Pages

Tuesday 11 November 2014

ALHAMDULILLAH SAYA SUDAH DAPAT KARTU SAKTI!

ALHAMDULILLAH SAYA SUDAH DAPAT KARTU SAKTI!
Ngomongin 'kartu sakti' pasti yg kebayang langsung wajah Bapak Negara kita ( Red: Pak Jokowi ). Yang konon katanya mau naikin harga BBM ( Bukan Blackberry Messenger ) di Indoneisa trus di alihkan ke sektor yg lebih produktif ( katanya )
Sy sih gak masalah dg kenaikan harga BBM(toh sy tinggalnya gak di indonesia), sekalipun rada gelisah jg sih dg nasib rakyat miskin nantinya. Tp yg lebih menarik, kabar pembuatan 'Kartu Sakti' oleh bapak negara kita yg katanya itu salah satu bentuk pengalihan kenaikan harga bbm. 
Sebut saja Kartu Indonesia Pintar, Kartu Keluarga Sejahtera dan Kartu Indonesia Sehat. 
Dari 3 kartu ini, yg paling menarik hati sy sih KIP ( secara, sy kan pelajar ).
Konon katanya kartu ini di bagikan utk rakyat miskin. Yg trbayang di benak sy otomatis mreka2 para pengemis, pemulung, gak pnya rumah, atau kehidupan mreka yg sangat2 pas pas-an. Kalo itu yg di maksud, wah bakal bikin jutaan kartu nih!  ( iyalah! Wong ada jutaan makhluk seperti itu di indonesia )

Penasaran jg sih, pengen ikut ngerasain atmosfer pembagian si 'kartu sakti' di tanah airku ( tidak kulupakan ~~ *sing* ) itu. Heboh gak ya? Rebutan gak ya? Adil gak ya? Untuk ranah sepak bola saja masih suka tawuran ( pasca kemenangan persib yg katanya udah bertahun2 gak menang, ada serangan menimpa salah satu pihak) apalagi pembagian 'uang' dlm bentuk kartu yg rada sensitif.
Tapi sy berdoa saja lah yg terbaik buat negara tercinta. Niat baik bapak negara insyaAllah berbuah baik juga. Amin.

Tapi jujur, bukan kartu sakti ini yg sy dapatkan. Meskipun sy pengen punya jg. Lumanyun meringankan beban keluarga yg baru saja kehilangan rumah (hiks). Tapi emg rezki Allah itu selalu datang dr arah yg tak di duga.
Well, dapetin 'kartu sakti' yg satu ini gak mudah loh. Butuh perjuangan jiwa raga. Lahir batin. Rohani jasmani.
Loh kok bisa?
Ohyajelas! Pertama: kita harus mengikuti seleksi dari ribuan calon pemegang kartu dari berbagai mancanegara ( seleksinya di tempat masing2 sih )

Kalo lolos, baru kita beranjak ke tahap selanjutnya.
Menyebrangi samudra luas meninggalkan kampung halaman utk menjemput si kartu. Hiks. Bagian ini nih yg paling berat. Secara, pisah sm ortu bray! Udah dulunya 6 tahun pisah krna harus 'menjara suci' dlu. Eh, skrg pisah lg. 


Belum selesai sampe dsna, kita masih terikat kontrak 4 tahun (paling bentar) kalo udh nerima si kartu. 
4 tahun gak pulang2?? Itu sesuatu bgt sist! :|

But, anyway by way alhamdulillah ini kartu sakti ke 4 yg sy pnya selama 3 thn lebih sy disini. 
Diantara 4 kartu yg sy pnya,baru krtu ini yg foto, style, bentuk, dan design nya agak keren dikit. Jadi pede lah bagi2 kisah ke temen2 dumay sy yg insyaAllah berbahagia semua ini. 


InsyaAllah kartu ini akan menjadi kartu terakhir sy di bangku sarjana ( Kan kontraknya cm 4 tahun  ). Dan insyaAllah jg, ada kartu baru lg tahun depan, dg design beda dan lebih mewah utk level Megister. ( ya Rabb!! )
Terimakasih Al Azhar Kairo, atas kesempatan yg kau berikan utkku belajar bersamamu agar dapat berbakti pd agama dan umat.
Tak Lelah Kalau Lillah! 
Malam Kairo.

Monday 20 October 2014

Adik Bendahara

Sepanjang hidup saya, angka itu selalu memusingkan.
Dulu saya memang sangat suka matematika. Saat masuk SMP, saya mulai memusuhinya.
Trnyata benar, cara mengajar guru itu sangat berpengaruh trhadap murid. Mungkin dlu guru saya ogah-ogahan ngajarnya.
Sampe pernah suatu hari sy protes. Sy kritik gaya ngajar guru sy yg menurut sy terlalu rumit. Beliau mencoba menerapkn gaya belajar-mengajar antara dosen dan mahasiswa. Lah, sedang waktu itu kami masih SMP. Sontak aja saya protes.

Saya sempet bersyukur, ditempat kuliah sy ini (al Azhar Univercity ) sy gak bertemu dg yg namanya hitung-hitungnya. But, lagi-lagi benar kata orang bijak 'manusia tdk akan prnah lepas dg angka'. Mau tidur aja musti nengok angka jam. Mau beli sesuatu nyodorin sejumlah angka uang.
Kali ini, sy diberi amanah memegang jabatan bendahara di suatu kepanitiaan. Awalnya saya di panggil 'Bu Bendahara'. Tapi.saya gak terima. Toh, sy masih muda. Termasuk yg paling muda diantara smua panitia malah. Jadi sy memanggil diri sy dg sebutan 'Adik Bendahara'

Rencananya, acara yg dinamakan 'Kampoeng Pelajar' ini akan diadakan mulai senin pagi ini sampe rabu di daerah Fayoum.
Sebenarnya konsep acaranya udah bagus banget, tp emang saya yg apes kali ya. Dapet jabatan yg gak mudah di kondisi yg memang lg krisis ekonomi. Jadilah sy pusing tujuh keliling di tambah maju mundur 3x. :-SS

Tapi 'ala kulli haal
Moga acara besok dan seterusnya lancar. Baik-baik saja. Tdk ada hambatan sampai akhir. Amin

Ohya, utk acara kali ini sbnernya sy pnya 3 profesi sekaligus. Pertama: Adik Bendahara. Kedua: Pemandu. Ketiga: Observer.

Pengalaman itu PROSES! Semangat LILLAH! ;-)

Wednesday 15 October 2014

Ersyie Al-Hamidy: Lembayung Cinta

Ersyie Al-Hamidy: Lembayung Cinta: "Lembayung Cinta" Lagi-lagi aku harus bercerita padamu. Berkisah denganmu. Berhikayat bersamamu. Kamu tau? Aku dan kamu ...

Wednesday 8 October 2014

Lembayung Cinta


"Lembayung Cinta"

Lagi-lagi aku harus bercerita padamu. Berkisah denganmu. Berhikayat bersamamu. Kamu tau? Aku dan kamu laiknya teko dan gelas. Aku tekonya, dan tentu saja kamu gelasnya. Aku hanya menumpahkan semua yang ada dalam diriku tanpa peduli gelasmu penuh atau malah isinya tumpah keluar. 

