GADIS KEMARIN SORE
Oleh : Rahmah Rasyidah
“Kau tahu kisah penunggu hutan di dekat rumah kau itu, Re? Itu
hutan keramat! Konon hutan itu dijaga oleh beberapa setan wanita sejak ratusan
tahun yang lalu. Kau harus berhati-hati!”
“Kau masih percaya mitos, El? Aku kira kau lebih cerdas dari itu!”
***
Ekor mata elangnya melirik tajam kearah kerumunan massa. Jalannya
terseok, membungkuk kedepan. Sesekali terjatuh dan dipaksa berdiri kembali.
Tali berdiameter satu sentimeter mengikat tangannya yang kurus. Kalau
saja tidak ada kulit yang membungkusnya, orang-orang pasti mengira dia kerangka
tulang yang berjalan.
Prakk!
Sesuatu mengenai kepalanya. Cairan basah dan lengket membasahi
rambut cepaknya yang hitam. Dia menunduk, matanya menangkap kuning telur dan
pecahan cangkang jatuh ke bawah. Sumpah serapah membanjiri udara, tak satupun
bisa ia rekam dengan baik. Dia hanya mampu menyapu pandangannya dan wajahnya
yang menghadap bumi. Empat tubuh besar mengelilinginya, mencoba melindungi
tubuh kecil itu. Meski demikian, ada saja sesuatu yang berhasil mengenai
tubuhnya dari amukan massa.
“Bakar saja!”
“Jangan biarkan dia hidup!
Pembunuh harus dibunuh!”
Suara itu semakin jelas menggetarkan selaput gendang telinganya.
Detik selanjutnya, ratusan kepala berbondong-bondong memenuhi lapangan.
Memuaskan dahaga penasaran mereka, mengintip maut yang akan menghampirinya.
Sesekali dia mengusap keringat di dahi dengan kaos yang menempel di bahunya.
Matahari berada tepat di atas kepala saat dia berada tepat di
tengah-tengah kumpulan manusia. Menatap wajah-wajah terbakar amarah. Sedang wajahnya
datar. Tak sedikitpun menyiratkan rasa sesal. Pun rasa takut terhadap maut.
Suasana tiba-tiba hening saat La Ode More, tetua desa memasuki
lapangan. Beberapa orang membantunya berjalan dengan sebuah tongkat berkepala ukiran
ular. Tongkat turun temurun dari tetua sebelumnya. Ketenangan tergambar jelas
pada wajahnya yang keriput. Namun tubuhnya mengeras meredam amarah. Dia berdiri
menghadap warga.
“Kita sangat memegang kuat adat,” ucap La Ode More menyapa siang
yang terik. Dia berjalan mendekati tubuh kurus yang sekarang menjadi sorotan
warga. Menjambak rambutnya dan memaksanya mendongak.
“Kita akan membakar siapa saja yang melanggar perintah leluhur
kita!” sambung La Ode More mengakhiri kalimatnya. Setiap kata yang terucap
seperti aliran listrik yang membangkitkan amarah warga. Gemuruh amukan warga
kian memanas. Sepanas terik matahari siang itu.
***
Desa Katilombu seperti neraka bagi Rere. Gadis yang baru beranjak
dewasa itu menghabiskan hidupnya mengurung diri di gubuk kecil, di salah satu
kecamatan penghasil makanan sagu terbesar di Indonesia. Perkembangan zaman
modern seperti enggan dicicipnya. Berapa kali Rere meminta
sesuatu yang biasa diminta gadis sesusianya, tapi Ama menolak. Ama sangat keras,
terutama dalam memegang kuat adat dan aturan daerah.
Sore itu udara sangat bersahabat. Sepoi angin bertiup pelan
menerbangkan rambut panjang Rere. Dia menemani Ina memijat punggung Ama
di teras rumah yang terbuat dari anyaman bambu.
“Kau tidak sama seperti yang lain, Re!” ucap Ama saat Rere
memberanikan diri meminta ijin pergi ke kota bersama teman-temannya.
