Secara
garis besar Syi’ah dipersatukan satu doktrin, meyakini ada imam setelah Nabi
wafat dan imam itu diwarisi oleh keturunan Rasulullah yaitu anak-anak Fatimah
binti Rasulullah dan Ali bin Abi Thalib. Ketika Persia ditaklukkan, di antara
tawanan terdapat tiga putri Khusro. Salah seorangnya dinikahkan dengan Husain
bin Abi Thalib. Pernikahan itu menghasilkan Ali Zainal Abidin. Rakyat Persia
menemukan kembali harga dirinya sebagai bangsa yang besar. Darah kenabian dan
darah kekaisaran Persia mengalir pada keturunan Husain. Itu sebabnya Syi’ah
lebih memuliakan keturunan Husain daripada Ahli Bait yang lain.
Akan
tetapi, hal itu tidaklah mutlak. Ada pengecualian bagi Syi’ah Zaidiyah. Mereka
juga mengangkat imam dari keturunan Hasan bin Abi Thalib. Zaidiyah bahkan
dikenal lebih dekat dan lebih moderat terhadap Kaum Syafi’i dan Hanafi, tapi
tak lepas dari unsur Fiqh Ja’fary. Secara akidah, Syi’ah Zaidiyah mirip dengan
Mu’tazilah meski tetap saja berbeda.
Di antara
tiga kelompok besar Syi’ah yaitu Syi’ah Imamiyah (Itsna Asyariyah), Syi’ah
Ismailiyah dan Syi’ah Zaidiyah, Syi’ah Imamiyah memiliki jumlah terbanyak,
selanjutnya Syi’ah Ismailiyah kemudian diikuti Syi’ah Zaidiyah. Perbedaan
mendasar mereka ditengarai oleh pengangkatan imam. Adapun urutan imam tersebut
adalah :
Pertama : Ali bin Abi Thalib (600-661)
Kedua : Hasan bin Ali ( 625-669 )
Ketiga : Husain bin Ali ( 626-680 )
Keempat : Ali bin Husain ( 658-713 )
Kelima : Muhammad bin Ali ( 676-743 )
Keenam : Ja’far bin Muhammad ( 703-765 )
Ketujuh : Musa bin Ja’far ( 745-799 )
Kedelapan
: Ali bin Musa ( 765-818 )
Kesembilan : Muhammad bin Ali ( 810-835 )
Kesepuluh : Ali bin Muhammad ( 827-868 )
Kesebelas : Hasan bin Ali ( 846-874 )
Kedua
belas : Muhammad bin Hasan ( 868-? )
Syi’ah Imamiyah
meyakini pada kedua belas imam. Adapun imam terakhir lenyap tanpa ketahuan
rimbanya. Konon imam itu akan kembali lagi sebagai al–Mahdi. Sedangkan Syi’ah
Ismailiyah bersitegang pada pengangkatan Ismail sebagai imam ketujuh yang sah.
Ismail telah ditunjuk sebagai pengganti ayahnya Ja’far bin Muhammad. Sayangnya,
Ismail lebih dahulu wafat daripada ayahnya.
Dengan
wafatnya Ismail, Syi’ah Imamiyah lantas memindahkan kursi kekhalifahan kepada
saudaranya Musa bin Ja’far. Akan tetapi Syi’ah Ismailiyah tidak mau mengakuinya
dengan dalih pangkat seorang imam tidak bisa dipindahkan begitu saja pada
saudaranya. Imam tetap harus diwarisi dari ayah ke anak lelaki tertua. Oleh
karena itu, Syi’ah Ismailiyah lebih memilih mengangkat keturunan Ismail sebagai
imam mereka selanjutnya. Mereka sangat teguh dalam prinsip imam diwarisi dari
ayah ke anak lelaki tertua. Selain sebutan Ismailiyah, mereka juga dikenal
sebagai Syi’ah Sab’iyah atau Syi’ah yang percaya pada tujuh imam.