Egois? Ya! Aku memang terlalu egois untukmu. Tapi kamu terlalu lembut untuk tetap tersenyum menyambut keegoisanku.


Itulah aku dan kamu! Laksana bumi yang tak pernah menemukan pengganti berkeluh kesah pada bulan. Kamu mungkin sudah lelah mendengarku. Senang, sedih, marah, kesal dan semua rasaku yang kamu tau bagaimana itu. Tapi sekarang sudah berbeda. Ada yang berubah dari sikapmu. Kenapa kamu hanya diam saja tiap kali aku bercerita? Kamu marah padaku? Atau kamu mulai bungkam semenjak aku bercerita tentang dia?
***
Penghujung musim panas memang waktu yang pas untuk bersantai di sini. Di samudera pasir tak bertuan, di belahan bumi bagian timur tengah. Sebagian manusia senang menghabiskan waktu mereka di sini. Sekedar melepas penat atau untuk merenungi salah satu keajaiban ciptaan Tuhan. Di sinilah, kesombongan manusia tidak ada gunanya. Keangkuhan musnah tertimbun rasa malu dan  kerdil di hadapan Sang Pencipta.

Siang itu, segerombolan anak manusia mengujungiku. Kali ini dalam jumlah yang banyak. Dari kejauhan aku menghitung mereka yang turun dari bus besar berwarna gelap. Ada sekitar 43 orang, setengah di antaranya masih remaja dan berjalan berpasang-pasangan. Pada awalnya mereka berkumpul tak jauh dari tempat bus mereka diparkir. Tampak seorang laki-laki bertopi dan memakai jeans selutut sedang berbicara dengan pengeras suara kearah mereka. Bisa ditebak, dia pasti seorang pimpinan rombongan.  

“Ada yang datang” celetuk Angin menghampiriku dari arah belakang.

“kau terlambat. Aku sudah memperhatikannya sejak tadi” jawabku sekenanya. Angin memang suka bermain sendiri. Pergi ke tempat yang jauh, dan datang sesekali untuk menjengukku di sini. Hari ini aku meminta dia untuk menemaniku sampai matahari terbenam. Aku senang dia menyanggupinya.

5 menit kemudian, anak manusia itu mulai berpencar. Tentu saja aku dan Angin merasa kegirangan. Kami berputar-putar dan mulai mendekat kearah mereka. Mereka sangat bahagia menikmati permainanku bersama Angin. Ku belai lembut ujung rambut mereka, wajah, tangan, kaki, bahkan aku berhasil masuk disela-sela lubang kaos kaki busuk mereka. Permainanku dan Angin memang menarik. Meski mereka seringkali mengedipkan mata menghindari sentuhanku, tapi Angin selalu berhasil membuat mereka menikmatinya.

Hampir saja aku melupakanmu karena terlalu asik bermain bersama Angin. Aku tau kamu ada di sana. Jauh di sana menyaksikanku bermain. Aku coba tersenyum padamu dengan gaya khasku. Seperti biasa, aku akan berputar satu kali ke atas dan perlahan Angin melemparku kearahmu. Biasanya kamu akan membalas senyummu dengan menggerakkan duri yang tertancap tubuhmu.

 Belum sempat aku melihat responmu, Aku bertemu dua anak manusia yang sedang bercengkrama. Mereka berjalan menghampiriku dan Angin. Aku bisa merasakan  kemesraan mereka. Saat mereka saling bergandeng tangan dan saling bertatap mata. Seakan mampu menghangatkan satu sama lain hanya dengan jumpa mata saja. Aku mulai berhenti bermain dan tertarik memperhatikan mereka saat samar-samar aku mendengar salah satu diantara mereka bercerita tentang Laut.

“Siapa itu Laut?” tanyaku pada angin. Aku mencoba menghentikan geraknya, tapi aku gagal.

Angin berputar-putar di sampingku dan menjawab singkat “Dia penguasa air”.

“Pernahkah kamu bertemu dengannya?”

“Tentu” jawabmu masih dengan gerakan yang sama. “Setiap kali aku meninggalkan tempat ini, aku selalu menyempatkan singgah menemui Laut. Tidak seperti dunia kita, Laut mudah ditemui di mana-mana. Bahkan hampir di setiap belahan bumi pasti ada Laut”

“Benarkah? Bisakah aku menemuinya?” pintaku dengan mimik serius. Angin mulai menghentikan gerakannya.

“Kamu memang berbeda dengan saudaramu yang lain. Kamu terlahir dan ditakdirkan untuk hidup di sini. Di tempat segersang ini. Tidak seperti bangsa sejenismu yang banyak tinggal di pesisir pantai, kawasan kekuasan Laut. Mereka bisa mengenal Laut, berbagi cerita, dan saling menguntungkan satu sama lain”

Aku mulai terdiam. Mencoba mencerna kata-kata yang baru saja Angin ucapkan. Sudah sekian lama aku hidup di sini. Sudah jutaan manusia datang mengunjungi duniaku, ini pertama kalinya aku mendengar cerita yang menarik seperti itu.

Aku mulai tertarik mendengar cerita tentang Laut. Sengaja aku berhenti bermain dan mengitari sepasang anak manusia yang di mabuk kasmaran itu. Kupinta Angin untuk bermain di tempat yang lain agar  aku bisa lebih fokus mendengarkan cerita mereka tentang Laut. Saat itu di penghujung musim panas, matahari bersinar ala kadarnya dan tidak terlalu menyengat. Langitpun tampak cerah, seperti juga ikut menyimak cerita itu bersamaku. Sesekali aku mendengar Langit berbisik bahwa ia juga sering menikmati kecantikan Laut. Memandangnya tak berkedip dari atas sana.

“Laut mana yang akan kita kunjungi?” Tanya si gadis berkacamata dengan rambut panjang terurai sebahu kepada kekasihnya. Dia meletakkan kepalanya kepundak sang kekasih dengan manja.

“Di sebelah Timur sana. Konon, di sana salah satu tempat wisata yang di gemari banyak orang” Lalu sang kekasih mulai bercerita tentang Laut yang dia maksud. Aku menyimak seakan aku menyaksikan keindahan Laut bersama mereka. Entah seperti apa wujud Laut itu sebenarnya.

Dapat kubayangkan betapa cantiknya Laut itu. Biru warnanya luas membentang. Keindahannya sejauh mata memandang. Ombak yang berkejaran di tepian pantai. Saat matahari terbenam, kecantikannya semakin sempurna ditambah sketsa lembayung senja yang memberi rona merah jingga keemasan kepada bumi. Bahkan cerita yang aku dengar dari mereka, hampir setiap menit manusia selalu mengunjunginya. Tentu saja tidak sepertiku, manusia hanya mau mengunjungiku saat tidak sedang puncak musim panas.

