Ujang
“Kau tidak ingin
punya adik, Jang?” tanyaku di sela-sela perjalanan kita pulang sekolah.
Kendaraan lalu lalang di sepanjang ruas jalan raya memaksaku harus menunggu
sampai ia agak sepi. Aku memasukkan tanganku ke kantong celana sementara kamu
sibuk menendang batu kerikil yang ada di depanmu.
“tidak,” jawabmu
sekenanya. Aku menghembuskan nafas pendek. Kita memang sama-sama anak tunggal,
tapi kamu masih mempunyai kesempatan memiliki saudara lagi. Berbeda denganku,
aku anak yang di asuh oleh wanita yang memutuskan akan tetap menjanda sampai
akhir hayatnya. Ku tekan rasa gelisahku agar tidak muncul pertanyaan yang lain.
“Aku sudah cukup
memiliki kamu, Man!” lanjutmu lagi. Aku tersenyum lebar. Selebar badan truk yang
menyeretmu dariku.
***
Waktu itu kamu
sering membelikanku permen karet. Katamu, kita akan terlihat keren ketika
berjalan sambil mengunyah permen karet, menggulung lengan baju sampai terlihat
ketiak dan berjalan angkuh sambil membusungkan dada. Aku menurut saja. Kata
orang, anak bau kencur dengan penampilan seperti kita hanya akan menghancurkan
nama sekolah, tapi kamu bilang kamu menikmatinya. Aku?
Aku menikmati
apa yang kamu nikmati. Caramu berjalan, pakaianmu, bahkan sering aku meniru apa
yang kamu beli. Meski aku harus merengek-rengek meminta kepada orang tuaku agar
di belikan mainan Yoyo seperti punyamu dengan merk yang sama. Asal kita selalu
punya barang yang sama. Batinku. Alhasil, orang-orang selalu memanggil kita
‘kembar tapi beda’. Tapi aku lebih suka dengan julukan kita, bersahabat.
Diam-diam aku juga
selalu mengikutimu ketika kamu diajak orang tuamu ke pasar untuk membeli baju.
Rumah kita yang berdampingan memudahkanku mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Jarak antara rumahku dan kamu hanya dibatasi parit kecil yang bisa dilewati
kucing usia balita. Atau mungkin orang tua kita sengaja membuat parit yang
sangat sempit itu sebagai pembatas bahwa “kita tidak tinggal serumah” atau
“rumah kita berbeda”. Di tambah lagi kamar kita yang berdampingan, makin
sempurnalah misiku mengintip kegiatanmu setiap harinya.
Aku cuek saja
ketika teman-teman menjulukiku Si Penguntit. Toh, memang aku sangat menikmati
saat-saat aku mengekormu. Kamu juga tidak merasa terbebani kan? Lalu apa
masalahnya? Aku menaikkan gulungan lengan bajuku keatas. Sekilas nampak jelas
belang warna kulit tangan dan kulit lengan yang biasa tertutupi baju. Aku
membuka kancing baju membiarkan angin masuk. Panas. Lamunanku buyar saat segerombolan
anak ayam hampir terinjak sepatu lusuhku. Untung induknya tidak sedang
berjaga-jaga di sekitar mereka, kalau ada mampus lah aku.
Langkah kakimu
masih seperti biasa. Berat dan agak sedikit diseret sehingga menimbulkan bunyi
decit di jalanan. Saat itu cuaca sangat panas, tapi jalan yang kita lalu basah
karena genangan air hujan tadi malam. Bau khas tanah basah menyeruak masuk
melalui lubang hidungku, mengirim sinyal ke otak, lalu otak memerintahkan
tubuhku untuk menghindari tanah becek itu.
“Kita mau kemana, Jang?”
“Ke pantai.
Sudah lama kita tidak bermain di sana.”
Aku mengekormu
lagi seperti sebelumnya. Ikut kemanapun kamu pergi tanpa penolakan, tanpa
pertanyaan dan tanpa elakan. Kita memang selalu bermain sepulang sekolah.
Kadang di lapangan belakang rumah Pak Haji Edi, di sekitar rumah, dan di
pantai. Kali ini kamu mengajakku ke pantai. hemm, aku manut saja.
15 menit
berjalan denganmu tanpa suara membuatku sedikit gelisah. Aku lihat kamu sibuk
sendiri dengan pikiranmu. Sementara di seberang sana nampak papan bertuliskan
nama pantai yang akan kita kunjungi “Pemandian Camplong-Madura”. Tinggal
menyeberangi satu jalan raya lagi kita akan sampai di pintu gerbang. Aku
melirikmu, perasaanku gelisah melihat wajahmu yang entah kenapa sangat berbeda
hari ini. Akhirnya aku menemukan topik obrolan bersamamu. Sayangnya, itu
menjadi topik terakhir antara aku dan kamu. Sampai akhirnya semua benar-benar
berakhir.
***
Aku benar-benar
panik melihat kamu tergeletak bersimbah darah di depanku. Pikiranku buntu.
Suaraku tercekat di tenggorokan. Persendianku seakan rontok begitu saja. Oh
Ujang! Apa yang terjadi padamu? Apa yang harus aku lakukan? Kamu berdarah Jang!
Itu apa Jang? Tulang tanganmu kah yang keluar dari tubuhmu? Sakitkah rasanya? Kamu
baik-baik saja kan? Bukankah kita akan ke pantai? Bangunlah, Jang!
Suara-suara itu
mulai memenuhi kepalaku. Tubuhku membeku. Ku lihat orang-orang mulai ramai
mengelilingi tubuhmu. Aku menyeka dengan cepat genangan air di mata yang mulai
mengaburkan pandanganku. Tak ingin rasanya melepaskan pandanganku dari tubuhmu,
Jang.
Orang-orang
semakin ramai datang menggerumunimu. Posisiku denganmu tanpa terasa semakin
menjauh. Aku tak punya daya menahan tubuhku dari desakan tubuh yang lain. Atau
mungkin mereka sengaja menjauhkanku darimu karena melihat aku yang tidak bisa
berbuat apa-apa untukmu. Aku tidak tau harus berbuat apa, Jang. Ku paksa otakku
bekerja ratusan kali lebih cepat dari biasanya. Mencari cara apa yang bisa aku
lakukan sekarang untuk kamu. Biasanya apa? Aku harus bagaimana?
Ah iya, bukankah
aku penguntitmu? Bukankah aku selalu mengekor apa saja yang kamu lakukan? Ku
paksakan tubuhku berdiri mendekati tepi jalan raya. Orang-orang terlalu sibuk
mengurusmu sehingga tidak memperhatikan aku di sini. Entah ilham darimana, aku
menemukan sesuatu yang bisa aku lakukan untukmu. Cara yang memang biasa aku
lakukan untukmu. Dari kejauhan aku lihat truk berukuran besar melaju kenjang..
2 detik sebelum badan truk sampai di depanku, aku melangkah maju berdiri lebih
dulu di hadapannya. Dan menyeret tubuhku padamu, Ujang.
1 comments:
judulnya diganti y?
Post a Comment