Putri baru saja tiba dirumah setelah menghadiri kelas tahfidz al Qur'an di salah satu sekolah tahfidz bergengsi di daerah tempat tinggalnya. Gadis berperawakan mungil itu memang terkenal sebagai seorang aktivis super sibuk dikalangan teman-temannya. Kegiatannya bejibun. Dari kegiatan ngampus, kursus, aktif dibeberapa organisasi, sampai bergabung di kepanitiaan dibeberapa acara besar mahasiswa disana. Tak heran jika Putri dikenal banyak orang. Ramah, supel, dan sedikit tomboy.
Sepulang dari tahfidz, Putri tidak langsung menuju kamar. Di hidupkannya lepi Vaio kesayangan ia yang tinggalkan di ruang tamu sebelum ia pergi tahfidz. Putri tidak berniat mengganti pakaiannya, karena ia tahu setelah ini dia masih memiliki 2 agenda lain di luar. "Online bentar, ngintip Facebook. Terus makan, terus hadir pelantikan deh" batinnya. Sambil melepas kaos kaki warna ungu bermotif bunga dari kakinya, ia memikirkan rencana menghadiri pelantikannya menjadi pengurus disalah satu organisasi mahasiwa disana.
Sebenarnya dia punya agenda lain. Hari itu adalah hari Pemilu Legislatif. Karena dia berstatus sebagai pelajar di Luar Negeri, pemilu dilaksanakan lebih awal yaitu pada tanggal 5 April 2014. Putri bukan pengamat politik yang baik, itu lah sebabnya dia agak ogah-ogahan berpartisipasi dalam pemilu saat itu. Tapi dia tahu, nasib negara ada di tangannya. Mau gak mau ia harus memberi suara. Berapa detik kemudian jari mungil Putri sudah sibuk menekan tuts-tuts keyboard lepinya.
"Berharap ada jemputan bus KBRI di depan kampus biar bisa ikutan nyoblos" ujar Putri berkicau di akun Twitternya. Belum lama setelah ia mengirim status pertamanya, blackberry hitamnya berbunyi 2 kali. Tanda ada pesan dari Whatsapp.
"Put, kamu dimana? cepet gih ke depan kampus! jemputan bus buat nyoblos mau dateng!"
"hah?" Putri terbelalak. Panjang umur! batinnya. Baru saja ia berdoa semoga ada bus jemputan di depan kampus agar dia tidak perlu jauh-jauh mengejar tangkringan bus-bus jemputan ditempat yang lain, Allah sudah mengabulkan harapan semata wayangnya itu.
"Jangan-jangan dia baru selesai baca tweetku terus langsung ngirim pesan di whatsapp" batinnya lagi sambil terkekeh. Wajah Putri berubah sumringah. Dia bergegas mengambil kaos kaki dihadapannya. Baru 10 menit yang lalu kaos kaki itu ia tanggalkan dan ia lempar ke sudut ruang tamu rumahnya, terpaksa ia ambil lagi dan memakainya.
Dengan sigap ia membalas pesan temannya "Okeh, tunggu aku yah! Aku segera kesana!" tidak lupa ia sisipkan emotion titik dua plus bintang. Putri memasukkan beberapa bekal yang harus ia bawa untuk kegiatan hari itu. Buku catatan, alat tulis, novel, dan payung. Yup! Payung! Putri sengaja membawa payung karena hari itu terik matahari sangat menyengat. Lumayan mampu mengubah warna kulit wajah Putri kalau dia membiarkan matahari bersentuhan langsung dengan kulitnya. Meskipun sangat jarang warga masyarakat sana yang memakai payung ketika bepergian, tapi Putri tidak mau mengambil resiko pahit menjadi orang hitam dadakan. "kalaupun gak kepake, paling gak buat jaga-jaga" batinnya. Alhasil, jadilah ia berangkat dengan berbekal payung ditasnya.
Putri berlari kecil menuju terminal bus di depan kampusnya. Sesekali ia melirik jam tangan warna hitam di tangan kanannya. Arah jarum panjang di jam tangannya menunjukkan pukul 2. Pantas saja terik matahari makin menyengat. Untuk mengurangi panas terik matahari, ia memakai kacamata hitam yang baru ia beli beberapa hari yang lalu. Untung saja rumahnya tidak terlalu jauh dengan lokasi kampus. Putri hanya butuh jalan kaki 2-3 menit untuk mencapai terminal. Terlalu ribet rasanya jika ia harus memakai payungnya untuk jarak sedekat itu. 2 menit kemudian, Putri sudah bergabung bersama teman-temannya yang lain. Mereka memiliki tujuan yang sama, nyoblos!