Aku semakin terhipnotis akan kecantikan Laut. Padahal sekalipun tak pernah aku berjumpa dengannya. Seumur hidupku aku habiskan disini. Yah, di duniaku yang gersang ini. Siang dan malam aku habiskan bermain bersamamu, Angin, dan segerombolan anak manusia ketika mereka mengunjungiku. Itu saja.

Aku tersadar dari lamunanku saat sepasang anak manusia itu pergi. Mungkin waktu berkunjung mereka sudah habis. Dan mereka harus melanjutkan tamasya mereka ke tempat yang lain. Bayang-bayang cerita mereka seperti tertinggal di tempat di mana mereka duduk. Menyisakan tanda tanya. Tiba-tiba aku resah. Rasanya ingin mendengar cerita tentang Laut lebih lama. Menahan sepasang kekasih itu untuk bercerita lebih banyak di sini.

***

Seperti ada yang aneh dalam diriku. Sejak saat itu, cerita-cerita tentang Laut lebih menarik perhatianku daripada bermain bersama Angin. Bahkan saat Angin mengajakku bermain bersama segorombolan anak manusia, aku lebih memilih menjauh ke tempat lain. Apa aku jatuh cinta pada Laut? Jatuh cinta pada kecantikannya yang abstrak. Jatuh cinta pada keindahannya yang hanya aku lihat dengan telingaku saja. Mata dan logikaku tidak berfungsi. Atau aku sudah mulai gila? Entahlah!

Saat langit mulai keemasan. Matahari berpamitan denganku dan berjanji akan menemaniku bermain lagi esok hari. Seperti biasa, yang ada hanya kesunyian. Tidak ada suara selain suaraku, Angin, dan desah nafasmu. Tentu saja saat malam datang, tidak akan ada anak manusia yang mau bermalam ditempat ini. Kecuali segelintir orang yang terpaksa berteduh disini karena harus melakukan perjalanan  jauh.

Aku bercerita semuanya padamu. Tentang sepasang anak manusia, tentang kemesraan mereka dan tentang Laut. Aku juga memberitahumu sebesar apa rasa kagumku padanya. Aku benar-benar ingin berjumpa dengannya. Menyaksikan keindahannya langsung di sana. Aku terus bercerita di depanmu sambil menjelaskan angan-anganku menemui Laut.  Mengitari tubuhmu yang berdiri tegak. Membelai duri-duri tajam yang tertancap di tubuhmu.

Aku masih ingat saat seorang anak kecil bertanya pada ibunya tentang dirimu. “Ibu, kenapa pohon kaktus itu bisa bertahan hidup sendiri di sini?”

 Katanya. Ah, andai saja dia bisa mendengarku. Tentu akan aku jawab “Kaktus tidak pernah sendiri, dia bisa bertahan karena ada Aku, si Pasirmu dan Angin”.

Biasanya kita akan saling membela. Tapi tidak untuk senja itu. Gerakanku terhenti saat aku sadar bahwa kamu tidak merespon apapun. Bahkan tidak dengan senyum yang biasa aku lihat saat kamu sedang mendengarkan semua kisahku. Berulang kali aku tanyakan kenapa kamu bisu. Kamu hanya melirikku. Dan semua lamunanku tentang Laut buyar seketika saat aku mendengar jawabanmu.

“Aku lebih dulu mengagumimu jauh sebelum kamu mengagumi Laut. Tapi Aku sadar, semua ini hanya sebatas kekaguman. Seperti kamu memandang kagum Laut dari jauh, seperti itu pula aku memandangmu kagum dari sini. Jauh dan tanpa pernah bisa bersatu”

Katamu sore itu. Ah, ternyata ini alasan kamu lama mendiamkanku. Ini sebab kamu bungkam tiap kali aku ajak bercerita.

Aku mengalihkan pandangaku menatap Lembayung Senja di ufuk barat. Rona merah jingga pada tubuhnya memancarkan kesejukan. Berbagi sinar penuh cinta tanpa belas kasih. Dia mencoba menghiburku dengan melebarkan sinarnya ke penjuru langit. Aku tersenyum kecut.

Aku sadar, cinta dan kekaguman seperti lembayung yang kamu miliki, Senja. Indah dan dipuja saat ia bertahta menghiasi cakrawala. Dikagumi manusia, dipuja bumi saat pesona lembayungmu menguasai ufuk barat. Mereka akan tersadar bahwa kamu tidak selamanya bisa dimiliki saat malam merenggut tempatmu. Memaksamu pergi meski mereka tak rela.

Kamu benar, Senja. Andai aku lebih mendengarmu kala itu. “Anugrah terbesar untuk kita adalah dapat saling mengagumi, meski dari jarak yang jauh”

Garis Pengembara: AKTIVIS? Pilihan atau Tuntutan?

Garis Pengembara: AKTIVIS? Pilihan atau Tuntutan?: AKTIVIS? Sebagai seorang pelajar atau mahasiswa, kata aktivis itu udah gak asing lagi di telinga. Biasanya, ketika bnayak ngikut kelas t...

Sunday 10 August 2014

AKTIVIS? Pilihan atau Tuntutan?


AKTIVIS?
Sebagai seorang pelajar atau mahasiswa, kata aktivis itu udah gak asing lagi di telinga. Biasanya, ketika bnayak ngikut kelas tambahan di SMA, teman-teman langsung manggil 'aktivis'. Atau contoh sederhana yang pernah sy jumpai, ketika nemu seseorang yang dimana-mana ‘ada’. Entah adanya karena dia memang suka kemana-kemana gak jelas, atau memang dia banyak kegiatan, eh orang-orang tiba-tiba bilang "ciiee cieee, aktivis niye"

Nahlo, Sebenarnya aktivis itu apa sih?
sy setuju kalau ada yg bilang, definisi sebuah kata gak melulu diartikan sesuai dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia. Sebuah kata juga bisa kita definisikan melalui pengalaman. Tapi gak ada salahnya kan kalau kata 'aktivis' kita artika sesuai Kamus Besar Bahasa Indonesia dulu setelah itu baru ditinjau dari pengalaman yang ada.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, aktivis adalah "orang (terutama anggota organisasi politik, sosial, buruh, petani, pemuda, mahasiswa, wanita) yg bekerja aktif mendorong pelaksanaan sesuatu atau berbagai kegiatan di organisasinya" atau bisa diartikan juga "seseorang yg menggerakkan (demonstrasi dsb)". Seorang aktivis juga bisa kita sebut 'tokoh', 'penggerak', atau 'penggagas'. Yang artinya, seorang aktivis itu adalah penggerak, tokoh, dan penggagas yang bergerak di seuatu organisasi dengan menyumbangkan tenaga dan fikiran demi mewujudkan visi dan misi yang ingin dicapai.

