Al Azhar, piramida dan padang pasir. 3
hal yang terbayang pertama kali sebelum menginjakkan kaki di Negeri Seribu
Menara, Mesir. Sebuah harapan besar sudah dipupuk subur jauh sebelum burung
besi membawa raga menyentuh cita agar tidak hanya sekedar ekspektasi belaka.
Benar adanya saat dikatakan, Mesir adalah negara peradaban. Darinya lahir
jutaan peradaban sejak ribuan tahun sebelum masehi, seperti piramida yang
menjadi bukti sejarah bahwa dahulu kala seorang Raja pernah binasa karena
kekejaman dan ketamakannya.
Tak
terkecuali keberadaan al-Azhar yang dijadikan kiblat ilmu agama oleh sebagian
besar masyarakat muslim di dunia. Sejak munculnya komunitas pertama Indonesia
di Mesir pada tahun 1850 , mereka tidak hanya mengkaji ilmu agama saja, namun
turut aktif menciptakan pergerakan baik dalam membangun hubungan kepada
pemerintah Mesir, membuat majalah Indonesia pertama[1]
dan bersatu dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia agar diakui oleh
dunia khususnya Timur Tengah.
![]() |
hanya ilustrasi |
Sejarah
telah mengamini bahwa pelajar Indonesia di Mesir berada dalam lingkaran
pergerakan yang memiliki dua titik fokus utama, yaitu belajar agama dan
berorganisasi. Meski telah terjadi pergeseran zaman hampir satu setengah abad
lamanya, dua hal ini masih tertanam dalam sanubari mereka. Pergerakan tersebut
semakin bervariasi bentuknya, dari komunitas, himpunan hingga akhirnya menjadi
sebuah persatuan yang sekarang dikenal dengan Persatuan Pelajar dan Mahasiswa
Indonesia ( PPMI ) Mesir.
Al-Azhar
sendiri mempunyai ciri khas unik, yaitu sebuah proses belajar mengajar yang
tidak terikat dalam catatan buku absen kehadiran. Hal ini menjadi tantangan
tersendiri bagi para muridnya dalam menggali ilmu agama di salah satu
universitas islam tertua di dunia ini, khususnya bagi para pelajar Indonesia.
Ibarat berjalan di sebuah lingkaran yang memiliki dua titik fokus utama, jika
terlalu fokus pada satu titik ( organisasi ), maka titik lainnya ( belajar ) akan
lengah, lebih lagi saat titik tersebut tidak memiliki tanda jelas untuk
mengharuskannya berhenti. Pertanyaannya adalah, bagaimana caranya agar bisa
menyeimbang dua fokus tersebut?
Untuk
menjawab pertanyaan tersebut, ada beberapa hal yang harus diperhatikan bahkan
perlu untuk dituliskan dengan ukuran huruf besar di buku catatan harian para
pelajar, yaitu :
Pertama : Tajdid niat
Tajdid niat merupakan sebuah usaha memperbaharui niat sebelum kembali
menapaki aktifitas keseharian. Kurangnya kesadaran atas urgensi niat dalam
beraktifitas kadang menjadi bumerang kegagalan dalam kehidupan. Oleh karenanya,
penting bagi pelajar untuk memperbaharui niat awal kedatangannya ke Mesir,
yaitu menuntut ilmu.
Usaha lain
seperti mengingat bahwa ada amanah besar yang dititipkan orang tua saat kita
meninggalkan bumi pertiwi. Sebuah harapan besar agar sekembalinya dari sini (
read : Mesir ), ada buah manis yang bisa dipetik.
Kedua : Belajar mengatur waktu
Hal yang sering
kali menjadi penghambat kesuksesan adalah ketidakpiawaian dalam mengatur waktu
seperti kapan harus belajar, kapan berogranisasi, kapan waktu santai dengan
teman dan kapan harus beristirahat. Tanpa kita sadari, organisasi adalah wadah
untuk melatih kita dalam hal tersebut. Yang perlu diingat adalah organisasi sejatinya
bukan penghambat dalam belajar, ia merupakan sebuah kendaraan mencapai
kesuksesan yang lebih besar di masa akan datang, dengan syarat yaitu mampu
mengatur waktu.
Ketiga : Biasakan menghadiri kelas
Sebagian besar
orang beranggapan bahwa kuliah bukanlah hal yang penting. Asal bisa mengikuti
ujian, bimbingan belajar bersama sesama pelajar, lulus, selesai. Dibalik itu
semua, masih banyak yang tidak menyadari bahwa menghadiri kelas di kampus
adalah salah satu kunci kelulusan. Bahkan penulis berani katakan 50% faktor
meraih mumtaz ditentukan dengannya. Namun semuanya butuh pembiasaan
karena aktifitas yang senantiasa dilakukan akan menjadi sebuah rutinitas. Oleh
karenanya, meski absen dari kelas tidak akan menganggu status sebagai pelajar
resmi di al-Azhar, membiasakan hadir dan bertatap muka dengan para dosen di
kampus akan menambah keberkahan dalam perjalanan menuntut ilmu di perantauan
ini.
Keempat : Sadar
prioritas
Dalam
perjalanannya, tentu akan banyak ditemukan hambatan serta rintangan semisal
saat kebutuhan organisasi terbentur dengan waktu kuliah, aktifitas organisasi
yang menjamur sehingga menyita jatah waktu belajar dan lain sebagainya. Penting
kiranya agar pelajar menyadari mana prioritas utama selama keberadaannya di
Mesir. Meski menurut hemat penulis, menuntut ilmu tetap merupakan sebuah
prioritas dibanding berorganisasi, dengan tetap meyakini bahwa dengan
berorganisasi pelajar akan semakin dapat
memperkaya pengalaman, menempa diri, membentuk karakter dan menguasai skill
komunikasi yang baik agar dapat menyampaikan ilmu yang dimiliki dengan cara
yang baik pula.
4 hal diatas
hanyalah beberapa contoh yang patut diperhatikan oleh para perantau di Negara
serba cokelat ini untuk menyeimbangkan kebutuhan belajar dan beroganisasi. Oleh
karenanya, belajar dari sejarah dan manajemen kehidupan yang baik akan membantu
kita untuk semakin memahami bagaimana cara agar dapat duduk sejajar saat
belajar dan berdiri sama tinggi saat berorganisasi.
“Sesungguhnya keberkahan itu berserakan di Mesir. Kalian yang menentukan, akankah pergi mencari atau hanya berdiam diri.” –penulis-
Cat : artikel ini dibuat untuk modul ormaba PPMI 2016
[1]
Majalah pertama yang dibuat oleh para pelajar Indonesia di Mesir bernama Seruan
Azhar. Majalah tersebut terbit pertama kali pada bulan Oktober 1925 dengan
Raden Fathurraman sebagai direktur.