Pages

Thursday 19 March 2015

Cerpen -UJANG- ditulis untuk mengisi Mading PII

Ujang

“Kau tidak ingin punya adik, Jang?” tanyaku di sela-sela perjalanan kita pulang sekolah. Kendaraan lalu lalang di sepanjang ruas jalan raya memaksaku harus menunggu sampai ia agak sepi. Aku memasukkan tanganku ke kantong celana sementara kamu sibuk menendang batu kerikil yang ada di depanmu.

“tidak,” jawabmu sekenanya. Aku menghembuskan nafas pendek. Kita memang sama-sama anak tunggal, tapi kamu masih mempunyai kesempatan memiliki saudara lagi. Berbeda denganku, aku anak yang di asuh oleh wanita yang memutuskan akan tetap menjanda sampai akhir hayatnya. Ku tekan rasa gelisahku agar tidak muncul pertanyaan yang lain.

“Aku sudah cukup memiliki kamu, Man!” lanjutmu lagi. Aku tersenyum lebar. Selebar badan truk yang menyeretmu dariku.

***

Waktu itu kamu sering membelikanku permen karet. Katamu, kita akan terlihat keren ketika berjalan sambil mengunyah permen karet, menggulung lengan baju sampai terlihat ketiak dan berjalan angkuh sambil membusungkan dada. Aku menurut saja. Kata orang, anak bau kencur dengan penampilan seperti kita hanya akan menghancurkan nama sekolah, tapi kamu bilang kamu menikmatinya. Aku?

Aku menikmati apa yang kamu nikmati. Caramu berjalan, pakaianmu, bahkan sering aku meniru apa yang kamu beli. Meski aku harus merengek-rengek meminta kepada orang tuaku agar di belikan mainan Yoyo seperti punyamu dengan merk yang sama. Asal kita selalu punya barang yang sama. Batinku. Alhasil, orang-orang selalu memanggil kita ‘kembar tapi beda’. Tapi aku lebih suka dengan julukan kita, bersahabat. 

Diam-diam aku juga selalu mengikutimu ketika kamu diajak orang tuamu ke pasar untuk membeli baju. Rumah kita yang berdampingan memudahkanku mengetahui apa yang kamu kerjakan. Jarak antara rumahku dan kamu hanya dibatasi parit kecil yang bisa dilewati kucing usia balita. Atau mungkin orang tua kita sengaja membuat parit yang sangat sempit itu sebagai pembatas bahwa “kita tidak tinggal serumah” atau “rumah kita berbeda”. Di tambah lagi kamar kita yang berdampingan, makin sempurnalah misiku mengintip kegiatanmu setiap harinya.

Aku cuek saja ketika teman-teman menjulukiku Si Penguntit. Toh, memang aku sangat menikmati saat-saat aku mengekormu. Kamu juga tidak merasa terbebani kan? Lalu apa masalahnya? Aku menaikkan gulungan lengan bajuku keatas. Sekilas nampak jelas belang warna kulit tangan dan kulit lengan yang biasa tertutupi baju. Aku membuka kancing baju membiarkan angin masuk. Panas. Lamunanku buyar saat segerombolan anak ayam hampir terinjak sepatu lusuhku. Untung induknya tidak sedang berjaga-jaga di sekitar mereka, kalau ada mampus lah aku.

Langkah kakimu masih seperti biasa. Berat dan agak sedikit diseret sehingga menimbulkan bunyi decit di jalanan. Saat itu cuaca sangat panas, tapi jalan yang kita lalu basah karena genangan air hujan tadi malam. Bau khas tanah basah menyeruak masuk melalui lubang hidungku, mengirim sinyal ke otak, lalu otak memerintahkan tubuhku untuk menghindari tanah becek itu.

“Kita mau kemana, Jang?”

“Ke pantai. Sudah lama kita tidak bermain di sana.”

Aku mengekormu lagi seperti sebelumnya. Ikut kemanapun kamu pergi tanpa penolakan, tanpa pertanyaan dan tanpa elakan. Kita memang selalu bermain sepulang sekolah. Kadang di lapangan belakang rumah Pak Haji Edi, di sekitar rumah, dan di pantai. Kali ini kamu mengajakku ke pantai. hemm, aku manut saja.

15 menit berjalan denganmu tanpa suara membuatku sedikit gelisah. Aku lihat kamu sibuk sendiri dengan pikiranmu. Sementara di seberang sana nampak papan bertuliskan nama pantai yang akan kita kunjungi “Pemandian Camplong-Madura”. Tinggal menyeberangi satu jalan raya lagi kita akan sampai di pintu gerbang. Aku melirikmu, perasaanku gelisah melihat wajahmu yang entah kenapa sangat berbeda hari ini. Akhirnya aku menemukan topik obrolan bersamamu. Sayangnya, itu menjadi topik terakhir antara aku dan kamu. Sampai akhirnya semua benar-benar berakhir.

***

Aku benar-benar panik melihat kamu tergeletak bersimbah darah di depanku. Pikiranku buntu. Suaraku tercekat di tenggorokan. Persendianku seakan rontok begitu saja. Oh Ujang! Apa yang terjadi padamu? Apa yang harus aku lakukan? Kamu berdarah Jang! Itu apa Jang? Tulang tanganmu kah yang keluar dari tubuhmu? Sakitkah rasanya? Kamu baik-baik saja kan? Bukankah kita akan ke pantai? Bangunlah, Jang!

Suara-suara itu mulai memenuhi kepalaku. Tubuhku membeku. Ku lihat orang-orang mulai ramai mengelilingi tubuhmu. Aku menyeka dengan cepat genangan air di mata yang mulai mengaburkan pandanganku. Tak ingin rasanya melepaskan pandanganku dari tubuhmu, Jang.

Orang-orang semakin ramai datang menggerumunimu. Posisiku denganmu tanpa terasa semakin menjauh. Aku tak punya daya menahan tubuhku dari desakan tubuh yang lain. Atau mungkin mereka sengaja menjauhkanku darimu karena melihat aku yang tidak bisa berbuat apa-apa untukmu. Aku tidak tau harus berbuat apa, Jang. Ku paksa otakku bekerja ratusan kali lebih cepat dari biasanya. Mencari cara apa yang bisa aku lakukan sekarang untuk kamu. Biasanya apa? Aku harus bagaimana?


Ah iya, bukankah aku penguntitmu? Bukankah aku selalu mengekor apa saja yang kamu lakukan? Ku paksakan tubuhku berdiri mendekati tepi jalan raya. Orang-orang terlalu sibuk mengurusmu sehingga tidak memperhatikan aku di sini. Entah ilham darimana, aku menemukan sesuatu yang bisa aku lakukan untukmu. Cara yang memang biasa aku lakukan untukmu. Dari kejauhan aku lihat truk berukuran besar melaju kenjang.. 2 detik sebelum badan truk sampai di depanku, aku melangkah maju berdiri lebih dulu di hadapannya. Dan menyeret tubuhku padamu, Ujang. 

1 comments:

Furqon Hakiki said...

judulnya diganti y?

Post a Comment