***
Akhirnya rombongan bus yang Putri tumpangi sampai di depan gerbang KBRI (Kedutaan Besar Republik Indonesia). Lokasi untuk pemilu ini memang sengaja di pusat di satu tempat saja. Oleh karena itu, pihak KBRI menyediakan jemputan bus di beberapa tempat untuk memudahkan transportasi kesana.
Suasana cukup meriah. Rombongan Putri disambut oleh panitia setempat dan diarahkan menuju lokasi pemilu sesuai nomor urut TPS (Tempat Penmungutan Suara). Masing-masing memisahkan diri menuju lokasi TPS yang tertera di surat undangan berlogo burung garuda di pojok kanan atas amplopnya. Putri menarik tangan Dini, teman satu kampusnya.
"Din, gimana nih! Aku kan gak bawa surat undangannya. Gak usah nyoblos aja kali ya?" Ujar Putri terlihat was-was.
"tapi kamu bawa paspor kan?"
"bawa!"
"yasudah, itu juga udah cukup kok! InsyaAllah boleh. Nanti kita tanya kamu TPS nya dimana" Sahut Dini menenangkan Putri.
Hampir saja Putri memutuskan untuk tidak ikut memilih sekalipun sudah sampai di tempat. Sebelum naik bus dia memang sudah mengingatkan Dini tentang hal itu. Tapi Dini meyakinkan bahwa surat undangan itu bukan menjadi prioritas dalam pemilu kali ini. Yang penting bawa paspor, katanya.
Putri menunggu Dini selesai nyoblos agar bisa menemaninya mencari lokasi TPSnya. Dia duduk di deretan kursi tunggu yang sudah disediakan di masing-masing TPS. Sambil menunggu, Putri memutuskan menghampiri petugas TPS yang menjaga disana dan menanyakan lokasi TPS untuknya. Setelah menyerahkan paspor, petugas itu memeriksa nomor paspor Putri di leptop yang ada didepannya dengan wajah serius.
"Lokasi TPS Mb Putri yang nomor 6 yah! Mba jalan aja ke arah sana, belok kanan. Nanti kalau ada gedung putih diatasnya ada burung garudanya. Nah, disana TPS 6!" kata petugas itu sambil tersenyum ramah.
Putri membalas tersenyum ramah dan menunduk hormat laiknya salam hormat masyarakat jepang ketika bertemu dengan rekannya. Dia mencari Dini yang tampaknya sudah selesai dengan urusannya. Sebelum pergi, Putri menyempatkan mengucapkan terimakasih kepada petugas yang membantunya mencari lokasi TPS itu.
***
Finally, selesai juga nyoblos kali ini! Putri tersenyum sumringah. Dia berjalan sambil menggosok bekas tinta dijari kelingking tangan kirinya. Ini kali pertama bagi Putri ikut pemilu luar negeri. Putri memang tidak pernah menyukai politik, dunia politik dan segala sesuatu yang berhubungan dengan politik. Baginya politik itu hanya sekedar wadah untuk mengubah orang baik menjadi buruk dan yang buruk menjadi semakin buruk. Politik di matanya tidak bisa lepas dari kata korupsi. Ya! di mana ada politik, disitu korupsi menjamur. Entah apa yang membuat Putri berpikir seperti itu. Selama 20 tahun masa hidupnya, setidaknya cuma itu yang ia pikirkan setiap kali ditanya tentang politik.
Putri berusaha menyembunyikan pilihannya di hadapan teman-teman yang lain. Dia hanya ingin bersikap netral. Tidak terlibat dalam partai manapun. Baginya, cukup dia dan Allah yang tahu siapa pilihannya. Dan InsyaAllah ia memilih pilihan yang terbaik menurutnya diantara yang lain. Sempat ia ditanya oleh salah satu temannya yang merasa heran melihat Putri mau berpartisipasi dalam pemilu kali ini.
"Put, kamu mau berangkat nyoblos di KBRI gak ntar?" tanya Eva teman satu fakultasnya. Putri dan Eva sering bertukar pikiran ketika mereka berdiskusi. Mereka memang suka berdiskusi, dari hal yang mendasar, tentang diktat kuliah sampai mendiskusikan hal-hal yang tidak masuk akal.
"Kayaknya sih iya" jawab Putri sekenanya.
"Emang kamu mau milih siapa? Aku?" sambung Eva lagi. Dia nampak bahagia bisa mengerjai temannya itu.
"Aku milih yang fotonya paling caem disana" sahut Putri rada sewot.