Kalau ditinjau dari segi pengalaman (terutama pengalaman penulis), aktivis itu bisa dibagi menjadi dua bagian. 
ada aktivis dalam hal positif dan ada aktivis dalam hal negatif. Loh, emang bisa? ya bisa aja lah! Begitu halnya kehidupan, ada siang ada malam. ada baik ada buruk. Seorang aktivispun gak semuanya bekerja dalam hal yang baik. Aktivis dalam hal negative contohnya aktivis  preman di pasar. Keliling kesana kemari buat malakin orang-orang lemah. Atau aktivis mucikari, kemana-mana nyari gadis gadis polos biar mau di ajak kerja di kota dengan di iming-imingi mereka bakal dapat gaji yang besar kalau mau berkerja dengannya. Atau para koruptor, atau pembelot-pembelot Negara yang pandai bersilat lidah. Mereka juga aktivis kan? Karena meraka adalah seorang penggerak yang mencurahkan tenaga dan fikiran untuk mencapai tujuan mereka, tapii dalam hal negatif.

Akan tetapi,  aktivis dalam hal kebaikan juga gak kalah banyak. Contohnya kaya aktivis rohis di banyak sekolah Indonesia. Para pelajar baik yang masih menengah pertama atau menengah atas berlomba-lomba bergerak dalam kebaikan. Para mahasiswa banyak yang bergabung dalam organisasi-organisasi untuk membangun bangsa. Ibu-ibu pengajian yang bergerak dalam bidang dakwah di banyak desa dan kelurahan. dan masih banyak lagi contoh para aktivis yang memiliki peran aktiv dalam membangun agama dan bangsa mencapai cita nya yang luhur. 

Gak semua orang bisa menjadi aktivis. Nahlo? Kenapa?
Karena menjadi aktivis itu adalah naluri atau karakter yang memang sudah tertanam dalam diri manusia. Ada yang memang suka berkegiatan, pergi kesana-kemari, dikenal banyak orang de el el. Bahkan dalam seminggu dia hampir gak punya waktu libur. Istirahatnya hanya ketika tidur malam.  Dan yang sebaliknya juga banyak. Orang-orang yang gak suka berkegiatan di luar. Hobinya menghabiskan waktu di rumah, atau hanya memilik satu tujuan ketika keluar rumah. Kantor-rumah-kantor-rumah. kampus-rumah-kampus-rumah. Fix! Gak kemana-mana lagi. Gak suka ketemu orang banyak, lebih memilih duduk di rumah menamatkan komik atau buku bacaannya, atau hanya sekedar menghabiskan daftar film yang belum di tonton. 
orang yang menghabiskan waktunya di rumah gak semuanya negatif. Ada juga profesi yang menghabiskan waktu di rumah saja. Contohnya? penulis. kerjaannya di rumah, ngetik, ngirim tulisan, dapet honor. Gampang kan? tapi bibit dan bobotnya jelas! :D

Menjadi seorang aktivis itu adalah paksaan??
Gak juga! Seperti yang saya sebutkan sebelumnya, aktivis itu adalah naluri yang ada dalam diri seseorang. Seorang aktivis sejati gak bakal pernah merasa bosan atau terbebani dengan kegiatannya yang sekaliber itu. Banyak kok kasus, seorang aktivis yang dipaksa berhenti dari semua kegiatannya malah jatuh sakit, atau seorang mahasiswa yang dikenal rajin dan pandai oleh dosennya mendadak telat mengumpulkan skripsinya hanya karena dia meninggalkan seluruh kegiatannya. 
Artinya, aktivitas dan kegiatan bagi seorang aktivis itu seperti sebuah pemicu bagi hidupnya. Seorang aktivis sejati menjadikan segala aktivitasnya sebagai ladang menambah pahala atau cambuk semangat agar sekolah dan kuliahnya lancar.  Dan juga sebagai wadah menyambung silaturahmi, menambah saudara seiman yang memiliki satu visi dan misi dalam mencapai suatu tujuan. Banyak hal positif yang bisa didapat dari seorang aktivis. Tergantung bagaimana kita menyikapi segala aktivitas yang dijalani.

Ohya, Seperti saya sekarang, yang mendadak menjadi orang linglung di rumah karena gak ada kegiatan. Rasanya otak dan badan sakit semua ketika kosong dari aktivitas di luar rumah. Mungkin saya masuk dalam barisan salah satu aktivis di sini (Red : Kairo). :D
Tapi satu catatan penting yang saya dapat dari pengalaman saya menjadi seorang aktivis. Jangan menjadi aktivis 'tong kosong nyaring bunyinya'. Atau menjadi aktivis pengekor senior-senior yang kerjaannya hanya mengikuti intruksi dari atasan. Sudah saatnya menjadi aktivis yang memberi manfaat dan faedah untuk orang lain. Caranya dengan mengisi sebanyak-banyak ilmu dalam diri kita dan memperindah diri dengan akhlak mulia. Dengan harapan, Semoga suatu saat bisa menjadi aktivis, tokoh, penggerak dan penggasas yang mampu beramar makruf nahi mungkar dalam membela agama dan bangsa.
dan sepertinya, sy masuk barisan ini dulu. pengisi daya ilmu, sampai suatu saat daya sy di gunakan orang lain. :)
Wallahua'lam bisshawab


Cat : ini hanya opini dari penulis. Hal-hal yang tidak di setujui silahkan bantah dg opini juga. :)