Dari segi
kedaulatan dan kekuasaan Syi’ah Ismailiyah adalah yang paling berjaya. Syi’ah
yang lain memang pernah berkuasa, tapi itu didapatkan dengan mendomplang dan
bukan berdiri sendiri. Sedang Syi’ah Ismailiyah berhasil mendirikan dinasti
dengan dasar Negara Syi’ah Ismailiyah yang lebih dikenal dengan dinasti
Fatimiyah di Mesir. Pada dasarnya, mereka bukan di Mesir. Fatimiyah awalnya
berdiri di Afrika Utara, sekitar kawasan Maghrib bagian timur. Abdullah
al-Mahdi Billah mengaku punya garis keturunan dengan Rasulullah melalui pasangan
Fatimah dan Ali bin Abi Thalib. Dengan doktrin itu, ia berhasil menggalang
kekuatan dan menjadi khalifah pertama Fatimiyah tahun 909 M / 297 H. oleh
karena itu dikenal dengan dinasti Fatimiyah.
Oleh
karena Syi’ah Ismailiyah sangat kukuh soal ahli waris, akibatnya banyak
khalifah yang naik tahta pada usia dini. Selama menunggu khalifah dewasa,
pemerintahan diwakilkan pada dewan menteri. Dengan kata lain, pada saat itu
para menteri lah yang menjadi khalifah dan memiliki kuasa yang besar. Hal itu
juga memiliki sisi positif yang menguntungkan khalifah. Di antaranya potensi
sengketa peralihan tahta dapat diminimalisir dan tidak ada klaim atau protes
pada penunjukan ahli waris. Konflik antar-keluarga kerajaan juga tidak banyak
terjadi karena sudah jelas yang hanya boleh menjadi khalifah adalah anak lelaki
tertua.
Jalan
kehidupan tidak selamanya mulus. Adakalanya lika-liku kehidupan menjadi saksi
bahwa hidup tidak berdasarkan kehendak manusia semata. Begitupula yang terjadi
pada Syi’ah Ismailiyah. Selama dua abad mereka mempertahankan prinsip ahli
waris dalam kekhalifahan, ada saja yang mencoba melenceng dari aturan itu.
Secara keseluruhan, ada empat belas khalifah yang mengatur dinasti Fatimiyah.
Dan sudah tiga kali terjadi peralihan kuasa tidak pada putra khalifah.
Peristiwa
pertama, khalifah keenam al-Hakim bi Amrillah ( 996-1020 ) menunjuk
keponakannya Abdurrahim bin Ilyas sebagai pewaris tahta. Usaha ini berhasil
digagalkan oleh saudara perempuan khalifah sendiri yaitu Sitt al-Malik. Dia
bahkan berhasil mendalangi pembunuhan Abdurrahim bin Ilyas. Tahta selanjutnya
dikembalikan pada yang berhak yaitu anak khalifah az-Zahir Li I’zazi Dinillah.
Peristiwa
kedua, khalifah kesebelas al-Hafidz Li Dinillah ( 1130-1149 ) naik tahta secara
kontroversial karena posisinya sebaga saudara sepupu khalifah. Hal itu kembali
terulang oada al-‘Adhid Li Dinillah 9 1160-1171 ) khalifah keempat belas juga
sebagai sepupu khalifah sebelumnya.
Peristiwa
ini tentu sangat menghebohkan dinasti Fatimiyah. Sejak saat itu Fatimiyah
berangsur-angsur melemah. Banyak terjadi perpecahan dan pihak-pihak yang
berseberangan. Militer Negara dan keluarga kerajaan sering kali bersitegang.
Pada
awalnya, Dinasti Fatimiyah semakin maju dan sangat cepat berkembang. Seluruh
Maghrib yang luas itu telah di kuasai, bahkan pada tahun 969 M / 358 H
Ismaliyiah berhasil mengalahkan Dinasti Ikhsyidiyah di Mesir. Empat tahun
sesudahnya Cairo resmi menjadi ibu kota baru bagi dinasti Fatimiyah. Dinasti
ini bertahta hampir dua abad, dari tahun 909-1171. Sampai akhirnya Salahuddin
Ayyubi bersama pamannya Asaduddin Syirikuh mengambil alir Mesir. Salahuddin
mendirikan dinasti Ayyubiyah. Dia mengubah madzhab negara dari Syi’ah kembali
ke Sunni.
Malangnya,
kejeniusan Salahuddin tidak diwarisi keturunannya. Dinasti Ayyubiyah tak
bertahan lama. Usia dinasti ini bahkan tidak sampai satu abad. Mereka berkuasa
dalam kurun waktu 1171-1250 sampai selanjutnya digantikan oleh dinasti Mamalik.