"Emang ada gambarnya? disana cuma ada gambar partai,nomor dan nama calegnya doang kok!" Ujar Eva terbahak merasa berhasil menjaili Putri. Yang dijaili hanya bisa menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Putri mencari Dini yang menunggunya di kursi tunggu TPS 6. Mereka berjalan menuju tempat penukaran kupon makan. Tidak hanya bus jemputan, pihak KBRI juga menyediakan makanan berat yang bisa di dapat jika sudah mendapat kupon makan setelah mencoblos. Mereka juga menyediakan doorprice yang tidak kalah menarik. Handphone, flashdisk, harddisk, modem, notebook bermerk Asus, sampai leptop dengan merk HP juga ada. Warga Indonesia mana yang tidak pasang mupeng (muka pengen) melihat sederetan doorprice itu. Tapi doorprice itu tidak dikeluarkan secara cuma-cuma loh!. Tentu saja ada udang di balik batu. Butuh sesuatu yang besar untuk menarik perhatian orang banyak. Dan doorprice itu sukses menarik orang-orang yang sebelumnya enggan berpartisipasi menjadi mau meluangkan waktu mereka untuk menjawab panggilan negara itu.
***
Putri mengunyah suapan terakhir dari nasi kotak yang ada di tangannya. Dia melirik Dini yang masih khusyuk menikmati nasi kotak miliknya. Putri menunggu Dini sambil menikmati percakapan dengan teman-teman yang kebetulan makan bersamanya di lokasi yang sama. Suasana sangat meriah. Alunan musik dangdut dari Rhoma Irama menambah keeksotisan suasana disana. Seperti berada di Indonesia, meskipun saat itu mereka sedang berada di luar negeri.
Aktivitas mereka terhenti setelah seorang bapak paruh baya menghampiri mereka. Dia berdiri tepat disamping kursi dimana Putri duduk. Dia menggenggam handphone bermerk apple di tangan kanannya. Seperti dia baru selesai mendokumentasikan suasana pemilu.
"Kalian semua dari mana ya?" tanyanya membuka percakapan.
"Kami dari Padang Pak!" celetuk salah seorang disana. Kebetulan semua yang ada disana memang dari Padang kecuali Putri. Tapi karena Putri juga belajar bahasa daerah Padang yaitu bahasa Minang, akhirnya dia memberanikan diri mengaku orang Padang juga.
Percakapan terjadi di antara mereka. Bapak paruh baya itu menanyakan beberapa hal kepada Putri dan teman-temannya. Dari masalah asrama, sampai ke biaya bayar kost. Suasana hangat, sesekali terdengar tawa renyah mereka. Putri hanya menimpali sesekali sambil menatap lekat wajah bapak itu. "wajahnya gak asing. tapi liat dimana ya?" batin Putri mencoba mengingat wajah yang berdiri didepannya itu. Putri mengerahkan semua usaha untuk mengingat dengan baik tapi usahanya nihil. Lamunannya buyar ketika bapak itu mulai bicara dengannya.
"Kok ini wajahnya hemat?" ucap bapak itu mengagetkan Putri. Dia menatap Putri ramah sambil ternyum. Putri yang merasa kaget hanya tertawa pelan sambil menjawab pertanyaan bapak itu dengan sedikit candaan.
"maklum Pak, masih 15 tahun" sahut Putri.
"Ah masa? berarti gak bisa nyoblos dong?" raut wajah bapak itu terlihat sedikit terkejut. Cepat-cepat Putri menyela agar suasana mencair lagi.
"Gak kok Pak! saya becanda. Umur saya sih boros, tapi Alhamdulillah muka saya hemat" Ujar Putri lagi. Bapak paruh baya itu tertawa keras. Sikap supel Putri berhasil membawa suasana semakin hangat. Putri hanya tersenyum ketika mendengar bapak tua itu mengatakan bahwa 'muka hemat' nya itu membuat dia terlihat belum cukup umur untuk ikut pemilu Indonesia. Meskipun sebenarnya dia sangat sudah pantas ikut pemilu karena umurnya sudah memasuki 20 tahun di tahun ketiga di menjadi mahasiswi.
Putri tidak bisa menahan rasa penasarannya ingin mengetahui siapa gerangan bapak tua yang sedang berdiri di hadapannya itu. Rasa supel dan sikapnya yang kadang ceplas ceplos itu mendorong dia untuk memberanikan diri bertanya langsung.
"Maaf sebelumnya Pak, ini dengan bapak siapa ya?" tanya Putri. Dari awal memang dia yang paling sering berinteraksi dengan bapak itu. Terutama ketika mereka membahas tentang 'Muka Hemat'. Putri berusaha memoles bahasanya sehalus mungkin untuk bertanya kepada yang lebih tua, tidak lupa ia tersenyum saat bertanya.
Semua orang terdiam. Untuk beberapa detik tidak ada suara disana. Orang-orang di sekitar Putri tegang melihat tingkah Putri yang kadang memang susah di tebak.
