dari arah dalam rumah. Dia melempar sebuah gunting berwarna keemasan ke dinding. Kakinya menyeret tumpukan potongan rambut hitam yang berserakan di lantai.

Dengan tergesa-gesa dia melangkah menuju pintu. Dia meraih sebilah parang panjang yang menempel di dinding . Matanya menatap penuh amarah. Diseretnya tubuh kecil itu ke tengah lapangan. Seorang wanita dengan air mata membanjiri pipinya mencoba menahan kaki lelaki itu. Pakaian yang ia kenakan sampai robek ketika mencoba mendekap tubuh kecil yang kini menjadi sorotan warga.

Tapi dekapan erat itu tidak bertahan lama. Tubuhnya terpental saat tendangan kaki lelaki berkulit sawo matang itu mengenai perutnya.  Seketika sebuah tendangan balasan melayang dari arah bawah  dan mengenai selangkangan. Parang panjang jatuh mengenai kakinya. Darah segar mengucur deras, dia berteriak kesakitan.

Untuk beberapa menit warga Katilombu seperti terhipnotis dengan pemandangan yang ada di hadapan mereka, pekik kesakitan dari tubuh besar laki-laki itu menyadarkan mereka . Beberapa laki-laki langsung berlari mendekatinya. Tapi dia menolak, detik selanjutnya dia gelagapan mencari sosok kecil yang menjadi sasaran kemarahannya. Dilihatnya sosok itu tertatih berlari memasuki hutan. Tangannya meraih kembali parang panjangnya dan berjalan menuju hutan.

Semua orang hanya bisa melihat dari jauh. Tidak ada yang berani menghalanginya. Tidak ada yang berani mengejarnya. Punggung lelaki itu menghilang di dalam hutan seiring dengan perginya lembayung senja dari ufuk timur.

***

Rere memilih duduk di teras rumahnya. Pikirannya mengembara entah kemana. Setelah insiden siang itu, dia terlihat lebih pendiam. Sore itu Rere mencoba mengalihkan pikirannya dengan menikmati pemandangan warga Katilombu yang sedang bergotong royong menyiapkan upacara memperingati seratus tahun La Ode More. Lapangan masih sepi, hanya ada beberapa orang yang datang dengan mengangkat empat tiang besar setinggi tiga meter. Tiang itu nantinya akan dijadikan sebuah tenda sederhana untuk tempat duduk La Ode More selama upacara.

Beberapa menit kemudian,  tiga orang datang dengan membawa beberapa kotak lilin. Memasukkannya dalam sebuah wadah kecil terbuat dari pahatan kayu jati dan menatanya membentuk lingkaran. Di tengah-tengahnya, mereka letakkan setumpuk kayu bakar untuk membuat api unggun.

Rere menyapu pandangannya ke seluruh lapangan. Dia terpaku saat menangkap sosok wanita berambut pendek dengan wajah bulat berdiri di tepi hutan. Menatap kearahnya. Mengisyaratkan sesuatu, tapi Rere terlalu kalut untuk bisa mencerna pesan yang dia sampaikan. Wanita itu mendekat, melangkah santai melewati beberapa warga yang sama sekali tidak menyadari keberadaannya.

“Gunakan ini!” bisiknya tepat di telinga Rere. Dia meninggalkan sebuah gunting berwarna keemasan. Membelai rambut panjang Rere dan kemudian menghilang.

Rere merasakan tubuhnya bergetar hebat. Kepalanya terasa gatal, dia tidak pernah merasakan gatal sedahsyat ini, seperti ribuan kutu bersarang di dalamnya. Tanpa berpikir panjang, dia berlari kearah kamar dan memotong rambutnya menyerupai laki-laki.