Monday 30 June 2014

Sejarah Ringkas Syi’ah

Secara garis besar Syi’ah dipersatukan satu doktrin, meyakini ada imam setelah Nabi wafat dan imam itu diwarisi oleh keturunan Rasulullah yaitu anak-anak Fatimah binti Rasulullah dan Ali bin Abi Thalib. Ketika Persia ditaklukkan, di antara tawanan terdapat tiga putri Khusro. Salah seorangnya dinikahkan dengan Husain bin Abi Thalib. Pernikahan itu menghasilkan Ali Zainal Abidin. Rakyat Persia menemukan kembali harga dirinya sebagai bangsa yang besar. Darah kenabian dan darah kekaisaran Persia mengalir pada keturunan Husain. Itu sebabnya Syi’ah lebih memuliakan keturunan Husain daripada Ahli Bait yang lain.
Akan tetapi, hal itu tidaklah mutlak. Ada pengecualian bagi Syi’ah Zaidiyah. Mereka juga mengangkat imam dari keturunan Hasan bin Abi Thalib. Zaidiyah bahkan dikenal lebih dekat dan lebih moderat terhadap Kaum Syafi’i dan Hanafi, tapi tak lepas dari unsur Fiqh Ja’fary. Secara akidah, Syi’ah Zaidiyah mirip dengan Mu’tazilah meski tetap saja berbeda.
Di antara tiga kelompok besar Syi’ah yaitu Syi’ah Imamiyah (Itsna Asyariyah), Syi’ah Ismailiyah dan Syi’ah Zaidiyah, Syi’ah Imamiyah memiliki jumlah terbanyak, selanjutnya Syi’ah Ismailiyah kemudian diikuti Syi’ah Zaidiyah. Perbedaan mendasar mereka ditengarai oleh pengangkatan imam. Adapun urutan imam tersebut adalah :
Pertama       : Ali bin Abi Thalib (600-661)
Kedua          : Hasan bin Ali ( 625-669 )
Ketiga         : Husain bin Ali ( 626-680 )
Keempat      : Ali bin Husain ( 658-713 )
Kelima          : Muhammad bin Ali ( 676-743 )
Keenam        : Ja’far bin Muhammad ( 703-765 )
Ketujuh        : Musa bin Ja’far ( 745-799 )
Kedelapan    : Ali bin Musa ( 765-818 )
Kesembilan   : Muhammad bin Ali ( 810-835 )
Kesepuluh    : Ali bin Muhammad ( 827-868 )
Kesebelas    : Hasan bin Ali ( 846-874 )
Kedua belas  : Muhammad bin Hasan ( 868-? )
Syi’ah Imamiyah meyakini pada kedua belas imam. Adapun imam terakhir lenyap tanpa ketahuan rimbanya. Konon imam itu akan kembali lagi sebagai al–Mahdi. Sedangkan Syi’ah Ismailiyah bersitegang pada pengangkatan Ismail sebagai imam ketujuh yang sah. Ismail telah ditunjuk sebagai pengganti ayahnya Ja’far bin Muhammad. Sayangnya, Ismail lebih dahulu wafat daripada ayahnya.
Dengan wafatnya Ismail, Syi’ah Imamiyah lantas memindahkan kursi kekhalifahan kepada saudaranya Musa bin Ja’far. Akan tetapi Syi’ah Ismailiyah tidak mau mengakuinya dengan dalih pangkat seorang imam tidak bisa dipindahkan begitu saja pada saudaranya. Imam tetap harus diwarisi dari ayah ke anak lelaki tertua. Oleh karena itu, Syi’ah Ismailiyah lebih memilih mengangkat keturunan Ismail sebagai imam mereka selanjutnya. Mereka sangat teguh dalam prinsip imam diwarisi dari ayah ke anak lelaki tertua. Selain sebutan Ismailiyah, mereka juga dikenal sebagai Syi’ah Sab’iyah atau Syi’ah yang percaya pada tujuh imam.
Dari segi kedaulatan dan kekuasaan Syi’ah Ismailiyah adalah yang paling berjaya. Syi’ah yang lain memang pernah berkuasa, tapi itu didapatkan dengan mendomplang dan bukan berdiri sendiri. Sedang Syi’ah Ismailiyah berhasil mendirikan dinasti dengan dasar Negara Syi’ah Ismailiyah yang lebih dikenal dengan dinasti Fatimiyah di Mesir. Pada dasarnya, mereka bukan di Mesir. Fatimiyah awalnya berdiri di Afrika Utara, sekitar kawasan Maghrib bagian timur. Abdullah al-Mahdi Billah mengaku punya garis keturunan dengan Rasulullah melalui pasangan Fatimah dan Ali bin Abi Thalib. Dengan doktrin itu, ia berhasil menggalang kekuatan dan menjadi khalifah pertama Fatimiyah tahun 909 M / 297 H. oleh karena itu dikenal dengan dinasti Fatimiyah.
Oleh karena Syi’ah Ismailiyah sangat kukuh soal ahli waris, akibatnya banyak khalifah yang naik tahta pada usia dini. Selama menunggu khalifah dewasa, pemerintahan diwakilkan pada dewan menteri. Dengan kata lain, pada saat itu para menteri lah yang menjadi khalifah dan memiliki kuasa yang besar. Hal itu juga memiliki sisi positif yang menguntungkan khalifah. Di antaranya potensi sengketa peralihan tahta dapat diminimalisir dan tidak ada klaim atau protes pada penunjukan ahli waris. Konflik antar-keluarga kerajaan juga tidak banyak terjadi karena sudah jelas yang hanya boleh menjadi khalifah adalah anak lelaki tertua.
Jalan kehidupan tidak selamanya mulus. Adakalanya lika-liku kehidupan menjadi saksi bahwa hidup tidak berdasarkan kehendak manusia semata. Begitupula yang terjadi pada Syi’ah Ismailiyah. Selama dua abad mereka mempertahankan prinsip ahli waris dalam kekhalifahan, ada saja yang mencoba melenceng dari aturan itu. Secara keseluruhan, ada empat belas khalifah yang mengatur dinasti Fatimiyah. Dan sudah tiga kali terjadi peralihan kuasa tidak pada putra khalifah.
Peristiwa pertama, khalifah keenam al-Hakim bi Amrillah ( 996-1020 ) menunjuk keponakannya Abdurrahim bin Ilyas sebagai pewaris tahta. Usaha ini berhasil digagalkan oleh saudara perempuan khalifah sendiri yaitu Sitt al-Malik. Dia bahkan berhasil mendalangi pembunuhan Abdurrahim bin Ilyas. Tahta selanjutnya dikembalikan pada yang berhak yaitu anak khalifah az-Zahir Li I’zazi Dinillah.
Peristiwa kedua, khalifah kesebelas al-Hafidz Li Dinillah ( 1130-1149 ) naik tahta secara kontroversial karena posisinya sebaga saudara sepupu khalifah. Hal itu kembali terulang oada al-‘Adhid Li Dinillah 9 1160-1171 ) khalifah keempat belas juga sebagai sepupu khalifah sebelumnya.
Peristiwa ini tentu sangat menghebohkan dinasti Fatimiyah. Sejak saat itu Fatimiyah berangsur-angsur melemah. Banyak terjadi perpecahan dan pihak-pihak yang berseberangan. Militer Negara dan keluarga kerajaan sering kali bersitegang.
Pada awalnya, Dinasti Fatimiyah semakin maju dan sangat cepat berkembang. Seluruh Maghrib yang luas itu telah di kuasai, bahkan pada tahun 969 M / 358 H Ismaliyiah berhasil mengalahkan Dinasti Ikhsyidiyah di Mesir. Empat tahun sesudahnya Cairo resmi menjadi ibu kota baru bagi dinasti Fatimiyah. Dinasti ini bertahta hampir dua abad, dari tahun 909-1171. Sampai akhirnya Salahuddin Ayyubi bersama pamannya Asaduddin Syirikuh mengambil alir Mesir. Salahuddin mendirikan dinasti Ayyubiyah. Dia mengubah madzhab negara dari Syi’ah kembali ke Sunni.
Malangnya, kejeniusan Salahuddin tidak diwarisi keturunannya. Dinasti Ayyubiyah tak bertahan lama. Usia dinasti ini bahkan tidak sampai satu abad. Mereka berkuasa dalam kurun waktu 1171-1250 sampai selanjutnya digantikan oleh dinasti Mamalik.
Adapun bagi Syi’ah Zaidiyah, siapa saja yang punya kapasitas mumpuni menjadi imam, dia berhak diangkat menjadi imam. Mereka berbeda dalam urutan imam kelima. Zaidiyah lebih mengakui imam Zaid bin Ali daripada Muhammad bin Ali. Menurut mereka, imam Ali bin Abi Thalib dan Husain bin Ali telah memberi contoh bagaimana seorang imam harus bersikap hingga menjadi syahid.