Bapak tua itu tersenyum dan sambil menjawab "Saya Pak Mahmud"
Alamak! Putri terdiam! muka hematnya merah padam menahan rasa malu. Siapa sih yang gak kenal Pak Mahmud? Bapak Duta Besar KBRI di sana. Semua mata tertuju kepada Putri. Mereka yang sebelumnya memang sudah mengetahui identitas Pak Mahmud hanya terdiam menahan tawa. Antara gemas dan malu juga. Putri terdiam mati kutu untuk beberapa detik. Dia memeras otak mencoba mengalihkan pembicaraan agar tidak terkesan dia benar-benar tidak tahu siapa bahwa yang berdiri di depannya adalah Pak Mahmud.
"Saya becanda Pak! Sebenarnya saya mau tahu aja, biasanya kan kalau orang seperti bapak ditanya nama pasti gak mau nyebutin nama dengan jelas" sambung Putri lagi. Yes! pasti ini jawaban paling garing yang bisa Putri keluarkan saat itu, batin Putri. Putri tidak bisa menyembunyikan muka hematnya yang kini pasti terlihat mendadak boros karena terbakar rasa malu. Pak Mahmud hanya tertawa.
"ya, seharusnya tadi saya jawab kalau nama saya Pak Tomi yah!" ujarnya lagi sambil terkekeh. Semua yang ada di sana tertawa. Lebih tepatnya, tertawa yang dipaksakan. Beberapa detik kemudian Pak Mahmud undur diri dan menjauh dari kumpulan Putri dan teman-temannya.
Putri sudah tidak ingat kalimat terakhir Pak Mahmud sebelum dia pergi. Dia merasa benar-benar sudah melakukan hal memalukan di awal tahun 2014 ini. Beberapa detik setelah Pak Mahmud pergi, semua mata tertuju pada Putri. Tatapan yang sulit di tebak. Putri hanya cengengesan dan menutup telinga ketika serempak mereka berteriak "Putriiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii!!"
***
Kisah 'muka hemat' menjadi tranding topic sepanjang jalan pulang di antara Putri dan teman-temannya. Dini hanya tertawa melihat kelakuan aneh temannya itu. Gemas, kesal, dan kagum juga melihat sikap berani Putri bertanya langsung kepada pejabat negara. Biasanya rakyat Indonesia hanya bisa tersenyum, berbicara dengan sopan dan kadang bersikap terlalu berlebihan ketika bertemu dengan pejabat negara. Apalagi taraf internasional. Tapi tidak dengan Putri. Pertanyaan itu berhasil membuat pukulan telak bagi Putri dan juga bagi Pak Mahmud sebagai Duta Besar Indonesia di sana.
Sepanjang jalan Putri lebih banyak diam memikirkan kejadian yang baru saja ia alami. Dia menarik kesimpulan untuk dirinya agar lebih melihat kondisi lagi sebelum mengajak kenalan orang lain. Sekalipun apa yang ia lakukan tidak sepenuhnya salah. Toh, apa salahnya bertanya nama kepada sesama manusia? Yang membedakan hanya jabatan. Dan jabatan dunia itu tidak bertahan lama. Tapi Putri tetap merasa bersalah kepada teman-teman yang ia libatkan saat itu.
Putri memang tidak pernah bertatap muka langsung dengan Bapak Dubes KBRI disana. Dia hanya hafal nama beliau dengan baik saat beberapa kali ia terlibat kepanitiaan dan mengajukan proposal permohonan dana kepada beliau. Tapi wajah itu tidak asing lagi bagi Putri saat pertama kali ia bertemu. Putri mencoba menyeleksi jutaan memori di otaknya, barangkali dia bisa menemukan satu memori saja yang dapat menceritakan pertemuannya dengan Pak Mahmud sebelum itu. Usahanya nihil. Mungkin dia pernah melihat wajah Pak Mahmud di salah satu foto, brosur, dan sejenisnya. Tapi tidak bertatap muka langsung seperti kejadian itu.
Beberapa
temannya mencoba menghibur dengan mengatakan sikap Putri tadi bisa menjadi
teguran juga buat para pejabat pemerintah. Bahwa mereka di beri amanah tidak hanya
untuk duduk santai di rumah, memperhatikan sesama pejabat saja, keliling dunia
menikmati uang rakyat, atau malah pergi rekreasi saat rakyat butuh mereka. Adakalanya
mereka harus terjun langsung melihat kondisi rakyatnya. Tidak menutup
kemungkinan, masyarakat di suatu desa terpencil di Indonesia bahkan tidak tahu
siapa presiden Negara mereka. Ya kan?
The End
Pelajaran yang sangat menarik di hari Pemilu Legislatif 5 April 2014.
Ini kisah nyata yang dikutip dari salah seorang mahasiswi pada saat proses Pemilu Legislatif 5 April 2014
Nama tokoh sengaja disamarkan.
0 comments:
Post a Comment