“Apa gerangan yang
membuatku berbeda, Ama?” jawab Rere sambil memasukkan singkong rebus dan
beberapa makanan ringan ke dalam sebuah rantang berukuran sedang.
Setiap jum’at sore, menjelang matahari terbenam, Ama selalu
berkunjung ke kediaman La Ode More. Tetua desa Katilombu. Sekedar meminta
petuah dan nasehat dari pemimpin desa yang sudah berumur hampir seabad itu.
“Tidak apik kau berbuat seperti itu. Kau wanita. Sudah takdir kau
berlatih menjadi istri dan ibu yang baik.”
“Bukankah teman-teman wanitaku yang lain bisa melakukan hal yang
sama, Ama?” sanggah Rere. Spontan dia menggigit lidahnya sendiri karena
menyesal telah mengatakan itu di hadapan Ama. Rere menunduk.
Ama meluruskan punggung, membetulkan posisi duduknya, dan
meletakkan kedua tangannya di atas paha. Nampak amarah seperti sedang
menggelitik Ama hingga urat lehernya bermunculan, tapi angin mengajaknya
berdamai. Rere segera menarik diri dari teras dan masuk ke dalam rumah. Dia
tidak ingin Ama mengamuk lagi, terlebih Ama mudah sekali memukul Rere ketika
marah.
***
Sembilan bulan berlalu, dengki dan iri tumbuh subur di dalam hati
Rere. Beranak menjadi dendam yang kesumat. Dia selalu mengutuk diri sendiri
mengapa terlahir menjadi wanita. Bukan! Dia menyesal mengapa harus menjadi anak
gadis Ama. Akan lebih beruntung dia menjadi anak gadis dari orang lain. Yang
tidak terlalu peduli dengan adat, yang bukan ekor dari La Ode More, yang bukan
Ama!
Rere menyusuri jalanan selebar empat meter di desanya. Wajahnya
hampa. Dia baru saja pulang dari pasar, membeli sayur mayur untuk persiapan Ina
memasak esok hari. Rumahnya berada di dekat lapangan kecil di ujung desa
Katilombu. Tepat di perbatasan antara desa dengan hutan kayu jati. Masyarakat
Katilombu biasa membuat pertemuan di lapangan itu. Entah untuk hal formal, atau
hanya sekedar tempat hajatan warga.
Rere meratapi hidupnya yang tidak bisa keluar dari desa. Dia baru
saja menyelesaikan pendidikan menengah atasnya beberapa bulan yang lalu.
Beberapa temannya melanjutkan ke perguruan tinggi di kota. Banyak juga yang
memilih merantau ke tempat yang lain. Seperti Eli, sahabat Rere juga
meninggalkan Katilombu sebulan yang lalu. Orang tuanya mengijinkannya mengambil
beasiswa kuliah di tanah Jawa. Berbeda dengan Rere, dia dan Katilombu bagai
magnet yang saling tarik menarik. Tidak bisa ia tinggalkan. Atau mungkin
karena Ama, yang mengubahnya menjadi magnet desa.
Menyelesaikan sekolah menengah atas juga sudah cukup untuk kau,
Re! leluhurmu dulu bahkan tidak menyicipi sekolah dasar!
Rere mengingat dengan baik kata-kata Ama itu. Kepalanya semakin
tertunduk, seperti ingin mengubur wajahnya di dasar bumi.
Bruk!
Seorang bocah laki-laki berpakaian lusuh menabrak Rere. Keranjang
berisi sayur yang dia bawa terlepas dari tangannya dan jatuh berserakan di
jalan. Bocah itu nampak acuh, dia sama sekali tidak melirik Rere. Nafasnya
tersengal, Rere dapat menangkap ketakutan terpancar di matanya. Dia berlari
masuk ke dalam hutan.