Sekilas tentang Thaifah Islamiyah…
Sejarah telah mencatat, pada tahun 1256 M panglima perang tentara Mongol Hulagu Khan dengan jutaan bala tentaranya menyerang Thaifah Islamiyah di Iran. Perang yang dimenangkan oleh tentara Mongol setelah mengepung selama berhari-hari ini menjadi catatan keruntuhan Thaifah Islamiyah yang selama dua abad lamanya berkuasa di bumi. Tentara Mongol atau biasa disebut tentara Tartar memang terkenal dengan kebengisannya. Mereka membunuh tanpa ampun. Laki-laki, wanita, tua-muda tanpa mengenal belas kasih mereka musnahkan seluruhnya.
Thaifah Islamiyah di Iran saat itu dikenal sebagai sempalan atau pembelot dari Ismailiyah Fatimiyah. Mereka dikenal luas sebagai Nizariyah. Nizariyah sendiri lahir dari konspirasi para menteri dan pertikaian para menteri yang menyebabkan keruntuhan Fatimiyah. Para menteri tidak hanya menikmati pengaruhnya seumur hidup, namun juga turun temurun. Keturunan para menteri biasanya diangkat juga sebagai menteri. Tak ayal mereka seakan menciptakan dinasti mereka sendiri yang terselubung.
Pada penobatan khalifah kesembilan terjadi sengketa hebat antara pangeran mahkota dan perdana menteri. Nizar, anak tertua yang ditunjuk ayahnya sebagai khalifah tidak diakui oleh Syahansyah, sang menteri. Syahansyah yang memang sejak lama bertikai dengan Nizar lebih memilih Abu Qasim Ahmad, anak bungsu khalifah. Malangnya, sengketa berujung dengan kekalahan pihak Nizar. Syahansyah kemudian menobatkan Abu Qasim Ahmad sebagai khalifah dengan gelar al-Musta’ly. Para pendukung Nizar berontak dan muncullah kelompok Nizariyah.
Sejak saat itu Ismailiyah terbagi pada Nizariyah dan Musta’liyah. Nizariyah mengambil markas besarnya di Benteng Alamut. Adapun Musta’liyah tetap di Cairo, Mesir. Dendam kesumat dalam diri kaum Nizariyah terhadap Fatimiyah tumbuh subur. Mereka memiliki gerakan mata-mata yang sangat ulung. Banyak korban pembunuhan para pembesar akibat ulah mereka. Puncaknya ketika pasukan rahasia Nizariyah berhasil membunuh khalifah kesepuluh Dinasti Fatimiyah, al-Amir bi Ahkamillah ( 1130 ).
Berawal dari pemberontakan atas khalifah Fatimiyah, Nizariyah akhirnya menjadi sekte yang memiliki pasukan pembunuh bayaran yang terlatih. Mereka siap membunuh diri jika ketahuan. Bahkan tidak takut membunuh korban di depan umum. Di pasar atau di masjid sekalipun. Senjata mereka yang paling terkenal adalah sebilah golok kecil.
Sekte ini berdiri cukup lama. Sejak tahun 1090 hingga 1256. Sudah banyak yang menjadi korban kebrutalan mereka, di antaranya : Nizam al-Mulk ( 1092 ), Perdana Menteri terkenal Dinasti Saljuk. Perdana Menteri Fatimiyah, al-Afdhal Syahansyah ( 1122 ), para penguasa Salibin, Raymon II penguasa Tripoli ( 1152 ) dan Conrad of Montferrat ( 1192 ).
Dengan kekalahan yang menimpa Nizariyah atau Thaifah Islamiyah di Iran, sekte kejam ini musnah dari permukaan bumi.

Wallahu a’lam bish-shawab. 

Sunday 29 June 2014

Buatkan Aku Cerita, Mah!

"buatkan aku cerita Mah" itu pintamu, sore itu.
maaf sayaang.. bukan aku enggan
aku hanya tak ingin memenuhi pintamu yg ini
membuat-buat cerita tentangmu, tentang kita

karena kisah kita nyata. bukan rekayasa
bukan pula sengaja di buat-buat agar laku jual
atau agar orang lain memuji kisah kita yg sekali lagi, di buat-buat.
ini kisah kita! nyata terjadi sore tadi!

"kamu mau es krim rasa apa?"
"chocolate-vanilla aja, kamu?"
"yg itu aja"
-aku lupa apa namanya, seingat lidahku es krim milikmu rasa capuccino di taburi sedikit kacang-
aku tau, aku tidak terlalu suka dg es krim. kamu pun tau itu, tp karena itu mau mu. aku ikut saja. kapan lagi? pikirku.
walaupun kita membeli es krimnya dua, tapi tetap saja aku hanya mencicipinya sedikit. aku tau kamu penggila es krim, dg ikhlas aku serahkan saja sisa es krimku utk kamu habiskan.
kamu tau? lucu juga melihat ekspresi lahapmu menghabiskan eskrim. ( eh, tapi aku lupa kapan kamu menghabiskan es krim keduamu. seingatku, tiba-tiba saja sudah habis )

Sore itu, kita habiskan waktu mengelilingi mall yg hanya berlantai empat. tidak terlalu besar, tapi cukup utk kita berdua menghabiskan waktu bersama.
kamu sudah terlalu sibuk dg duniamu, begitu pula aku. waktu seperti ini memang sangat langka. yah di manapun, asal kita bisa tertawa bersama.

Ohya, ini aku hadiahkan satu oleh-oleh menarik dari perjalanan kita sore ini. Foto ini. kamu ingatkan?
kamu bilang, kamu terlalu tegang memegang pistol itu. padahal itu cuma mainan. jujur aku ingin tertawa lepas, tapi takut kamu ngambek.

"aku puas dg permainan sore ini!"
"ah masa? yg penting udah tau kan seberapa cool-nya aku mengalahkan musuh2ku?"
aku membuat suaraku sedikit agak menggoda.
"iya, tapi di permainan kedua aku tetap yg bertahan lebih lama. karena aku sudah mulai bisa rilex menahan pistol-pistolan itu"
sanggahmu tertawa renyah.

Bahagiaku sore ini bisa berbagi kebahagiaan bersama.
walau di antara kita, pastilah menyimpan sepotong kisah kehidupan yg suram.
ini kisah kita. bukan rekaya, atau sengaja di buat-buat.
biar mereka cemburu. biar mereka iri melihat kita.
kapan-kapan kita pergi lagi yah? agar aku bisa menulis kisah yg baru bersamamu.