Adapun
bagi Syi’ah Zaidiyah, siapa saja yang punya kapasitas mumpuni menjadi imam, dia
berhak diangkat menjadi imam. Mereka berbeda dalam urutan imam kelima. Zaidiyah
lebih mengakui imam Zaid bin Ali daripada Muhammad bin Ali. Menurut mereka,
imam Ali bin Abi Thalib dan Husain bin Ali telah memberi contoh bagaimana
seorang imam harus bersikap hingga menjadi syahid.
Sekilas
tentang Thaifah Islamiyah…
Sejarah
telah mencatat, pada tahun 1256 M panglima perang tentara Mongol Hulagu Khan
dengan jutaan bala tentaranya menyerang Thaifah Islamiyah di Iran. Perang yang
dimenangkan oleh tentara Mongol setelah mengepung selama berhari-hari ini
menjadi catatan keruntuhan Thaifah Islamiyah yang selama dua abad lamanya
berkuasa di bumi. Tentara Mongol atau biasa disebut tentara Tartar memang
terkenal dengan kebengisannya. Mereka membunuh tanpa ampun. Laki-laki, wanita,
tua-muda tanpa mengenal belas kasih mereka musnahkan seluruhnya.
Thaifah
Islamiyah di Iran saat itu dikenal sebagai sempalan atau pembelot dari
Ismailiyah Fatimiyah. Mereka dikenal luas sebagai Nizariyah. Nizariyah sendiri lahir
dari konspirasi para menteri dan pertikaian para menteri yang menyebabkan
keruntuhan Fatimiyah. Para menteri tidak hanya menikmati pengaruhnya seumur
hidup, namun juga turun temurun. Keturunan para menteri biasanya diangkat juga
sebagai menteri. Tak ayal mereka seakan menciptakan dinasti mereka sendiri yang
terselubung.
Pada
penobatan khalifah kesembilan terjadi sengketa hebat antara pangeran mahkota
dan perdana menteri. Nizar, anak tertua yang ditunjuk ayahnya sebagai khalifah
tidak diakui oleh Syahansyah, sang menteri. Syahansyah yang memang sejak lama
bertikai dengan Nizar lebih memilih Abu Qasim Ahmad, anak bungsu khalifah.
Malangnya, sengketa berujung dengan kekalahan pihak Nizar. Syahansyah kemudian
menobatkan Abu Qasim Ahmad sebagai khalifah dengan gelar al-Musta’ly. Para
pendukung Nizar berontak dan muncullah kelompok Nizariyah.
Sejak
saat itu Ismailiyah terbagi pada Nizariyah dan Musta’liyah. Nizariyah mengambil
markas besarnya di Benteng Alamut. Adapun Musta’liyah tetap di Cairo, Mesir.
Dendam kesumat dalam diri kaum Nizariyah terhadap Fatimiyah tumbuh subur.
Mereka memiliki gerakan mata-mata yang sangat ulung. Banyak korban pembunuhan
para pembesar akibat ulah mereka. Puncaknya ketika pasukan rahasia Nizariyah
berhasil membunuh khalifah kesepuluh Dinasti Fatimiyah, al-Amir bi Ahkamillah (
1130 ).
Berawal
dari pemberontakan atas khalifah Fatimiyah, Nizariyah akhirnya menjadi sekte
yang memiliki pasukan pembunuh bayaran yang terlatih. Mereka siap membunuh diri
jika ketahuan. Bahkan tidak takut membunuh korban di depan umum. Di pasar atau
di masjid sekalipun. Senjata mereka yang paling terkenal adalah sebilah golok
kecil.
Sekte ini
berdiri cukup lama. Sejak tahun 1090 hingga 1256. Sudah banyak yang menjadi
korban kebrutalan mereka, di antaranya : Nizam al-Mulk ( 1092 ), Perdana
Menteri terkenal Dinasti Saljuk. Perdana Menteri Fatimiyah, al-Afdhal
Syahansyah ( 1122 ), para penguasa Salibin, Raymon II penguasa Tripoli ( 1152 )
dan Conrad of Montferrat ( 1192 ).
Dengan
kekalahan yang menimpa Nizariyah atau Thaifah Islamiyah di Iran, sekte kejam
ini musnah dari permukaan bumi.
Wallahu
a’lam bish-shawab.