Beberapa detik kemudian, dua orang wanita muncul lima meter dari
tempat Rere berdiri. Wajah mereka menyeringai penuh misteri. Satu diantara
mereka berwajah bulat, rambutnya hitam sebahu. Dan satunya lagi, memiliki
rambut yang tak kalah hitam dan panjang. Tatapan mereka lurus, seperti tidak peduli
adanya Rere di sana. Menatap hutan, menatap bocah tadi.
Angin meraba tengkuk Rere saat mereka berjalan melewatinya. Dalam
sekejap, mereka sudah memasuk hutan. Giliran Rere yang ketakutan. Dia berlari
memasuki rumah, melempar keranjangnya dan membenamkan wajahnya di bawah
bantal.
***
Senja menyeringai, membias cahaya jingga ke permukaan langit. Awan
berarak bergantian meninggalkan cakrawala. Menyusul matahari yang kini beranjak
pergi menuju peristirahatannya, Sore itu, Katilombu menjelma menjadi desa yang
sangat ramai. Hingar bingar warga yang sedang mempersiapkan ucapara seratus
tahun La Ode More memberi warna tersendiri bagi mereka.
Turun temurun Katilombu dipimpin keturunan La Ode Kedo, tetua
pertama hingga La Ode More, tetua yang memimpin saat ini. Mereka percaya
Katilombu akan tetap aman selama mereka tetap menjaga adat, tidak saling
membunuh dan menjaga kerukunan warga. Dan satu lagi, aturan yang tidak banyak
diketahui warga Katilombu selain keturunan La Ode, mendidik dan menjaga
para anak gadis keturunan La Ode.
Selang beberapa menit, aktifitas mereka terhenti mendengar suara
gaduh di salah satu rumah penduduk. Tangisan histeris dari seorang wanita
menarik mereka berkumpul. Tubuh kecil dari penghuni rumah itu terhempas keluar,
meronta kesakitan saat mencoba menghindari pukulan. Baju kaos yang ia kenakan
robek di beberapa bagian. Dia merangkak keluar sambil menangis.
“Apa yang kau pikirkan, hah??” maki seorang laki-kali dari arah dalam
rumah. Dia melempar sebuah gunting berwarna keemasan ke dinding. Kakinya
menyeret tumpukan potongan rambut hitam yang berserakan di lantai.
Dengan tergesa-gesa dia melangkah menuju pintu. Dia meraih sebilah
parang panjang yang menempel di dinding . Matanya menatap penuh amarah.
Diseretnya tubuh kecil itu ke tengah lapangan. Seorang wanita dengan air mata
membanjiri pipinya mencoba menahan kaki lelaki itu. Pakaian yang ia kenakan sampai
robek ketika mencoba mendekap tubuh kecil yang kini menjadi sorotan warga.
Tapi dekapan erat itu tidak bertahan lama. Tubuhnya terpental saat
tendangan kaki lelaki berkulit sawo matang itu mengenai perutnya.
Seketika sebuah tendangan balasan melayang dari arah bawah dan mengenai selangkangan. Parang panjang
jatuh mengenai kakinya. Darah segar mengucur deras, dia berteriak kesakitan.
Untuk beberapa menit warga Katilombu seperti terhipnotis dengan
pemandangan yang ada di hadapan mereka, pekik kesakitan dari tubuh besar
laki-laki itu menyadarkan mereka . Beberapa laki-laki langsung berlari
mendekatinya. Tapi dia menolak, detik selanjutnya dia gelagapan mencari sosok
kecil yang menjadi sasaran kemarahannya. Dilihatnya sosok itu tertatih berlari
memasuki hutan. Tangannya meraih kembali parang panjangnya dan berjalan menuju
hutan.
Semua orang hanya bisa melihat dari jauh. Tidak ada yang berani
menghalanginya. Tidak ada yang berani mengejarnya. Punggung lelaki itu
menghilang di dalam hutan seiring dengan perginya lembayung senja dari ufuk
timur.