:)

dari sahabatmu. 
Kairo, 26 Juni 2014

Monday 14 April 2014

Hujan Di Mata Amak

HUJAN DI MATA AMAK[1]
Kakiku sudah lelah melangkah. Terlihat dari goresan luka memenuhi jemarinya. Tumitnya saja sudah pecah. Baunya menyengat. Hidungku mengernyit tiap kali aku membuka sepatu lusuhku. Aku menghabiskan waktu menyusuri jalanan ramai di kota Jakarta. Bibirku kering dan pecah-pecah. Mukaku pucat pasi. Langkahku bahkan tak tahu lagi harus kemana. Jakarta Selatan, Timur, Utara, Barat, semua pernah ku jamah. Otakku tak mampu lagi mengingat apa-apa. Yang aku ingat hanya kampung halamanku, Harau[2]. Dan  Amak.
 “Dunia ko tentang hidup dan mati, Nak! Ado nan layia dan ado nan mati. Kelahiran, jodoh, rasaki dan kematian alah tacatat di lauhul mahfudz jauah sabalun Amak manganduang waang. Baitupun jo Apak[3]. Ujar Amak menatapku yang berdiri mematung tanpa kata saat aku tahu tentang kematian Apak. Saat itu aku masih kelas 6 sekolah dasar. Seragam merah putih masih melekat di tubuh mungilku. Dia memelukku erat saat aku mulai keheranan melihat warga kampung yang ramai berdatangan ke rumah. Kurasakan detak jantungnya yang tak beraturan. Dadanya naik turun mengatur nafas.
Ado apo, Mak?”[4] bisikku di telinganya. Aku membalas pelukan hangat Amak. Mencoba menekan kecamuk pikiran dan rasa takutku.
Apak waang lah manduhului awak, nak. Apak sudah dipanggia Allah. Inyo titip salam untuak anak bujangnyo[5] katanya. Sebuah senyuman tipis tersungging di bibirnya. Pertahanannya hampir roboh tapi ia berjuang keras untuk tetap kokoh berdiri di hadapanku.
Tubuhku gemetar. Aku menarik nafas panjang agar Amak tidak menyadarinya. Aku tahu kepedihannya lebih besar dari apa yang aku rasakan. Tapi dia memang wanita yang luar biasa. Di balik sendu matanya aku tahu ia menyimpan beban yang sangat berat untuk ia pikul sendiri.
Ah, Amak. Aku menahan rinduku yang kian sesak. Menyesali tindakan bodohku menyakiti hati wanita mulia itu. Lututku gemetar menahan tangis. Menyesal! Sungguh aku benar-benar mengutuk hidupku. Andai saja dulu aku lebih mendengar kata Amak. Tentu tidak akan seperti ini jadinya.
** Saat itu masa kelulusanku di bangku SMA. Aku bukan murid yang sangat pintar. Tapi aku selalu berusaha menjadi  anak kebanggan Amak. Aku berhasil mempersembahkan peringkat 10 besar saat kelulusanku. Amak tersenyum bangga padaku. Aku bahagia melihat gurat kepedihan perlahan sirna di mata Amak.
 “Baraja tu ndk hanyo di sikola, Nak. Waang bias baraja di taman, jalan, musajik bahkan di rumah. Pelajari kehidupan sakitar, buek urang dakek wak sanang. Itu pelajaran yang saketek urang bias dapekan[6]. Ujar Amak menasehatiku saat aku mengeluh mata pelajaran di sekolah. Aku mengangguk. Sejak saat itu aku belajar membahagiakan orang-orang di sekitarku, dan orang yang pertama kali aku bahagiakan adalah Amak.
Pasca kelulusanku, aku bertemu teman baru dari kota sebelah. Namanya Bayu. Dia mengaku kuliah di kota Jakarta. Aku begitu bersemangat mendengar ceritanya tentang kota impianku itu. Sampai-sampai aku tak peduli asal usul dia. Bahkan tak ku hirau kan lagi teguran dari sahabat baikku untuk berhati-hati terhadap orang asing. Dia menawarkan aku untuk ikut bersamanya ke Jakarta. Aku tersenyum lebar. Aliran darahku meninggi menahan detak jantungku yang memacu semakin kencang tak sabar.
Segera aku persiapkan segala keperluanku ke Jakarta. Menyisipkan ijazah kelulusan SMA ku, dan sedikit uang dari tabunganku selama SMA. Aku sudah menyiapkan rencana selama hidup di Jakarta. Untuk setahun pertama, aku tidak akan langsung kuliah. Aku ingin menikmati kota Jakarta. Menghafal seluk beluk kota besar itu. Bahkan kalau perlu menjadi ‘peta berjalan’ untuk orang-orang yang tersesat. Aku bisa bekerja untuk tahun pertama. Mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya. Dan mengirimkannya ke Amak kalau uangku berlebih.
Amak? Ah, aku lupa mengingat satu hal itu. Aku memang merahasiakan hal ini darinya. Aku berencana akan memberi tahunya beberapa hari menjelang keberangkatan.  Aku pikir, Amak pasti mengijinkanku. Apalagi, semenjak kepergian Apak aku tidak pernah menuntut apa-apa ke Amak. Aku selalu menuruti apa kata Amak. Aku begitu yakin Amak akan merestui keberangkatanku.
Matang sudah segala persiapanku. Ragaku begitu bersemangat ingin merantau ke Jakarta. Jangan tanya jiwaku, menggelora. Memacu adrenalinku tiap kali terbayang pertualanganku di sana. Teringat lirik lagu pedangdut tersohor Bang Haji Rhoma Irama “masa muda masa yang berapi-api”. Aku tidak hanya berapi-api, tapi sudah membara. Terbakar rasa ingin tahu yang mendalam. Nafsu ingin bebas dan keluar dari desa terpencil ini. Sampai aku lupa memperhitungkan hal negatif yang mungkin akan menimpaku di sana.
** Seminggu sebelum keberangkatan. Aku menghubungi Bayu. Menanyakannya perihal tiket kami menuju Jakarta. Dia meyakinkanku bahwa semua sudah beres. Undercontrol. Aku tenang. Dan untuk membeli tiket, aku menjual semua barang-barang kesayanganku. Sepatu, koleksi komik, beberapa buku bacaan dan tape recorder pemberian Apak.
Sejujurnya, aku begitu berat menjual satu-satunya peninggalan Apak itu. Tapi aku tidak punya pilihan. Aku membutuhkan uang untuk melengkapi kekuranganku membeli tiket. Tidak mungkin aku memintanya pada Amak. Aku tidak ingin menyusahkannya. Sedang uang tabungan yang aku sisihkan mungkin hanya cukup untukku bertahan satu bulan di Jakarta.  Tapi aku berjanji, suatu saat nanti aku akan membeli kembali tape recorder itu. Sepulangku dari kota Jakarta.
Aku pergi mengunjungi Lembah Harau tiga hari menjelang keberangkatanku ke Jakarta. Sebuah celah yang terletak di antara dua tebing batuan pasir. Menjulang tinggi dan indah. Laiknya gerbang besar bagi daratan di bawahnya. Tinggi tebingnya mencapai 100 meter dan membentang sepanjang beberapa kilometer. Sawah milik warga mengalasi kedua tebing. Menambah keeksotisan Lembah Harau.
Tidak hanya itu, yang menarik ragaku untuk ke sana adalah air terjun yang turun di beberapa titik tebing. Dulu aku selalu menghabiskan waktuku bermain di sana. Mengguyur tubuhku dengan airnya yang dingin dan segar. Aku sering lupa waktu dan Amak akan memarahiku kalau aku pulang terlambat karena bermain di sana sepulang sekolah. Bibirku tertarik beberapa senti ke samping mengingat memori-memori indah di Harau, tanah kelahiranku.
Aku melipat tangan di dada. Memandang tebing-tebing yang membuatku terasa kerdil. Menikmati indah Lembah Harau. Merekamnya dengan baik dalam ingatanku. Berharap jika suatu saat aku jenuh dengan pemandangan dan sesak kota Jakarta, memori Lembah Harau bisa memberiku cukup banyak oksigen untukku bernafas dengan lega. Hari semakin gelap. Aku bersiap-siap pulang ke rumah. Ku tarik nafas panjang sebelum kakiku melangkah pulang. Ya! Ini saatnya memberitahu Amak tentang kepergianku.
** Amak diam tak bersuara. Tubuhnya tak bergerak. Dia menatapku. Tatapan itu, ah! Aku tak tahan melihatnya. Detak jantungku berpacu semakin kencang. Seperti sedang menunggang kuda dengan kecepatan tinggi membelah hutan.
Mak. Amak ndak usah khawatir. Fahri bisa menjago diri. Fahri alah gadang, Mak. Indakkah amak sanang mancaliak anak mak marantau ka nagari urang?[7]” kataku mencoba meyakinkan Amak. Dia tertunduk. Nafasnya semakin berat.
Bukan itu Nak. Manga harus ka Jakarta? Amak ndak ingin jauah dari waang. Cukuiklah Apak nan maninggaan awak [8]”.
Wajahku seperti tertampar baja panas. Aku menatap mata Amak. Matanya berkaca-kaca menahan tangis. Aku melihat seperti hujan akan turun dari mata Amak. Hujan dan badai.
Entah setan apa yang merasukiku saat itu. Dia meyakinkanku bahwa Amak akan baik-baik saja sepeninggalanku nanti. Pedih di matanya hanya luapan emosinya saat mengetahui anak semata wayangnya akan pergi jauh dari dia. Itu wajar. Semua itu akan tergantikan setelah aku sukses nanti. Dan dia akan sangat bahagia melihatku kembali dengan membawa ‘nama’. Tidak perlu meminta restunya, aku hanya perlu pergi dan buktikan.
Percakapan malam itu berakhir sunyi. Amak hanya diam. Sedang aku akan tetap pergi ke Jakarta. Menjemput mimpiku. Ku peluk tubuh Amak yang kiat mengeriput itu. Aku tak berani menatap matanya. Mata yang selalu ingin menumpahkan hujan yang membendung di dalamnya.
** Sehari setelah kedatanganku di Jakarta, semuanya masih baik-baik saja. Kami mampir ke sebuah stasiun di Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Bayu memberitahuku, tempat tinggalnya ada di sekitar sana. Aku meninggalkannya untuk pergi salat di musholla dan membiarkannya menunggu di luar. Katanya, kami akan salat bergantian. Agar barang-barang kami ada yang menjaga.
Usai salat, aku keluar menemui Bayu. Aku terperanjat melihat barang-barangku lenyap di luar musholla. Aku mencari Bayu, berteriak kemana-kemana tapi batang hidung Bayu tak kunjung muncul. Aku mulai ketakutan. Lututku lemas. Tubuhku terjatuh tepat di mana aku meninggalkan barang-barangku terakhir kali. Tanganku meraba secarik kertas yang ku temukan di sampingku. Namaku tertulis tepat di barisan atas kertas itu.
Fahri. Maafkan aku. Ini memang berat! Tapi kamu tidak akan mati karena ini. Aku pernah merasakannya. Dan aku masih bisa bertahan sampai sekarang! Ohya, aku membaca pesan di handphonemu dari keluargamu di kampung. Katanya, Ibumu meninggal karena kecelakaan tepat saat perjalanan pulang setelah mengantarmu ke Jakarta. Aku turut berduka. Bayu”. Aku meremas kertas sialan itu. Berulang kali aku menekan laju nafasku yang semakin tidak beraturan. Tiba-tiba semuanya gelap.
** Aku berjalan menulusuri gerbong kereta api yang sesak dengan para pengemis. Menghentikan air mataku yang seharian ini tak pernah berhenti. Miris. Aku laki-laki yang menghabiskan tiap detiknya menangisi hidup.
Terakhir kali aku melihat mata Amak saat ia mengantarkanku di Bandara International Minangkabau sebulan yang lalu. Mendung masih bersarang di matanya. Bergumpal ingin tumpah menjadi hujan. Ya! Mata itu.
Oh Ammakku! Sungguh aku terlalu bodoh untuk menjadi anakmu. Aku terlalu bernafsu mengejar mimpiku sampai ridho dan restumu aku acuhkan. Aku buta dengan gemerlap bayang-bayang Jakarta. Bara api kini tak hanya membakarku. Tapi juga melumatku habis! Menjadikanku debu. Aku tak punya nyali untuk kembali Ammak! Aku malu!”. Suara tangisku semakin kencang. Tubuhku bergetar hebat. Samar-samar aku mendengar suara Ammak. “Fahrii.. Fahrii..”
Aku mencari arah suara Ammak. Mataku yang sudah bengkak seperti bola ku paksa terbuka untuk mencari sosok Ammak. “Fahrii..”. suara itu terdengar lagi. Aku berdiri gemetar. Ku lihat bayang-bayang wanita berdiri di ujung gerbong yang sangat gelap. Wanita itu berdiri sambil mengulurkan tangan seakan mengajakku padanya. Aku memicingkan mata menatapnya lebih jelas. Aku tidak dapat melihat jelas wajahnya, kecuali matanya. Mata itu! Ya! Itu mata Ammak. Mata yang sama seperti sebelum aku meninggalkannya. Aku akan menyingkirkan hujan di matamu Ammak! Setengah terseok aku menuju arah Ammak. Tiba-tiba aku tersandung, dan semuanya gelap. The End