***

Gemuruh teriakan warga masih terdengar sangat jelas. Kasus pembunuhan ini benar-benar menyulut emosi mereka. Pasalnya, ini kasus pertama yang terjadi selama kurun waktu ratusan tahun. Beberapa hari yang lalu, beberapa warga menemukan potongan tubuh manusia yang mereka duga adalah jasad dari Lamporo, salah satu kerabat La Ode More yang hilang saat mengejar anaknya ke dalam hutan.

La Ode memerintahkan warga menyisir hutan dan menemukan pembunuhnya. Kurang lebih seminggu, mereka menemukan Rere meringkuk kedinginan di dalam hutan sambil memeluk potongan tangan milik Amanya. Rere hanya terdiam saat semua orang menggiringnya ke lapangan dan menatapnya penuh benci. Dia bahkan tidak bisa mengingat apa-apa selama dia berada di hutan. Yang dia tahu, dia selalu melakukan apa yang diminta oleh dua wanita yang menjadi temannya saat itu.

Salah seorang warga melempar batang korek yang tersulut api kearah tumpukan kayu bakar yang mengelilingi tubuh Rere yang terikat di sebuah tiang di tengah-tengah lapangan. Api mulai merambat membakar kayu bakar dan melahapnya dengan cepat. Meliuk-liuk seperti ular yang mengitari pohon sebelum menyerang mangsanya. Rere  mengangkat wajahnya, mencoba mencari Ina. Matanya menyisir satu persatu wajah yang berdiri di depannya. Tapi sosok Ina tak kunjung dia temukan.

Kobaran api semakin membesar, menutup pandangan Rere mencari Ina. Dia meringis menahan panas api yang kini mulai menyentuh tubuhnya. Bola mata hitamnya berubah merah. Seakan api sudah bersarang di dalamnya. Samar-samar, saat kesadaran  Rere hampir hilang, dia melihat dua sosok wanita berdiri dibalik bayang-bayang si jago merah. Mereka merentangkan tangan, tersenyum manis kearah Rere.
Sekian





[1] Sebutan untuk tokoh desa suku Muna, Buton.
[2] Ama diambil dari bahasa Muna, panggilan untuk Ayah bagi rakyat Buton.
[3] Ina diambil dari bahasa Muna, panggilan untuk Ibu bagi rakyat Buton.

Saturday 28 March 2015

4 Cara Sahabat berkomunikasi dengan Rasulullah Saw

4 Cara Sahabat berkomunikasi dengan Rasulullah Saw

Para Sahabat radhiyallahu 'anhum adalah orang yang hidup semasa dengan Rasulullah Saw, berjumpa beliau dan mati dalam keadaan beriman kepada beliau dan risalah yang beliau bawa. Kehadiran Rasulullah Saw di tengah-tengah mereka ibarat pelita yang menerangi kegelapan. Memberi mereka kedamaian atas carut marut kehidupan. Menyuguhkaan solusi bahwa kehidupan tidak melulu tengan peperangan, kebencian, dan hasrat balas dendam. Saat nafas kehidupan dijalani tanpa aturan, tanpa membedakan antara halal dan haram, beliau datang membawa titah Tuhan dari langit agar mereka bisa duduk bersama saling mengasihi. Menjunjung tinggi satu kalimat "Dialah Allah, Tuhan yang Maha Esa". 

Kecintaan para sahabat terhadap beliau sangatlah besar. Karena beliau adalah figur ayah, teman, dan saudara bagi mereka. Sejatinya, ketika cinta tersemat di dalam dada, seorang anak manusia akan rela melakukan apapun untuk yang ia cintai. Pun para sahabat, yang sangat menghormati dan mengasihi suri tauladan umat sepanjang masa, Mereka tidak serta merta menyamakan komunikasi mereka dengan kekasih Allah Swt itu. Diantara cara para sahabat dalam membangun komunikasi kepada Rasulullah Saw adalah : 

1. Tidak mendahului beliau dalam berbicara.

Salah satu adab para sahabat ketika berbicara dengan Rasulullah Saw adalah tidak mendahului beliau ketika berbicara. Allah Saw menyebutkan dalam firman-Nya al-Hujurat ayat 1 yang berbunyi : 


يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تُقَدِّمُواْ بَيۡنَ يَدَيِ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦۖ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۚ إِنَّ ٱللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٞ ١

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui"

2. Ketika beliau berbicara, maka mereka diam dan mendengarkan. 

Para sahabat tidak pernah mendahului perkataan mereka sebelum Rasulullah Saw mengangkat suara beliau, pun tidak pernah mendahulukan pendapat mereka daripada pendapat beliau. Begitupula saat Rasulullah Saw menyampai wahyu Allah Swt, tidak ada satupun dari mereka membantah atau menyela perkataan beliau. Banyak kita jumpai ketika Rasulullah Saw menanyakan sesuatu kepada sebagian sahabat, dan mereka menjawa "Allahu wa rasuuluhu a'lam" artinya Allah dan Rasul-Nya lebih tahu atas segala perkara. Sebagai bentuk rasa cinta dan hormat mereka kepada qudwah hasanah sepanjang masa. 

3. Tidak meninggikan suara melebihi suara Rasulullah Saw. 

Allah Swt berfirman surat al - Hujurat ayat : 2 : 

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَرۡفَعُوٓاْ أَصۡوَٰتَكُمۡ فَوۡقَ صَوۡتِ ٱلنَّبِيِّ وَلَا تَجۡهَرُواْ لَهُۥ بِٱلۡقَوۡلِ كَجَهۡرِ بَعۡضِكُمۡ لِبَعۡضٍ أَن تَحۡبَطَ أَعۡمَٰلُكُمۡ وَأَنتُمۡ لَا تَشۡعُرُونَ ٢

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara yang keras, sebagaimana kerasnya suara sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu, sedangkan kamu tidak menyadari"

Para sahabat sangat menjaga perasaan Nabi Saw. Mereka tidak ingin melukai hati kekasih Allah Swt itu dengan kata-kata mereka yang kasar dan bernada tinggi. Oleh karenanya Allah Swt  melarang kita meninggikan suara melebihi suara Nabi Saw. Supaya tidak dihapus segala amal perbuatan baik hanya karena kesalahan yang terkadang tidak disadari. 

4. Tidak memanggil Rasulullah Saw dengan sebutan nama. 

Allah Sawt menyinggung dalam surat an-Nur ayat 63 : 

لَّا تَجۡعَلُواْ دُعَآءَ ٱلرَّسُولِ بَيۡنَكُمۡ كَدُعَآءِ بَعۡضِكُم بَعۡضٗاۚ

Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul diantara  kamu seperti panggilan sebagian kalian kepada sebagian yang lain

Ayat ini turun kepada utusan Bani Tamim (ada yang berpendapat kepada selain mereka). Ketika mereka datang kepada Rasulullah Saw dan menyeru beliau dengan panggilan Yaa Muhammad! Wahai Muhammad! Lalu Allah Swt mencela mereka dengan kebodohan dan tidak berfikir. 

Demikian, sikap para sahabat dalam menyenangkan hati orang yang mereka kasihi. Sehingga Allah Swt memuji mereka dalam firman-Nya al - Hujurat ayat : 3: 

إِنَّ ٱلَّذِينَ يَغُضُّونَ أَصۡوَٰتَهُمۡ عِندَ رَسُولِ ٱللَّهِ أُوْلَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ ٱمۡتَحَنَ ٱللَّهُ قُلُوبَهُمۡ لِلتَّقۡوَىٰۚ لَهُم مَّغۡفِرَةٞ وَأَجۡرٌ عَظِيمٌ ٣

"Sesungguhnya orang yang merendahkan suaranya di sisi Rasulullah mereka itulah orang-orang yang telah diuji hati mereka oleh Allah untuk bertakwa. Bagi mereka ampunan dan pahala yang besar"

Wallahu a'lam bish-shawaab.