***
Rere memilih duduk di teras rumahnya. Pikirannya mengembara entah
kemana. Setelah insiden siang itu, dia terlihat lebih pendiam. Sore itu Rere
mencoba mengalihkan pikirannya dengan menikmati pemandangan warga Katilombu
yang sedang bergotong royong menyiapkan upacara memperingati seratus tahun La
Ode More. Lapangan masih sepi, hanya ada beberapa orang yang datang dengan
mengangkat empat tiang besar setinggi tiga meter. Tiang itu nantinya akan
dijadikan sebuah tenda sederhana untuk tempat duduk La Ode More selama upacara.
Beberapa menit kemudian,
tiga orang datang dengan membawa beberapa kotak lilin. Memasukkannya
dalam sebuah wadah kecil terbuat dari pahatan kayu jati dan menatanya membentuk
lingkaran. Di tengah-tengahnya, mereka letakkan setumpuk kayu bakar untuk
membuat api unggun.
Rere menyapu pandangannya ke seluruh lapangan. Dia terpaku saat
menangkap sosok wanita berambut pendek dengan wajah bulat berdiri di tepi
hutan. Menatap kearahnya. Mengisyaratkan sesuatu, tapi Rere terlalu kalut untuk
bisa mencerna pesan yang dia sampaikan. Wanita itu mendekat, melangkah santai
melewati beberapa warga yang sama sekali tidak menyadari keberadaannya.
“Gunakan ini!” bisiknya tepat di telinga Rere. Dia meninggalkan
sebuah gunting berwarna keemasan. Membelai rambut panjang Rere dan kemudian
menghilang.
Rere merasakan tubuhnya bergetar hebat. Kepalanya terasa gatal,
dia tidak pernah merasakan gatal sedahsyat ini, seperti ribuan kutu bersarang
di dalamnya. Tanpa berpikir panjang, dia berlari kearah kamar dan memotong
rambutnya menyerupai laki-laki.
***
Gemuruh teriakan warga masih terdengar sangat jelas. Kasus
pembunuhan ini benar-benar menyulut emosi mereka. Pasalnya, ini kasus pertama
yang terjadi selama kurun waktu ratusan tahun. Beberapa hari yang lalu,
beberapa warga menemukan potongan tubuh manusia yang mereka duga adalah jasad
dari Lamporo, salah satu kerabat La Ode More yang hilang saat mengejar anaknya
ke dalam hutan.
La Ode memerintahkan warga menyisir hutan dan menemukan
pembunuhnya. Kurang lebih seminggu, mereka menemukan Rere meringkuk kedinginan
di dalam hutan sambil memeluk potongan tangan milik Amanya. Rere hanya terdiam saat
semua orang menggiringnya ke lapangan dan menatapnya penuh benci. Dia bahkan
tidak bisa mengingat apa-apa selama dia berada di hutan. Yang dia tahu, dia
selalu melakukan apa yang diminta oleh dua wanita yang menjadi temannya saat
itu.
Salah seorang warga melempar batang korek yang tersulut api kearah
tumpukan kayu bakar yang mengelilingi tubuh Rere yang terikat di sebuah tiang
di tengah-tengah lapangan. Api mulai merambat membakar kayu bakar dan melahapnya
dengan cepat. Meliuk-liuk seperti ular yang mengitari pohon sebelum menyerang
mangsanya. Rere mengangkat wajahnya,
mencoba mencari Ina. Matanya menyisir satu persatu wajah yang berdiri di depannya.
Tapi sosok Ina tak kunjung dia temukan.
Kobaran api semakin membesar, menutup pandangan Rere mencari Ina.
Dia meringis menahan panas api yang kini mulai menyentuh tubuhnya. Bola mata
hitamnya berubah merah. Seakan api sudah bersarang di dalamnya. Samar-samar,
saat kesadaran Rere hampir hilang, dia
melihat dua sosok wanita berdiri dibalik bayang-bayang si jago merah. Mereka
merentangkan tangan, tersenyum manis kearah Rere.
Sekian
Ama diambil dari bahasa
Muna, panggilan untuk Ayah bagi rakyat Buton.