[1] Amak adalah panggilan khas orang minang untuk Ibunya. Sedangkan panggilan untuk Ayah biasanya menggunakan kata Apak.
[2] Harau adalah nama suatu desa yang ada di Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat. Harau terkenal dengan lembahnya yang sangat indah.
[3] Dunia itu tentang hidup dan mati, Nak! Ada yang lahir dan ada yang mati. Kelahiran, jodoh, rezeki dan kematianmu sudah tercatat di lauhul mahfudz jauh sebelum Amak mengandungmu. Begitu pula dengan Apak.
[4] Ada apa, Mak?
[5] Apakmu pulang, Nak. Apakmu sudah di panggil Allah. Dia titip salam sayang untuk jagoan kecilnya
[6] Belajar itu tidak hanya di bangku sekolah, Nak. Kamu bisa belajar di taman, jalan raya, masjid, bahkan di rumah. Pelajari kehidupanmu, buat orang di sekitarmu bahagia. Itu pelajaran yang sangat sedikit bisa dilewati pelajar mana pun.
[7] Amak. Amak tak perlu khawatir. Fahri bisa menjaga diri. Fahri sudah besar Amak. Tidakkah Amak senang jagoan Amak ini merantau di luar sana?
[8] Bukan itu Nak. Kenapa harus Jakarta? Amak hanya tidak ingin jauh dari kamu. Cukup sudah Apak meninggalkan kita